Mohon tunggu...
Toni Pamabakng
Toni Pamabakng Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Sosial, Hukum dan Pemerintahan

Tenang, Optimis, Nasionalis dan Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Jurus Pendekar Mabuk" Praperadilan

3 Februari 2015   20:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin (2 Februari 2015) seyogianya adalah pelaksanaan sidang perdana Praperadilan yang diajukan oleh Komjen BG sebagai Pemohon dan KPK sebagai Termohon. Momen yang sangat menarik untuk diikuti dan diamati ini sayangnya harus tertunda minggu depan (tanggal 9 Februari 2015) karena pihak KPK sebagai Termohon tidak menghadiri sidang hari ini. Sangat menarik untuk diikuti dan diamati karena sidang Praperadilan kali ini adalah sebuah “Panggung Hukum” yang menarik perhatian seluruh rakyat Indonesia, dari “rakyat yang jelas” hingga “rakyat yang tidak jelas”. Menarik perhatian karena melibatkan seorang tokoh utama di Kepolisian RI melawan institusi penegak hukum KPK. Menarik untuk dicermati bagaimana hiruk-pikuk dan keputusan dari “Panggung Hukum” Praperadilan ini nanti.

Apa sih sebenarnya Praperadilan itu? Pasal 1 angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan Praperadilan itu sebagai berikut: “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: (a).sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b).sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c).permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”. Definisi ini kemudian dipertegas kembali pada Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tersebut yang menyatakan: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a).sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b).ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Berdasarkan definisi dan penegasan pada Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tersebut di atas sangatlah jelas dan terang benderang bahwa pengujian atas sah atau tidaknya penetapan status tersangka tidaklah menjadi obyek atau “kompetensi absolut” dari Praperadilan. Dengan demikian menurut pendapat saya yang dulu pernah sedikit belajar ilmu hukum, materi gugatan yang diajukan Kuasa Hukum Komjen BGsangat tidak berdasarkan hukum. Mari kita lihat satu per satu obyek atau “kompetensi absolut” Praperadilan sebagaimana dimaksud di atas.

(a).sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

Dalam kasus Komjen BG, sama sekali belum dilakukan tindakan hukum penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Tindakan hukum yang dilakukan KPK baru sebatas pada penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka. Sesuai Pasal 1 angka 14 UU Nomor 8 Tahun 1981, Tersangka adalah “seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Atas penetapan tersangka tersebut, Komjen BG sebaiknya patuh hukum untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya kepada KPK terkait tindak pidana yang dituduhkan kepadanya (bukan sebaliknya malah mangkir dari panggilan KPK). Adalah hak seorang tersangka/terdakwa untuk membela dirinya dengan berbagai cara dan semua pembelaan itu nantinya akan diuji di depan persidangan Pengadilan yang terbuka untuk umum. Pembelaan atas penetapan tersangka menurut saya adalah dengan memberikan keterangan di depan KPK dan Pengadilan dengan sebaik-baiknya demi membela diri, bukan dengan mengajukan Praperadilan.

(b).ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan

Dalam Praperadilan yang diajukan Pemohon Komjen BG, sangat terang benderang juga tidak ada materi gugatan yang terkait permohonan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kasus Komjen BG di KPK masih sangat jauh dari hal ini dan bahkan sesuai UU tentang KPK, tidak mungkin dilakukan penghentian penyidikan/penuntutan untuk perkara yang disidik/dituntut oleh KPK. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa dasar hukum yang diajukan Budi Gunawan untuk mengajukan praperadilan tidak ada, seperti jurus pendekar mabuk.

Terakhir, tanpa bermaksud memihak KPK dan hal ini semata-mata berdasarkan norma hukum, Keputusan Hakim yang menyidangkan Praperadilan juga sudah diatur pada Pasal 82 ayat (2) dan (3) UU Nomor 8 Tahun 1981. Secara tegas dan terang benderang pada pasal tersebut sebagaimana yang akan saya uraikan di bawah ini, tidak ada materi putusan Praperadilan untuk menyatakan penetapan tersangka tidak sah sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon Komjen BG. Isi putusan Praperadilan harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya dan hanya memuat kemungkinan hal-hal sebagai berikut:

a.dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

b.  dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c.  dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

d.  dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.

Tidak ada dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur demikian: “dalam hal putusan menetapkan bahwa penetapan tersangka tidak sah, maka penyidik harus menghentikan penyidikan dan mencabut status tersangka”. (Lagian kalaupun Hakim “mabuk” membuat putusan seperti ini, tetap saja tidak ada artinya karena KPK tidak mengenal penghentian penyidikan).

Lalu mengapa Tersangka BG ngotot melakukan Praperadilan terhadap penetapan tersangka oleh KPK (padahal tidak ada “kompetensi absolut” Praperadilan untuk memeriksa hal itu)? Ya adalah hak tersangka untuk melakukan upaya hukum apa saja untuk membela dirinya, termasuk dengan melakukan upaya hukum laksana pendekar mabuk. Harapan saya adalah Hakim Tunggal Praperadilan dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak ikut-ikutan menjadi pendekar mabuk dan menjadi “Hakim yang tidak jelas” hehehe…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun