Dalam Bagian I telah disajikan jawaban atas gugatan dari Penggugat yang pada intinya menyatakan SK Pencabutan SIP bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pada Bagian II ini merupakan jawaban atas gugatan Para Penggugat yang pada intinya menyatakan SK Pencabutan SIP yang diterbitkan Tergugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Jawaban Tergugat tentu saja berisi bantahan-bantahan atas gugatan tersebut disertai dengan landasan hukumnya. Berikut adalah lanjutan jawaban yang kami sampaikan di depan sidang PTUN Bandung:
B. KEPUTUSAN TERGUGAT TIDAK MELANGGAR ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK.
1.Bahwa keliru dan tidak berdasarkan hukum dalil-dalil gugatan PARA PENGGUGAT pada angka IV.B.1 yang pada intinya menyatakan SK Pencabutan Izin Penghunian Rumah Negara Golongan II yang diterbitkan TERGUGAT bertentangan dengan azas “Kepastian Hukum” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pertama, asas kepastian hukum sebagaimana penjelasan Pasal 3 angka 1 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah “asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara”.
Kedua, berdasarkan hal di atas TERGUGAT telah memperhatikan dan mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Penghunian Rumah Negara Golongan II, yaitu:
a.Sesuai dengan Pasal 1 angka 6 PP Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005, disebutkan bahwa “Rumah Negara Golongan II adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada Negara”;
b.Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005, disebutkan bahwa “Penghunian Rumah Negara hanya dapat diberikan kepada Pejabat atau Pegawai Negeri”;
c.Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005, disebutkan bahwa “Untuk dapat menghuni Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 harus memiliki Surat Izin Penghunian” dan pada ayat (2) disebutkan “Surat Izin Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan”;
d.Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, Penghunian, Pengalihan Status dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara, disebutkan bahwa: “Penghunian rumah negara oleh Pejabat atau Pegawai Negeri dilakukan berdasarkan Surat Izin Penghunian yang diberikan oleh pejabat yang berwenang”. Dan pada Pasal 10 disebutkan persyaratan penghunian rumah negara golongan II, diantaranya adalah sebagai berikut: (a) Berstatus Pegawai Negeri, (b) mendapatkan surat izin penghunian dari pejabat eselon I atau pejabat yang ditunjuk, (c) membuat surat pernyataan untuk mentaati kewajiban dan larangan;
e.Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara disebutkan bahwa: Pasal 10 ayat (1): “BMN berupa Rumah Negara hanya dapat digunakan sebagai tempat tinggal pejabat atau pegawai negeri yang memiliki Surat Izin Penghunian. (2) Pengguna Barang wajib mengoptimalkan penggunaan BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi”;
f.Sesuai dengan Instruksi Menteri Keuangan Nomor 299/IMK.09/2010 tentang Penertiban Barang Milik Negara Berupa Tanah, Rumah, dan/atau Kendaraan Bermotor yang Dikuasai/Digunakan oleh Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan yang menginstruksikan kepada seluruh unit di lingkungan Kementerian Keuangan untuk “Melakukan inventarisasi dan penertiban terhadap BMN berupa tanah, rumah, dan/atau kendaraan bermotor yang dikuasai/digunakan oleh pensiunan PNS Kementerian Keuangan pada satuan kerja masing-masing”;
g.Sesuai Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-15/PB/2012 tanggal 19 April 2012 tentang Pedoman Teknis Penghunian Rumah Negara di Lingkungan Ditjen Perbendaharaan: Persyaratan Penghunian Rumah Negara Golongan II di antaranya adalah: Berstatus pegawai negeri di lingkungan Ditjen Perbendaharaan (G.2.a) dan Penghunian dibatasi selama berstatus pegawai negeri di lingkungan Ditjen Perbendaharaan (G.2.f). Selanjutnya Penunjukan penghunian berakhir pada saat penghuni yang bersangkutan tidak berhak lagi menempati Rumah Negara yang ditindaklanjuti dengan pencabutan surat izin penghunian dalam bentuk Surat Keputusan Pencabutan Keputusan Penunjukan Penghunian Rumah Negara (I.2.a). Penghuni Rumah Negara yang berhenti karena pensiun dan/atau meninggal dunia, Surat Izin Penghuniannya dicabut, selanjutnya yang bersangkutan wajib mengosongkan Rumah Negara yang dihuninya selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diterimanya Surat Keputusan Pencabutan Keputusan Penunjukan Penghunian Rumah Negara (I.2.d).
Ketiga, TERGUGAT juga sudah memperhatikan kepatutan dan keadilan. PARA PENGGUGAT menguasai Rumah Negara Golongan II bukanlah dalam masa yang singkat, akan tetapi sudah berlangsung cukup lama, dan PARA PENGGUGAT mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari TERGUGAT, di mana PARA PENGGUGATtidak serta-merta dikeluarkan secara paksa dari Rumah Negara Golongan II yang ditempati oleh PARA PENGGUGAT, meskipun secara hukum PARA PENGGUGAT sudah tidak berhak. Di samping itu, sebelum dikeluarkannya SK Pencabutan Izin Penghunian Rumah Negara, terlebih dahulu kepada PARA PENGGUGAT telah diberikan pemberitahuan dan sosialisasi serta tindakan-tindakan informal lainnya tentang akan adanya rencana penertiban penguasaan Rumah Negara yang ditempati oleh para pensiunan maupun janda dan/atau anak pensiunan.
Keempat, tindakan TERGUGAT menerbitkan SK yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini justru merupakan tindakan dalam rangka menegakkan kepastian hukum dan kewibawaan negara/pemerintah, di mana perbuatan menguasai barang/milik kekayaan negara secara tidak sah harus ditertibkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila perbuatan PARA PENGGUGAT dibiarkan terus, maka akan timbul kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum, di mana pihak-pihak yang tidak berhak justru mendapat keleluasaan dan seolah-olah memiliki legitimasi untuk menguasai barang/milik kekayaan negara secara tidak sah.
Kelima, Pembayaran uang sewa, menanggung biaya Pajak Bumi dan Bangunan serta menanggung biaya perawatan/perbaikan rumah yang dihuni oleh PARA PENGGUGAT adalah kewajiban hukum PARA PENGGUGAT yang menempati/menguasai Rumah Negara Golongan II, meskipun sebenarnya PARA PENGGUGAT sudah tidak berhak. Adalah sangat wajar menurut hukum jika siapa yang menguasai dan menempati rumah negara bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban pembayaran-pembayaran dimaksud. Hal ini sudah sesuai dengan Kewajiban Penghunian Rumah Negara sebagaimana diatur dalam huruf H angka 1.b, c dan d Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-15/PB/2012 tanggal 19 April 2012 tentang Pedoman Teknis Penghunian Rumah Negara di Lingkungan Ditjen Perbendaharaan yang menyatakan: “b. Membayar sewa rumah negara yang besarnya dihitung berdasarkan formula sesuai ketentuan mengenai sewa rumah negara; c. Memelihara dan memanfaatkan Rumah Negara sesuai dengan fungsinya; d. Membayar pajak-pajak, retribusi dan pengeluaran lain-lain yang berkaitan dengan penghunian Rumah Negara”. Membayar semua kewajiban tersebut tidak secara otomatis menunjukkan legalitas para penghuni Rumah Negara.
Keenam, dalil PARA PENGGUGAT yang menyatakan telah melekat hak sewa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1578 jo Pasal 1579 jo Pasal 1580 KUHPerdata adalah dalil yang sangat keliru dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Perbuatan hukum yang terjadi antara TERGUGAT dengan PARA PENGGUGAT adalah perbuatan Hukum Administrasi Negara terkait “Penghunian Rumah Negara”, bukan merupakan perbuatan hukum perdata terkait sewa-menyewa. Syarat-syarat dan ketentuan penghunian rumah negara diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005 serta peraturan pelaksanaan lainnya sebagaimana telah diuraikan pada III.B.1 dan tidak tunduk pada ketentuan Pasal 1578 jo Pasal 1579 jo Pasal 1580 KUHPerdata. Selanjutnya uang sewa dalam penghunian rumah negara bukan berarti sebagai pembayaran sewa sebagaimana dalam hukum perdata, melainkan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tunduk pada hukum administrasi negara.
Ketujuh, apabila PARA PENGGUGAT mendalilkan bahwa perbuatan hukum yang ada adalah sewa-menyewa sesuai hukum perdata, makaSK TERGUGAT yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di PTUN sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata”. Konsekuensi hukumnya, perkara ini harus dinyatakan tidak dapat diterima karena bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN Bandung.
2.Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, TERGUGAT menilai tidak ada satu pun dalil-dalil yang dikemukakan PARA PENGGUGAT dalam gugatannya yang dapat menunjukkan dan membuktikan jika SK yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini bertentangan dengan dengan azas “Kepastian Hukum” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebaliknya jawaban TERGUGAT semakin memperjelas bahwa penerbitan SK yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini telah dilakukan sesuai dengan asas Kepastian Hukum, yaitu “asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara”.
3.Bahwa keliru dan tidak berdasarkan hukum dalil-dalil gugatan PARA PENGGUGAT pada angka IV.B.2 yang pada intinya menyatakan SK Pencabutan Izin Penghunian Rumah Negara Golongan II yang diterbitkan TERGUGAT bertentangan dengan azas “Kecermatan” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pertama, jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka asas “Kecermatan” tidak termasuk dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas yang relevan dan maksudnya sama dengan asas Kecermatan adalah asas tertib penyelenggaraan negara.
