“Wakil Tuhan” di dunia, inilah julukan yang biasa dilekatkan pada jabatan Hakim. Julukan ini mungkin terdengar terlalu hiperbola, akan tetapi memang kenyataannya seorang Hakim dengan ketukan palunya dapat menentukan “nasib” seseorang atau suatu badan hukum, bahkan dapat mencabut nyawa seorang manusia dengan vonis hukuman matinya. Mungkin karena itulah maka Hakim dijuluki “Wakil Tuhan” di dunia.
Hakim bertugas untuk mengadili perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara bebas dan mandiri sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya. Dalam persidangan, para Hakim dipanggil dengan nomenklatur “Yang Mulia” dan dalam setiap putusannya selalu dimulai dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sayangnya, para “Wakil Tuhan” di dunia itu juga manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan. Mereka bisa salah dalam membuat sebuah putusan, baik karena kesengajaan maupun kelalaiannya. Alih-alih putusannya membawa keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kadang-kadang putusan Hakim malah menimbulkan ketidakadilan yang sangat dibenci Tuhan Yang Maha Esa serta menimbulkan “kecelakaan” hukum yang menghebohkan masyarakat.
Dunia hukum sangat tersentak dengan putusan dari Hakim Sarpin Rizaldi atas praperadilan yang diajukan oleh Komjen BG. Bagaimana tidak, dalam putusannya Hakim Sarpin tersebut memperluas sendiri obyek praperadilan yang sebenarnya sudah sangat jelas dan limitatif diatur pada Pasal 77 KUHAP. Masyarakat awam pun dengan membaca Pasal 77 KUHAP tersebut akan sangat paham bahwa penetapan tersangka tidak termasuk obyek praperadilan.
Akan tetapi anehnya, obyek praperadilan tersebut diperluas oleh Hakim Sarpin termasuk dalam hal penetapan tersangka. Pihak yang pro menyatakan putusan hakim Sarpin adalah terobosan dan penemuan hukum yang patut diapresiasi. Sebaliknya pihak yang kontra menyatakan bahwa Hakim Sarpin telah melampaui kewenangannya, mengadili tidak berdasarkan hukum yang berlaku serta ada indikasi terjadi pelanggaran kode etik.
Saya sendiri sangat tidak setuju jika putusan Hakim Sarpin tersebut disebut sebagai penemuan hukum, karena hukumnya sudah sangat jelas pada Pasal 77 KUHAP. Sesuatu yang sudah sangat jelas, maka tidak perlu dilakukan penafsiran hukum lain selain apa yang telah diatur pada pasal tersebut. Penafsiran hukum lain hanya boleh dilakukan apabila peraturan yang ada kurang jelas atau tidak ada hukum yang mengaturnya.
Lebih aneh lagi ketika Hakim Sarpin mempersempit pengertian penegak hukum dengan menyatakan Komjen BG bukanlah aparat penegak hukum, mengingat jabatannya saat kejadian hanya jabatan administratif yang mengurusi masalah SDM/Personalia.
Hakim Sarpin berpendapat polisi yang disebut penegak hukum hanya terbatas pada anggota polisi yang bertugas pada unit penyelidikan dan penyidikan. Hal ini kontradiktif dengan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang menyatakan: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Dalam UU Kepolisian tersebut, tidak dibedakan pangkat maupun jabatan seorang polisi, semuanya adalah satu kesatuan (tidak dapat dipisahkan) untuk melaksanakan fungsinya tersebut. Secara sosiologis pun, masyarakat umum jelas menganggap bahwa semua anggota polisi adalah aparat penegak hukum. Mungkin hanya Hakim Sarpin lah yang beranggapan tidak semua anggota polisi adalah aparat peenegak hukum.
