Bendahara Umum Negara (BUN) adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara (Pasal 1 angka 15 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Dalam pengelolaan perbendaharaan negara, Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara. Menteri Keuangan dalam melaksanakan tugasnya sebagai Bendahara Umum Negara tersebut selanjutnya menunjuk/mengangkat Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN) untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja tertentu yang telah ditetapkan. Kuasa Bendahara Umum Negara di wilayah kerja tertentu tersebut dijabat oleh Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), yang saat ini berjumlah 181 KPPN, tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dari Banda Aceh sampai Jayapura.Dua tugas pokok KPPN tersebut adalah melaksanakan penerimaan dan pengeluaran Kas Negara dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran negara dan melakukan pembayaran tagihan kepada penerima hak sebagai pengeluaran anggaran.
Apabila ditinjau lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan, KPPN menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: pengujian terhadap surat perintah pembayaran berdasarkan peraturan perundang-undangan, penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dari kas negara atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, penyaluran pembiayaan atas beban APBN, penilaian dan pengesahan terhadap penggunaan uang yang telah disalurkan, penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui dan dari Kas Negara, pengiriman dan penerimaan kiriman uang, penyusunan laporan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, penyusunan laporan realisasi pembiayaan yang berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri, penatausahaan penerimaan Negara bukan pajak, penyelenggaraan verifikasi transaksi keuangan dan akuntansi, pembuatan tanggapan dan penyelesaian temuan hasil pemeriksaan, pelaksanaan kehumasan dan pelaksanaan administrasi KPPN.
Dari sekian banyak fungsi KPPN di atas, terdapat 2 (dua) fungsi KPPN sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara yang sangat strategis dalam rangka pelaksanaan anggaran, yaitu pengujian terhadap surat perintah pembayaran berdasarkan peraturan perundang-undangan dan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dari kas negara atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Sebagaimana amanat Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Untuk melaksanakan amanat UU Keuangan Negara tersebut serta untuk menjamin terselenggaranya saling uji (check and balance) dalam proses pengujian Surat Perintah Membayar (SPM) dan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), maka dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang kewenangan kebendaharaan/pembayaran (comptable).
Pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja, yang berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berwenang: menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih, meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjaniian pengadaan barang/jasa, meneliti tersedianya dana yang bersangkutan, membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran yang bersangkutan dan memerintahkan pembayaran atas beban APBN/APBD. Sedangkan pemegang kewenangan kebendaharaan/pembayaran (comptable) dilakukan oleh BUN/Kuasa BUN pada Kementerian Keuangan yang berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berkewajiban untuk: meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam perintah pembayaran, menguji ketersediaan dana yang bersangkutan, memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran negara, menolak pencairan dana apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Perlu tetap diingat bahwa dalam Penjelasan Umum UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, disebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku BUN dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa BUN bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku BUN adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechtmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.
Di sinilah pentingnya pemahaman yang sama oleh setiap stakeholders khususnya bagi instansi penegak hukum, sehingga tidak dengan gampangnya ikut mempersalahkan BUN/Kuasa BUN ketika terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan anggaran. Seluruh pelaksanaan kegiatan serta ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam rangka pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah kewenangan dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Begitu juga yang bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD adalah pejabat yang menandatangani atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti tersebut pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja sebagai pemegang kewenangan administratif/ordonnateur (vide Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 1 tahun 2004).
Belanja Negara pada Tahun Anggaran 2015 ini berdasarkan APBN-P 2015 yang telah disetujui bersama antara Pemerintah dan DPR mencapai Rp 1.984,1 Triliun. Jumlah ini meningkat dari alokasi Belanja Negara dalam APBN-P 2014 yang mencapai Rp 1.876,9 Triliun. Data sementara (anaudited) pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan-Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 sampai 31 Desember 2014 mencapai Rp 1.767,3 Triliun (94,2% dari alokasi anggaran). Jika kita asumsikan tingkat penyerapan anggaran Tahun 2015 nanti sama dengan Tahun 2014 (94,2%), paling tidak ada anggaran Belanja Negara sebesar Rp 1.869 Triliun yang akan dicairkan oleh KPPN. Peningkatan alokasi anggaran Belanja Negara pada Tahun Anggaran 2015 ini kemungkinan besar akan mengakibatkan peningkatan volume pekerjaan yang cukup signifikan dalam proses pengujian Surat Perintah Membayar (SPM) yang disampaikan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dari Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja kepada KPPN sebagai Kuasa BUN. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa bertambahnya pagu anggaran dan bertambahnya jumlah Satuan Kerja memiliki korelasi dengan meningkatnya jumlah Surat Perintah Membayar (SPM) yang disampaikan kepada KPPN sebagai Kuasa BUN.
Bagaimana proses pengujian SPM dan penerbitan SP2D di KPPN selaku Kuasa BUN? Sesuai dengan Pasal 60 – 64 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D. Dalam pencairan anggaran belanja negara, KPPN melakukan penelitian dan pengujian atas SPM yang disampaikan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) dari Satuan Kerja. Penelitian tersebut meliputi: meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPM sebagaimana yang disyaratkan dan meneliti kebenaran SPM. Yang dimaksud dengan meneliti kebenaran SPM tersebut meliputi: meneliti kesesuaian tanda tangan PPSPM pada SPM dengan spesimen tanda tangan PPSPM yang ada dalam database KPPN, memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah angka dan huruf pada SPM dan memeriksa kebenaran penulisan dalam SPM, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
Sedangkan pengujian SPM meliputi: menguji kebenaran perhitungan angka atas beban APBN yang tercantum dalam SPM, menguji ketersediaan dana pada kegiatan/output/jenis belanja dalam DIPA dengan yang dicantumkan pada SPM, menguji kesesuaian tagihan dengan data perjanjian/kontrak atau perubahan data pegawai yang telah disampaikan kepada KPPN, menguji persyaratan pencairan dana dan menguji kesesuaian nilai potongan pajak yang tercantum dalam SPM dengan nilai pada Surat Setoran Pajak (SSP). Selanjutnya KPPN akan menerbitkan SP2D setelah penelitian dan pengujian SPM sebagaimana dimaksud di atas dinyatakan memenuhi persyaratan. Dalam hal hasil penelitian dan pengujian SPM dinyatakan tidak memenuhi persyaratan, Kepala KPPN mengembalikan SPM beserta dokumen pendukungnya secara tertulis. Standar pelayanan dalam penerbitan SP2D oleh KPPN di seluruh wilayah Indonesia sudah sangat transparan dan akuntabel serta bebas dari pungutan biaya apapun. Ini bukan hanya sekedar slogan, tapi fakta lapangan yang nyata.Jika masih ada penerima hak yang diberitahu oleh PPSPM atau petugas lainnya dari Satuan Kerja adanya biaya tertentu untuk petugas KPPN, dapat dipastikan bahwa anda mungkin tertipu. Untuk itu pihak-pihak yang dirugikan dapat menyampaikan pengaduan secara langsung kepada unit kepatuhan internal yang ada di masing-masing KPPN, atau ke unit pengaduan Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau langsung ke unit pengaduan Kementerian Keuangan.
Kelancaran pelaksanaan Belanja Negara dalam APBN-P 2015 yang mencapai Rp 1.984,1 Triliun tentu tidak akan terlepas dari peran KPPN sebagai Kuasa BUN, di samping dukungan pelaksanaan kewenangan administratif yang baik oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja sebagai Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Beberapa peran KPPN sebagai Kuasa BUN yang sangat strategis dalam proses pelaksanaan anggaran Tahun 2015 ini di antaranya adalah:
Pertama, mendorong percepatan pelaksanaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja dengan terus-menerus mengingatkan/mengedukasi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk segera melaksanakan kegiatan yang sudah dialokasikan anggarannya dalam DIPA. Percepatan pelaksanaan anggaran tersebut tentu saja harus mengacu pada ketentuan yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Kedua, mendorong percepatan pelaksanaan pencatatan komitmen (kontrak) yang telah dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ke KPPN. Selama ini PPK pada Satuan Kerja kerap terlambat dalam melakukan pencatatan komitmen (kontrak) ke KPPN, akibatnya proses penyelesaian tagihan kepada Negara juga sering mengalami keterlambatan dan cenderung menumpuk pada akhir tahun anggaran. Hal ini tentu saja kurang baik dalam proses pelaksanaan anggaran yang efektif, transparan dan bertanggung jawab, di samping juga kurang sehat dari sisi pengelolaan kas BUN. Ke depan, Kuasa BUN perlu memperketat sanksi atas keterlambatan pelaksanaan pencatatan komitmen (kontrak) ke KPPN dan keterlambatan penyelesaian tagihan kepada Negara sesuai norma-norma waktu yang telah ditetapkan.
Ketiga, mendukung proses pelaksanaan kegiatan pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja melalui penyediaan Uang Persediaan dan/atau Tambahan Uang Persediaan yang memadai kepada para Bendahara Pengeluaran yang ada di masing-masing Satuan Kerja. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak semua kegiatan dapat dibayar dengan mekanisme Pembayaran Langsung dari Rekening BUN ke rekening penerima hak. Untuk kegiatan-kegiatan tertentu diperlukan dana cash yang memadai di Bendahara Pengeluaran, yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran melalui mekanisme Uang Persediaan. Pembayaran dengan Uang Persediaan ini hanya dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada 1 (satu) penerima/penyedia barang/jasa paling banyak sebesar Rp 50 juta, kecuali untuk pembayaran honorarium dan perjalanan dinas, atau untuk hal lainnya setelah mendapat dispensasi dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. Dukungan penyediaan Uang Persediaan dan/atau Tambahan Uang Persediaan ini tentu saja harus dibarengi dengan pengetatan pengawasan penggunaannya oleh Kuasa BUN agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan tersebut meliputi kepatuhan Satuan Serja dalam mengajukan penggantian Uang Persediaan dan kepatuhan Satuan Kerja dalam mempertanggungjawabkan penggunaan Tambahan Uang Persediaan. Satuan Kerja yang melakukan pelanggaran atas penggunaan Uang Persediaan dan/atau Tambahan Uang Persediaan agar dikenakan sanksi secara tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keempat, mendukung proses penyederhanaan proses bisnis dalam pencairan anggaran melalui upaya revisi peraturan-peraturan teknis yang menghambat dan/atau penerbitan regulasi baru yang relevan dengan perkembangan serta penggunaan sistem teknologi informasi yang terintegrasi guna memudahkan seluruh pelaksanaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H