Pulau Temasik diberi nama Singapura, dikarenakan menurut berbagai sumber, Sang Nila Utama melihat seekor singa ketika sedang beristirahat disebuah ladang. Maka dari itu mengapa dinamakan Singapura.
Sang Nila Utama menjadi Raja Singapura yang pertama kali dengan pengaruh melayu  Sriwijaya dan menjadikan Demang Lebar Daun sebagai Bendahara Kerajaan. Pembesar kerajaan lain ialah Wan Seri Beni, permaisurinya.
Zaman peradaban Melayu berkembang pesat ketika pemerintahan Singapura dipimpin oleh Parameswara, keturunan Sang Nila Utama yang menyingkir ke kawasan Melaka karena kerajaan Singapura berhasil ditaklukan oleh Majapahit.
Melaka dahulu masih merupakan kekuasaan Sriwijaya. Maka dari itu Parameswara membangun sebuah kerajaan kembali yakni Kerajaan Melaka pada 1394 M yang menguasai kembali hingga China. Pada masa inilah sebuah perdagangan internasional dibangun yang mendatangkan pedagang dari India, Arab, China, Persia, Gujarat, Ujung timur Nusantara hingga Pasai (Aceh). Sejak terbangunnya bandar perdagangan yang cukup besar, mau tak mau para pedagang harus mampu memahami Bahasa Melayu untuk bercengkerama dengan penduduk setempat. Dengan banyak mendatangkan pedagang Islam, secara perlahan Bahasa Melayu mulai dipengaruhi oleh budaya Islam.
Seperti pada masa kepemimpinan Sultan Megat Iskandar Syah (1414-1424) ialah Raja Melaka yang pertama kali masuk Islam. Islamnya Sultan Megat dipengaruhi oleh permaisurinya yang berasal dari Pasai (Aceh). Banyak peristiwa dan kejayaan penting dalam tammadun melayu yang dipengaruhi dari Pasai tersebut. Dengan sendirinya selain menyebarkan agama Islam, para saudagar Islam pun di Melaka terpengaruh juga dalam hal budaya Melayu. Pada akhirnya, kerajaan dari Aceh seperti Pasai selain menyebarkan agama Islam, mereka pun mengenalkan budaya Melayu ke seantero Nusantara melalui jalur perdagangan.
Pada runtuhnya kejayaan masa Malaka, semenanjung Malaya hingga perairan Kepulauan Riau mulai dikuasai oleh Portugal. Selanjutnya dikuasai Inggris pada 1789 dan Belanda yang diberi kekuasaan pada perjanjian Traktat London 1824. Para penjajah ini tentunya harus memahami Bahasa Melayu untuk semakin agresif menyebarkan pengaruh barat kepada masyarakat di wilayah jajahannya. Namun pada masa penjajahan Portugis maupun Inggris belum ada satu tokoh Melayu yang menciptakan kamus Bahasa Melayu. Tokoh itu datang ketika pada masa kolonialisasi Belanda. Pemerintah pusat Hindia-Belanda (Batavia) mengutus pakar Bahasa Belanda (1857) Von Dell Wall untuk menyusun buku Tata Bahasa Melayu, Kamus Melayu-Belanda dan Kamus Belanda-Melayu serta diberangkatkan ke Pulau Pendengar di perairan Riau guna menemui Raja Ali Haji, bangsawan keturunan Melayu-Bugis kelahiran 1808.
Sejak 1846 Raja Ali Haji telah melahirkan karya tulisan sastra Melayu berjudul Syair Abdul Muluk yang telah banyak disebarluaskan di wilayah Nusantara melalui percetakan di Singapura. Tulisan itu juga diterbitkan dalam majalah Belanda Tijdschrift voor Nederlands Indie (1847). Setelah selang setahun Raja Ali Haji kembali menciptakan karya bidang filsafat berbaur dengan puisi gurindam dua belas pada 1847 dimuat pula dalam majalah Belanda lain, Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap. Maka dari itu, Belanda pada 1857 melirik kreativitas Raja Ali Haji dan mendatangkan pakar bahasa tersebut. Dalam menyelesaikan tugasnya, Von Dell Wall bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim serta mengangkat anak Haji Ibrahim yakni Raja Abdullah untuk menjadi juru tulis. Von dell Wall juga membantu untuk menyunting karya linguistik bahasa Raja Ali Haji Bustanul al-Khatibin (akhir 1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa pada 1859. Maka dari itu, kedua karya linguistik Raja Ali Haji berbahasa Melayu tersebut menjadi suatu acuan pengantar dalam buku pendidikan sekolah ciptaan belanda di seantero Nusantara.
Dalam melakukan tugasnya mendalami Bahasa Melayu, ia membuat kamus Bahasa Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu yang selesai pada 1873 (bertepatan dengan meninggalnya Raja Ali Haji). Seusai pemakaman Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Von dell Wall kembali ke Batavia.
Hingga meninggalnya Raja Ali Haji pada 1873, ia telah mempengaruhi keturunannya dan melahirkan penerus cendekiawan budaya Melayu di Pulau Pendengar. Mereka adalah Raja Ali Kelana, Raja Hasan, Umar bin Hasan, Khalid Hitam, Raja Haji Muhammad Said, Raja Saliha, Abdul Muthalib, Raja Safi'ah, Aisyah Sulaiman, dan Ali Afandi Fikri. Mereka semua telah menciptakan karya buku dan syair berbahasa Melayu demi mengoptimalkan kreativitas kultural mereka. Para cendikiawan itu membuat suatu perkumpulan serta percetakan di Pulau Penyengat (Al Riauwiyah). Perkumpulan cendekiawan Melayu tersebut bernama Rusydiyah Kelab.
Masa Pergerakan Nasional
Dengan meluasnya Bahasa Melayu menjadi bahasa keseharian, Ki Hajar Dewantara mengusulkan Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan pada 1916 dalam makalahnya yang disampaikan di sebuah acara pengajaran kolonial Den Haag. Usul Ki Hajar itu, merupakan Bahasa Melayu yang sudah distandarisasi oleh Raja Ali Haji. Kemudian pada Kongres Pemuda I di Solo pada 1926, Moh. Yamin mengusulkan Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan bangsa guna memperebutkan kemerdekaan. Selanjutnya, M.Tabrani mengubah penamaan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Lalu pada Kongres Pemuda II di Jakarta pada 1928, secara aklamasi Bahasa Melayu yang diubah penamaannya tersebut dikukuhkan menjadi bahasa persatuan.