Bahkan Komjen Buwas sendiri sekarang menyatakan: "Polisi itu mau dimana saja kalau perwira itu penyidik, ada di undang-undangnya. Kalau Tim Khusus itu bisa mengambil dari mana saja, yang penting dia penyidik. Ada Skep penyidiknya, ada surat perintah penyidiknya, surat perintah tugasnya, itu yang penting" (Sumber: http://news.detik.com/read/2015/02/26/074020/2843374/10/semua-polisi-adalah-penegak-hukum?n991103605).
Secara normatif semua pihak harus menghormati keputusan hakim. Ya itu memang betul, tapi fakta menunjukkan banyak pihak yang merasa keputusan Hakim Sarpin ini “nyeleneh” sehingga tidak heran yang bersangkutan telah dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Termasuk KPK pun akan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Bahkan Presiden pun menurut saya terkejut.
Mengapa saya berani mengatakan Presiden terkejut? Asumsi saya, dari awal Presiden menyatakan keputusan mengenai nasib Komjen BG sebagai calon Kapolri adalah menunggu putusan praperadilan. Presiden ingin menunjukkan bahwa beliau sangat menghormati proses hukum.
Tapi kita juga ingat, Buya sudah membocorkan niat Presiden untuk membatalkan pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri. Logikanya, jika Presiden sudah berketetapan hati membatalkan pencalonan Komjen BG, tentulah harapannya putusan praperadilan akan menolak permohonan yang diajukan oleh Komjen BG, sehingga putusan hukum akan klop dengan keputusan politik Presiden.
Sayang sekali, analisis hukum Ring 1 ternyata keliru, Hakim Sarpin malah mengabulkan permohonan praperadilan Komjen BG. Tentu saja hal ini membuat kaget Presiden, sehingga putusan Presiden kelihatan agak mundur dari janji sebelumnya. Pantang mundur mengikuti aspirasi rakyat, Presiden akhirnya tetap menyatakan membatalkan pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri dan selanjutnya mengajukan calon Kapolri baru BH ke DPR. Benar-benar heboh kan……?
“Wakil Tuhan” di dunia lainnya yang membuat heboh adalah Hakim Teguh Satya Bhakti. Hakim ini menangis tersedu-sedu saat membacakan putusan sengketa kepengurusan PPP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Fenomena yang aneh menurut saya, karena mestinya tidak ada kesedihan atau keterharuan yang sangat menguras emosi terkait sengketa kepengurusan parpol.
Biasanya yang menangis tersedu-sedu di sidang pengadilan adalah Terdakwa, ini malah Hakim. Tangisan Hakim ini perlu ditelusuri lebih lanjut sebenarnya karena apa. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi, misalnya: hakim tersebut merasa sangat tertekan, atau hakim tersebut secara pribadi ada rasa keberpihakan pada salah satu kubu yang bertikai.
Menurut salah satu kubu PPP, tangisan Hakim ini merupakan pelanggaran etika serius dan tak bisa dibiarkan. Oleh karena itu mereka akan melaporkan tangisan tersedu-sedu Hakim ini ke Komisi Yudisial. Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi juga telah meminta Komisi Yudisial (KY) menyelidiki mengapa Teguh menangis.
Menurut Suhadi, seharusnya hakim tidak boleh menangis saat membacakan putusan. Ya kalau mengadili perkara pembunuhan saya bisa memaklumi hakim menangis karena terharu dan rasa simpati yang dalam kepada korban, atau Hakim terharu kepada terdakwa karena dia adalah orang yang sangat miskin, yang terpaksa mencuri karena lapar. Ada-ada saja Hakim Teguh Satya Bhakti ini hehe….
Kita tentu saja sangat berharap adanya hakim-hakim yang berintegritas tinggi, punya hati nurani, memiliki rasa empati dan simpati kepada korban kejahatan, penegak keadilan dan hukum, dan mampu menggali nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu fungsi pengawasan Komisi Yudisial dan internal Mahkamah Agung serta partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan agar para “Wakil Tuhan” di dunia tersebut tidak tersesat dan menimbulkan “kecelakaan” hukum!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H