Mohon tunggu...
Toni Pamabakng
Toni Pamabakng Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Sosial, Hukum dan Pemerintahan

Tenang, Optimis, Nasionalis dan Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sebuah Alternatif Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Pekerjaan yang Belum Selesai

12 Maret 2014   23:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 2666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinjauan Yuridis

Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan: “Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diiterima”. Ketentuan ini menegaskan bahwa persyaratan utama dapat dilakukannya pembayaran adalah “telah diterimanya barang dan/atau jasa” yang diperjanjikan antara PPK dan Penyedia Barang/Jasa sesuai dengan tanda bukti perjanjian yang ada, baik dengan Surat Perjanjian (biasa disebut “Kontrak”), Surat Perintah Kerja, Kuitansi dan/atau Tanda Bukti Pembelian. Dengan kata lain, apabila dilakukan pembayaran padahal barang dan/atau jasa belum diterima, hal itu adalah sebuah tindakan yang melanggar aturan dan dapat dikategorikan sebagai tindakan “korupsi” karena menimbulkan kerugian negara dan/atau daerah.

Selanjutnya pada Pasal 89 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, disebutkan bahwa: “Pembayaran prestasi pekerjaan dapat diberikan dalam bentuk:

a. pembayaran bulanan;

b. pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaan (termin); atau

c. pembayaran secara sekaligus setelah penyelesaian pekerjaan.

Berdasarkan ketentuan di atas, bentuk apapun yang digunakan dalam proses pembayaran, syarat utama yang menjadi prinsip utamanya adalah adanya “Prestasi Pekerjaan”. Artinya, tanpa adanya prestasi pekerjaan, maka tidak boleh ada pembayaran (kecuali dalam hal pembayaran uang muka).

Apakah prinsip dasar di atas berlaku secara mutlak? Ternyata tidak, hal ini dapat kita simpulkan dari bunyi Pasal 21 ayat (6) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan: “Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Artinya, dimungkinkan untuk dapat dilakukan pembayaran meskipun barang dan/atau jasa belum diterima, sepanjang hal itu dikecualikan dan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Permasalahannya adalah sejak diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur pengecualian tersebut, namun dalam prakteknya selama ini terjadi pembayaran atas pekerjaan yang barang dan/atau jasanya belum diterima. Praktek tersebut dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan yang mengatur tentang langkah-langkah dalam menghadapi akhir tahun anggaran. Baru pada Tahun 2013 hal tersebut diatur, yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, khususnya pada Pasal 68 ayat (2), (3) dan (4) yang menyatakan sebagai berikut:

(2) Dalam hal tertentu, pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.

(3) Pembayaran atas beban APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah penyedia barang dan/atau jasa menyampaikan jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan.

(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran atas beban APBN yang dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima termasuk bentuk jaminan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di atas, maka pembayaran atas pekerjaan yang belum diterima oleh Negara menjadi sah dan telah sesuai dengan amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah mekanisme pembayaran sebelum barang dan/atau jasa diterima dengan menyampaikan “Jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan” sebagaimana diatur pada ayat (3) tersebut cukup akuntabel? Apakah tidak ada alternatif lain?

Kelemahan Mekanisme Jaminan

Berkaca pada akhir tahun anggaran 2013 dan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.05/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara pada Akhir Tahun Anggaran yang diatur lebih lanjut pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-42/PB/2013 tentang Langkah-Langkah dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2013, Jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan atas pekerjaan yang belum selesai (barang/jasa belum diterima) menggunakan Jaminan/Garansi Bank. Jenis jaminan ini cukup spesifik dan khusus karena sebenarnya tidak dikenal dalam jenis-jenis jaminan yang diatur pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada Pasal 67 ayat (2) Perpres dimaksud hanya dikenal Jaminan Penawaran, Jaminan Pelaksanaan, Jaminan Uang Muka, Jaminan Pemeliharaan dan Jaminan Sanggahan Banding. Ke depan perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi regulasi yang diinisiasi Ditjen Perbendaharaan dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), di mana “Jaminan Pembayaran atas pekerjaan yang belum selesai” ini dapat masuk pada batang tubuh Perpres yang mengatur tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-42/PB/2013 tentang Langkah-Langkah dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2013 sebagai ketentuan teknis pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pekerjaan yang dilaksanakan secara kontraktual yang Berita Acara Penyelesaian Pekerjaannya (BAPP) dibuat mulai tanggal 23 (hari terakhir penyampaian SPM-LS) sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, PPSPM pada saat mengajukan SPM-LS ke KPPN wajib melampirkan:

a.Surat Perjanjian Pembayaran;

b.Asli jaminan/garansi pembayaran dari bank umum dan/atau SPTJM sebagai Penjaminan untuk persentase pekerjaan yang belum diselesaikan ≤ Rp 50 juta;

c.Surat Pernyataan dari PPK mengenai keabsahan jaminan/garansi bank;

d.Asli Surat Kuasa;

e.Surat Pernyataan Kesanggupan untuk Menyelesaikan Pekerjaan.

Ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam Perdirjen di atas terkait persyaratan jaminan/garansi pembayaran dari bank umum tersebut adalah:

a.Masa berlakunya berakhir sampai dengan berakhirnya masa kontrak;

b.Nilai jaminan sekurang-kurangnya sebesar persentase pekerjaan yang belum diselesaikan;

c.Masa pengajuan klaim selama 30 hari kalender sejak berakhirnya jaminan/garansi pembayaran bank tersebut;

d.Diterbitkan oleh bank yang berlokasi dalam wilayah kerja KPPN bersangkutan;

e.Bersifat transferable;

f.Format Jaminan/garansi bank dibakukan oleh Ditjen Perbendaharaan.

Dalam praktek pelaksanaannya dan dari pengalaman saya selama bertugas di KPPN, mekanisme pembayaran pekerjaan yang belum selesai (barang/jasa belum diterima) pada akhir tahun anggaran dengan jaminan/garansi bank dimaksud terdapat beberapa kelemahan dan berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari, di antaranya adalah:


  • Satker dan Penyedia Barang/Jasa “berkolaborasi” untuk merendahkan persentase pekerjaan yang belum diselesaikan dengan maksud untuk memperkecil nilai jaminan/garansi bank;
  • Persyaratan membuat jaminan/garansi bank menambah biaya bagi Penyedia Barang/Jasa;
  • Persyaratan jaminan/garansi bank diterbitkan oleh bank umum yang berlokasi dalam wilayah kerja KPPN bersangkutan menyulitkan dan merugikan penyedia barang/jasa yang tidak berkedudukan dalam wilayah kerja KPPN;
  • Berpotensi adanya jaminan/garansi bank “Aspal”;
  • Bank berpotensi menolak menerbitkan jaminan/garansi bank sesuai dengan format yang ditetapkan oleh Ditjen Perbendaharaan dengan alasan bank sudahmemiliki format sendiri mengacu pada ketentuan internal dan Bank Indonesia;
  • Bank berpotensi menolak melakukan pencairan jaminan/garansi bank dengan berbagai alasan. Ketentuan bahwa kemudian PPK bertanggung jawab secara pribadi untuk menyetorkan uang jaminan ke Kas Negara menurut saya suatu hal yang tidak sesuai hukum. Secara hukum seseorang hanya bertanggung jawab atas perbuatan dan kesalahan yang dilakukannya. Agak aneh jika bank yang bersalah dan menolak pencairan, justru PPK yang diminta bertanggung jawab. Lebih aneh lagi Surat Pernyataan Keabsahan Jaminan Bank justru ditandatangani oleh PPK, seharusnya yang menyatakan keabsahannya adalah pejabat bank yang menerbitkan jaminan tersebut. Ketentuan dalam Perdirjen rawan untuk di judicial review oleh PPK;
  • Pencairan anggaran kadang tidak sesuai dengan nilai riil uang yang ada di bank sebagaimana yang tercantum dalam Jaminan/Garansi Bank, karena beberapa bank menerbitkan jaminan bank hanya berdasarkan asuransi/penjaminan, bukan berdasarkan nilai uang yang benar-benar diblokir oleh bank;
  • Proses klaim jaminan/garansi bank melibatkan banyak fihak, yaitu PPK, Penyedia Barang/Jasa, Kepala KPPN dan Bank;
  • Dengan format Surat Kuasa dalam Perdirjen saat ini yang tidak disertai dengan klausul hak substitusi kepada Pejabat yang baru untuk mengantisipasi adanya mutasi/pergantian Kepala KPPN, Bank berpotensi menolak pencairan jaminan jika yang mengajukan klaim namanya berbeda dengan nama yang tercantum dalam Surat Kuasa.
  • Pembayaran sudah diterima dan dikuasai oleh Penyedia Barang/Jasa padahal belum ada prestasi pekerjaan. Jika di kemudian hari terjadi permasalahan hukum, sulit untuk dapat menarik kembali pembayaran yang sudah masuk ke rekening Penyedia Barang/Jasa tersebut. Peluang terjadinya kerugian Negara sangat besar;
  • Karena uang sudah dikuasai oleh Penyedia Barang/Jasa, Penyedia Barang/Jasa dan PPK kurang terpacu untuk segera menyelesaikan administrasi ke KPPN terkait penyampaian BAPP dan lain sebagainya, apalagi jika fakta di lapangan ada wanprestasi. Dalam hal wanprestasi, Satker biasanya tidak serta-merta menyampaikan Surat Pernyataan Wanprestasi ke KPPN, tetapi justru mengulur-ulur waktu, sambil terus “bermanuver” dengan Penyedia Barang/Jasa, dan ujung-ujungnya menyampaikan BAPP 100% (walaupun kenyataan di lapangan pekerjaan belum selesai).

Sebuah Alternatif Solusi ke Depan

Dengan cukup banyaknya kelemahan mekanisme pembayaran atas pekerjaan yang belum selesai (barang/jasa belum diterima Negara) dengan Jaminan/Garansi Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, khususnya pada Pasal 68 ayat (2), (3) dan (4) dan sebagaimana diatur lebih teknis dalam Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-42/PB/2013 tentang Langkah-Langkah dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2013, saya berpendapat perlu sebuah alternatif lain untuk menggantikan Jaminan/Garansi Bank sebagai persyaratan dalam pembayaran pekerjaan yang belum selesai sampai dengan tanggal terakhir penyampaian SPM-LS ke KPPN. Alternatif solusi tersebut adalah dengan penambahan jenis SPM/SP2D baru yang saya namakan SPM/SP2D “Pembayaran Atas Pekerjaan Yang Belum Selesai (PPBS)”.

Jenis SPM/SP2D generasi terbaru tersebut adalah SPM/SP2D yang diterbitkan dalam rangka pembayaran atas pekerjaan kontraktual yang BAST-nya (sesuai nomenklatur dalam Perpres tentang Pengadaan barang/Jasa Pemerintah bukan BAPP sebagaimana dalam Perdirjen Langkah-langkah Akhir Tahun Anggaran) diperkirakan akan terjadi pada 1 hari setelah batas tanggal terakhir penyampaian SPM ke KPPN sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berkenaan. “Profil” SPM/SP2D “Pembayaran Atas Pekerjaan Yang Belum Selesai (PPBS)” tersebut adalah sebagai berikut:

a.Ditujukan kepada: (Nama Penyedia Barang/Jasa)

b.NPWP: (NPWP Penyedia Barang/Jasa)

c.Rekening: (Nomor dan Nama Rekening Bendahara Umum Negara di BO I)

d.Bank/Pos: (Bank/Pos tempat rekening BUN dibuka)

e.Uraian:

“Pembayaran Belanja…..(Barang/Modal/lain-lain) Yang Belum Selesai sesuai Kontrak/SPK/Kuitansi/Bukti pembelian Nomor…..Tanggal……dan Surat Perjanjian Pembayaran Nomor…..Tanggal…..”

Perbedaannya dengan SPM-LS terletak pada Nomor dan Nama Rekening, dimana Rekening yang ditunjuk sebagai penerima pembayaran adalah Nomor dan Nama Rekening BUN di BO I, bukan Nomor dan Nama Rekening Penyedia Barang/Jasa, sehingga dengan demikian Penyedia Barang/Jasa belum menerima dana yang dicairkan meskipun telah dilakukan pencairan dana oleh KPPN. Dana yang dicairkan ditampung sementara dalam rekening BUN di BO I dan baru akan disalurkan kepada Penyedia Barang/Jasa setelah kontrak berakhir dan setelah Satker memenuhi persyaratan yang ditentukan. Untuk itu perlu dibuka terlebih dahulu rekening BUN di masing-masing BO I dengan nama “Rekening Bendahara Umum Negara untuk Menampung Pembayaran Pekerjaan Yang Belum Selesai”. Rekening ini sama halnya dengan rekening retur (rr), wajib dikelola secara transparan dan hanya dapat disalurkan oleh BO I kepada yang berhak atas surat perintah Kepala KPPN.

Bagaimana persyaratan penyaluran dana ke rekening Penyedia Barang/Jasa? Dalam hal pekerjaan diselesaikan 100% sesuai dengan Kontrak, PPK menyampaikan Surat Permohonan Penyaluran Dana ke KPPN dengan dilampiri:

a.Berita Acara Serah Terima Pekerjaan (BAST) yang ditandatangani oleh Panitia Penerima Barang/Jasa bersama Penyedia Barang/Jasa dan diketahui oleh PPK yang menerangkan pekerjaan telah diselesaikan 100% sesuai dengan kontrak;

b.Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang disampaikan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satker yang menerangkan KPA bertanggung jawab penuh atas kebenaran materiil penyelesaian pekerjaan, baik secara administratif, teknis dan keuangan;

c.Kepala KPPN selanjutnya menerbitkan Surat Perintah Penyaluran Dana ke BO I untuk menyalurkan dana dari Rekening BUN ke Rekening Penyedia Barang/Jasa yang ditunjuk dalam Surat Permohonan Penyaluran Dana.

Dalam hal terjadi wanprestasi (pekerjaan tidak dapat diselesaikan 100% sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak), PPK menyampaikan Surat Permohonan Penyaluran Dana ke KPPN (dalam hal masih ada hak Penyedia Barang/Jasa, wanprestasinya hanya sebagian) dengan dilampiri:

a.Surat Pernyataan Wanprestasi;

b.Berita Acara Serah Terima Pekerjaan (BAST) yang ditandatangani oleh Panitia Penerima Barang/Jasa bersama Penyedia Barang/Jasa dan diketahui oleh PPK yang menerangkan persentase pekerjaan telah diselesaikan sampai dengan berakhirnya kontrak;

c.Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang disampaikan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satker yang menerangkan KPA bertanggung jawab penuh atas kebenaran materiil penyelesaian pekerjaan, baik secara administratif, teknis dan keuangan;

d.Dalam hal masih ada hak Penyedia Barang/Jasa, Kepala KPPN selanjutnya menerbitkan Surat Perintah Penyaluran Dana ke BO I untuk menyalurkan dana dari Rekening BUN ke Rekening Penyedia Barang/Jasa yang ditunjuk dalam Surat Permohonan Penyaluran Dana;

e.Kepala KPPN selanjutnya menerbitkan Surat Perintah Penyetoran Dana ke Rekening Kas Negara sebesar persentase pekerjaan yang dinyatakan wanprestasi.

Pembayaran atas pekerjaan yang belum selesai (barang/jasa belum diterima Negara) dengan mekanisme penerbitan SPM/SP2D “Pembayaran Atas Pekerjaan Yang Belum Selesai (PPBS)” –dimana pembayaran ditampung dalam rekening BUN-- ini menurut saya jika diterapkan oleh Ditjen Perbendaharaan cukup banyak kelebihannya dibandingkan jika menggunakan instrumen “Jaminan/Garansi Bank”, di antaranya adalah:

a.Persyaratan pengajuan SPM untuk pekerjaan yang belum selesai oleh PPSPM ke KPPN menjadi lebih sederhana, yaitu cukup melampirkan Surat Perjanjian Pembayaran dan Surat Pernyataan Kesanggupan;

b.Tidak diperlukannya lagi Jaminan/Garansi Bank yang cukup merepotkan Penyedia Barang/Jasa dan Satker. Hal ini tentunya menghemat biaya, waktu dan tenaga Penyedia Barang/Jasa dan Satker dalam memproses pencairan anggaran;

c.Pembayaran belum diterima dan belum dikuasai oleh Penyedia Barang/Jasa karena dana masih disimpan dengan aman di rekening BUN. Jika di kemudian hari terdapat kasus hukum, proses pengembalian dana ke rekening Kas Negara sangat mudah. Peluang terjadinya kerugian Negara dapat diminimalisir.

d.Akuntabilitasnya sangat tinggi karena pada dasarnya Penyedia Barang/Jasa memang belum berhak menerima pembayaran sebelum adanya prestasi pekerjaan yang riil;

e.Tidak ada lagi cerita atau kekuatiran Bank menolak melakukan pencairan jaminan bank karena uang sudah berada dengan aman di rekening BUN pada BO I. Kepala KPPN tinggal memerintahkan BO I untuk menyetorkan dana tersebut ke rekening Kas Negara;

f.Karena uang belum diterima dan belum dikuasai oleh Penyedia Barang/Jasa, Satker dan Penyedia Barang/Jasa akan lebih bersemangat dan cepat dalam menyampaikan administrasi ke KPPN, agar dananya segera disalurkan dari rekening BUN ke rekening Penyedia Barang/Jasa.

Inilah sedikit ide yang saya lahirkan hari ini untuk penyempurnaan mekanisme pelaksanaan pembayaran ……entah tepat atau tidak, atau dapat diterapkan atau tidak oleh Ditjen Perbendaharaan, semuanya terserah keputusan pejabat yang berwenang. Saya hanyalah seorang pegawai kecil yang tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan menyusun regulasi. Salam Perbendaharaan.

Jakarta, 12 Maret 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun