Sumber Gambar: http://www.nasionalxpos.co.id/2013/04/korban-mafia-hukum-dan-politik-tak.html
Kata “Kriminalisasi” akhir-akhir ini lagi naik daun. Ya…sejak BW dijadikan tersangka dan para Komisioner KPK lainnya secara “masif, sistematis dan terstruktur” dilaporkan kepada Bareskrim Polri, kata “kriminalisasi” ini menjadi sering kita dengar. Apa sebenarnya makna kata “kriminalisasi” tersebut? Dari aspek legislasi, kriminalisasi berarti memasukkan sesuatu perbuatan yang sebelumnya bukan sebagai tindak pidana menjadi sesuatu perbuatan yang dikategorikan tindak pidana dalam sebuah produk peraturan hukum (baca: Undang-Undang) . Sebagai contoh: perbuatan menyatakan diri dapat menyantet seseorang, dulu bukanlah sebuah tindak pidana, maka tidak heran orang begitu terbuka dan berani mengiklankan diri di koran memiliki ilmu santet. Akan tetapi dalam draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sempat heboh beberapa waktu yang lalu, delik “santet” ini telah dimasukkan ke dalam sebuah tindak pidana, sehingga ke depan (jika draf KUHP tersebut disahkan menjadi UU), orang yang menyatakan dirinya dapat menyantet seseorang dapat dihukum. Inilah contoh kriminalisasi dari sisi proses legislasi sesuai politik hukum yang dirumuskan oleh penguasa yang berwenang. Penguasa yang berwenang dapat saja membuat berbagai kriminalisasi dalam produk hukumnya, misalnya: Dalam KUHP yang ada saat ini, yang disebut berzinah adalah apabila salah satu pelaku (atau kedua pelaku) terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Jika kedua pelakunya masih bujang dan gadis, maka mereka tidak dapat dijerat dengan pasal perzinahan. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan budaya ketimuran masyarakat kita, sehingga ke depan bisa saja pengertian delik perzinahan tersebut dirubah dalam KUHP masa depan, sehingga pelaku yang masih bujang dan gadis pun apabila melakukan persetubuhan di luar lembaga perkawinan yang sah dinyatakan melakukan tindak pidana perzinahan. Inilah kriminalisasi dalam aspek legislasi.
Tentu saja pengertian kriminalisasi tidak hanya menyangkut aspek legislasi. Dalam proses penegakan hukum pun bisa saja terdapat unsur kriminalisasi. Dalam konteks penegakan hukum, kriminalisasi dapat didefinisikan dalam bahasa yang sederhana, yaitu membuat seseorang yang tidak bersalah menjadi bersalah secara hukum, dan sebaliknya menjadikan seseorang yang bersalah menjadi tidak bersalah secara hukum. Proses untuk mempersalahkan seseorang tersebut tentu saja dilakukan dengan berbagai modus operandi dan dibungkus sangat rapi seolah-olah sebagai penegakan hukum yang benar. Bahasa yang hampir sama untuk menyebutkan kriminalisasi dalam proses penegakan hukum adalah MAFIA HUKUM. Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Modus Operandi Mafia Hukum” saya telah mengutip pengertian Mafia Hukum tersebut menurut Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (“Satgas PMH”) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 para era Presiden SBY. Disebutkan bahwa Mafia Hukum adalah “praktik menjualbelikan atau menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum dan hakim, baik yang sifatnya terorganisir dan sistematis maupun yang tidak, yang dilakukan atas inisiatif aparat penegak hukum dan hakim atau atas bujukan pihak lain, sehingga hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya” (Satgas PMH, Mafia Hukum, Jakarta, 2010, hal.6). Salah satu modus kriminalisasi yang menurut saya sangat berbahaya adalah “mengkambinghitamkan” seseorang yang telah menjadi target. Satgas PMH dalam hasil penelitiannya yang tertuang dalam buku Mafia Hukum halaman 13 merumuskan modus kriminalisasi tersebut dengan uraian sebagai berikut: “Meski tidak ada tindak pidana, polisi atau jaksa tetap dapat melakukan praktik mafia hukum dengan cara mencari kesalahan pidana seseorang sehingga dapat diproses lebih lanjut –hal mana umumnya dilakukan berdasarkan “pesanan”. “Pesanan” tersebut bisa jadi diterima dari atasan aparat atau pihak yang memiliki kepentingan (baik secara langsung maupun melalui calo). Prinsip yang dipergunakan adalah dipilih dahulu target operasinya dan kemudian dicari-cari kesalahan pidananya, serta aturan hukum yang mendukung. Tidak jarang untuk melakukannya, kepolisian atau kejaksaan secara sengaja merekayasa bukti (membuat bukti tindak pidana yang sebenarnya tidak ada atau kerap disebut planting evidence)”.
