"Grup Musik Paling Populer di Indonesia". Itulah sebutan resmi bagi kelompok musik Koes Bersaudara sekitar 45 tahun silam. Tua-muda, besar-kecil, pria-wanita, kaya-miskin mengenal nama, wajah dan karya-karya mereka. Dengan mudah, karena begitu hafalnya, di mana saja masyarakat melantunkan bait demi bait lagu-lagu karya anggota keluarga Koeswoyo itu.
Memang. Mulai tahun 1962 hingga awal 1965, tembang seperti Harapanku, Aku Rindu, Bis Sekolah, Telaga Sunyi, Dara Manisku maupun Pagi yang Indah dengan cepat merebut hati rakyat segala golongan di seantero nusantara. Popularitas Koestono (Toni), Koesnomo (Nomo), Koesdjono (Yon) dan Koesrojo (Yok) pun melambung; seiring makin berkibarnya karir mereka. Dalam kurun sekitar 3 tahun, 4 anak muda yang belum lagi berusia 25 telah menjelma dari pemusik pesta dan hajatan menjadi grup musik panggung dan dapur rekaman yang sukses tiada tara.
Seberapa pun ketenaran mereka, Koes Bersaudara tetaplah seperti benda lainnya di kolong langit. Ada sisi positifnya, namun bagian yang dianggap negatif, tak bisa dikesampingkan.
Dan, tak ada yang bisa melarang ketika rezim yang berkuasa waktu itu, justru memberi sorotan yang sangat serius pada kecenderungan "negatif" yang mereka bawa.
"Koes Bersaudara menampilkan musik ngak-ngik-ngok yang mendorong bangsa ini menjadi cengeng dan melempem," kata mereka yang berdiri di balik panji-panji pemerintah.
"Aliran musik mereka sama sekali tak sesuai dengan karakter bangsa yang sedang berusaha membangun," ujar pendukung paham nasionalisme.
Cepat namun pasti, opini yang anti pada Koes Bersaudara terbentuk bahkan mengkristal pada sebagian publik. Jalan mereka tak lagi licin dan mulus tapi mulai bertabur kerikil. Selanjutnya, pertunjukan empat musisi asal Tuban ini sempat pula mengundang cemooh, bahkan hujan batu.
Puncaknya, menjelang siang pada tanggal 29 Juli 1965, kakak-beradik ini digelandang dari rumah orang tua mereka di kawasan Mendawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dengan truk ABRI, Toni dan tiga orang adiknya diantar ke Penjara Glodok.
Penangkapan mereka bukan tanpa dasar. Secara eksplisit pihak penguasa merujuk Penpres 11 tahun 1963 KUHP sebagai dasar penahanan. Bahkan, sebelum penangkapan dilakukan, pihak Koes Bersaudara juga telah mendapatkan peringatan serta larangan (untuk terus menyanyikan lagu-lagu ngak-ngik-ngok) dari kejaksaan.
Para penggemar fanatik Koes Bersaudara jelas tak bisa menerimanya. Mereka angkat suara dan mengklaim hal tersebut sebagai bentuk paling ekstrem dari pemasungan kreativitas serta hak tiap individu untuk berkarya. Mereka yakin, karya seni tak bersangkut paut dengan semangat juang sebuah bangsa.
Sayang, dengan opini publik seperti diutarakan di atas, suara pro terhadap pemberangusan Koes Bersaudara juga cukup kuat. Pemerintah dianggap telah menempuh langkah yang tepat guna menyelamatkan bangsa, menyongsong tantangan di masa depan dengan tekad membara. Sejumlah media massa, secara eksplisit bahkan memuji keseriusan usaha pemerintah mencegah rusaknya moral generasi muda.