Kedua, asas tertib penyelenggaraan negara sebagaimana penjelasan Pasal 3 angka 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah “asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara”.
Ketiga, sesuai dengan pengertian di atas, sebelum mengeluarkan SK YANG menjadi obyek sengketa dalam perkara ini, TERGUGAT telah mempertimbangkan secara matang semua kepentingan yang terkait, baik kepentingan negara/pemerintah maupun kepentingan PARA PENGGUGAT. TERGUGAT telah mengambil langkah-langkah yang memadukan aspek keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam mengambil keputusan untuk mencabut izin penghunian Rumah Negara Golongan II yang dikuasai oleh PARA PENGGUGAT serta telah melakukan penelitian dan penjelasan kepada PARA PENGGUGAT. Hal-hal yang dipertimbangkan oleh TERGUGAT tersebut adalah:
a.PARA PENGGUGATterdiri dari pensiunan, janda pensiunan dan anak pensiunan yang secara normatif tidak lagi memiliki hak untuk menghuni Rumah Negara Golongan II;
b.PARA PENGGUGAT telah cukup lama menempati Rumah Negara Golongan II secara tidak sah, namun demikian hingga saat ini masih menempati rumah dimaksud secara aman. Hal ini menunjukkan TERGUGAT telah mempertimbangan rasa kemanusiaanbagi PARA PENGGUGAT;
c.PARA PENGGUGAT tetap bertahan menempati rumah negara meskipun berbagai upaya informal telah dilakukan agar PARA PENGGUGAT bersedia menyerahkan kembali Rumah Negara yang dikuasainya secara baik-baik kepada TERGUGAT;
d.Dengan tetap dikuasainya Rumah Negara Golongan II oleh PARA PENGGUGAT, TERGUGAT tidak dapat mengoptimalkan penggunaan Rumah Negara tersebut dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat. Saat ini para PNS yang masih aktif di KPPN Bogor dan KPPN Sukabumi yang seharusnya berhak untuk menempati Rumah Negara Golongan II justru tidak dapat menikmati haknya karena Rumah Negara tersebut hingga saat ini dikuasai oleh PARA PENGGUGAT;
e.Instruksi Menteri Keuangan Nomor 299/IMK.09/2010 tentang Penertiban Barang Milik Negara Berupa Tanah, Rumah, dan/atau Kendaraan Bermotor yang Dikuasai/Digunakan oleh Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan yang menginstruksikan kepada seluruh unit di lingkungan Kementerian Keuangan untuk “Melakukan inventarisasi dan penertiban terhadap BMN berupa tanah, rumah, dan/atau kendaraan bermotor yang dikuasai/digunakan oleh pensiunan PNS Kementerian Keuangan pada satuan kerja masing-masing”;
f.Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, TERGUGAT mengambil keputusan untuk menerbitkan SK yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini dalam rangka mewujudkan kepastian hukum dan kewibawaan negara/pemerintah, di mana perbuatan menguasai barang/milik kekayaan negara secara tidak sah harus ditertibkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila perbuatan PARA PENGGUGAT dibiarkan terus, maka akan menimbulkan kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum, di mana pihak-pihak yang tidak berhak justru mendapat keleluasaan dan seolah-olah memiliki legitimasi dan hak untuk menguasai barang/milik kekayaan negara secara tidak sah.
Keempat, terkait dalil PARA PENGGUGAT yang menyatakan dengan diterbitkannya SK yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini telah menimbulkan kerugian bagi PARA PENGGUGAT, kehidupan PARA PENGGUGAT yang sebagian besar berusia lanjut akan terlantar dan kehilangan tempat tinggal, jika memang benar demikian dan tidak didramatisir, adalah pertimbangan non yuridis yang tidak memiliki nilai hukum serta bertentangan dengan pertimbangan yuridis. Kepentingan dan kerugian PARA PENGGUGAT pun menurut TERGUGAT tidak berdasarkan hukum sebagaimana yang telah disampaikan dalam Eksepsi TERGUGAT pada angka I.8 sampai dengan 17.
Berdasarkan uraian dan dasar hukum yang TERGUGAT sampaikan baik dalam Eksepsi, dalam Penundaan dan Jawaban Terhadap Pokok Perkara, TERGUGAT berkeyakinan penerbitan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini tidak melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM POKOK PERKARA:
1.Menolak gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menyatakan SAH MENURUT HUKUM Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat Tanggal 26 Juni 2013 Tentang Pencabutan Ijin Penghunian Rumah Negara di bawah ini: (dalam jawaban terinci 26 SK);
3.Menghukum PARA PENGGUGAT untuk membayar biaya perkara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H