Berdasarkan hal di atas jelas kriminalisasi dalam penegakan hukum itu sangat jamak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mungkin ada sebagian dari pembaca yang pernah mengalaminya secara langsung, atau setidak-tidaknya pernah mendengar pihak lain mengalaminya. Teman sejawat saya satu instansi pernah mengalami kriminalisasi. Teman saya tersebut adalah seorang pejabat di Kementerian Keuangan yang bertugas menandatangani Surat Perintah Pencairan Dana berdasarkan Surat Perintah Membayar yang disampaikan oleh satuan kerja/instansi pemerintah selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Segala akibat yang timbul dari Surat Perintah Membayar tersebut adalah tanggung jawab mutlak dari Kuasa Pengguna Anggaran satuan kerja/instansi pemerintah. Di kemudian hari ternyata ada penyampaian Surat Perintah Membayar yang dipalsukan oleh oknum dari satuan kerja/instansi pemerintah, yang mana teman saya tersebut tidak mengetahui sama sekali apabila Surat Perintah Membayar tersebut palsu/dipalsukan. Mestinya yang diproses hukum adalah oknum yang menyampaikan Surat Perintah Membayar palsu tersebut dan pihak ketiga yang menerima pembayaran tersebut. Nyatanya yang dijadikan tersangka/terdakwa/terpidana adalah teman saya tersebut, padahal dia hanyalah “kasir” sebagai konsekuensi dari tugasnya sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara. Anehnya, oknum yang menyampaikan Surat Perintah Membayar dan pihak ketiga yang menerima pembayaran tersebut aman-aman saja hingga saat ini tanpa pernah tersentuh hukum. Uang yang dicairkan dan masuk ke rekening pihak ketiga itu pun entah raib ke mana tanpa pernah ditelusuri lebih lanjut.
Mengerikan sekali bukan…...ngeri-ngeri sedap....
Berdasarkan modus yang diungkap oleh Satgas PMH, saya menyimpulkan sebuah tindakan oknum aparat hukum dapat dikategorikan sebagai upaya kriminalisasi apabila memenuhi beberapa “persyaratan”. Pertama, ada target operasi, yaitu seseorang yang diincar untuk dapat dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana. Seseorang tersebut dijadikan target bisa jadi karena dendam atau sakit hati. Bisa jadi juga seseorang tersebut dianggap sebagai pihak yang sangat merugikan sehingga harus “disingkirkan”. Bisa jadi juga orang yang dijadikan target tersebut adalah pihak yang “paling lemah” dari beberapa orang “calon tersangka” lainnya, sehingga dialah yang dijadikan korban atau tumbal. Pelaku lain kemudian “dihilangkan” kesalahannya, tentu dengan “imbalan” tertentu. Jika dalam proses penegakan hukum yang benar berdasarkan KUHAP pelaku ditentukan pada proses akhir penyidikan, dalam suatu kriminalisasi, pelaku harus ditetapkan di awal penyidikan. Syarat kedua dapat disebut kriminalisasi adalah seseorang tersebut dicari-cari kesalahannya dan aturan hukum yang mendukung. Yang namanya dicari-cari kesalahannya, bisa saja semua orang ada kesalahannya. Bila tidak ada kesalahannya saat ini, bila perlu telusuri rekam jejaknya beberapa tahun sebelumnya. Terakhir, untuk mendukung kriminalisasi tersebut, tentu ada rekayasa kasus dan bukti-bukti untuk menjerat seseorang target tersebut.
Konon khabarnya para petinggi negara saja bisa dikriminalisasi, apalagi kita-kita rakyat yang tidak jelas ini. Penulis Kompasiana “Suami Sableng” dalam tulisannya “Jokowi Pun Bakalan Dikriminalisasi, deh! Tunggu Saja….” menulis cukup lucu sebagai berikut:
Dan yang bikin kaget juga… Mertua gue bilang, sebagai fans berat Jokowi takutnya entar juga Jokowi bakal dikriminilisasi. Itu kalau Jokowi nggak memilih Calon Kapolri yang diajuin sama Partai Pendukungnya. Takutnya entar masa lalu Jokowi diubek-ubek. Bisa aja, sebagai Juragan Mebel neh, Jokowi dicari-cari salahnya pernah beli Segelondongan Kayu tapi itu kayu buat bahan bikin mebel, dari hasil Penebangan Liar! Wuih! Iya, juga! Ngeri! Atau bisa aja, nanti tau-tau ada bekas tetangga Jokowi yang melaporkan Jokowi membuang Limbah Pengolahan Kayu Usaha Mebelnya sembarangan ke Kali Bengawan Solo!
Waspadalah…..waspadalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H