Mohon tunggu...
Dewanto Nugroho
Dewanto Nugroho Mohon Tunggu... -

Mantan penulis naskah iklan ...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tiga Serangkai

18 November 2009   05:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:17 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berkunjung pertama kalinya ke sebuah rumah makan, kebanyakan orang pasti gak sabaran kepingin cepat-cepat merasakan makanannya.Rata-rata orang pasti juga excited, membayangkan seperti apa bentuk makanan pesanannya; gimana aromanya; enak mana dibanding makanan anu dan anu...Pokoknya gak sabaran deh.

Kebanyakan orang pasti juga mengharapkan restoran yang didatangi memberikan servis yang cepat.Semakin cepat makanan datang, semakin senang mereka.Makanya, banyak orang, waktu pesan makanan/minuman di restoran gak lupa bilang, "gak pake lama ya mas/mbak."

Tapi, yang saya alami siang itu berbeda.Meskipun baru pertama kalinya masuk ke restoran itu, saya gak penasaran kepingin melihat (apalagi nyicipin) menu yang saya pesan.Malah, saya juga gak kepingin pesanan itu datang dengan cepat.Saya lebih senang kalau pesanan saya lamaaa datangnya.

Yang melingkupi hati saya siang itu justru perasaan tegang; tegang dan berdebar menunggu pelayan datang mengantarkan pesanan.Dalam hati malah terbersit sekilas rasa menyesal, "ngapain sih masuk ke tempat kaya gini?Kan banyak tempat yang lebih oke!?"

Saya makin sebal karena yang terjadi justru sebaliknya.Pesanan saya bukannya lama datangnya tapi justru sangat cepat.Belum 5 menit sudah datang.Padahal, menu yang saya pesan itu termasuk sulit loh membuatnya.

Saya makin berdebar melihat pelayan wanita (yang menerima pesanan saya) mendekat.Di hadapannya, dibawa dengan kedua tangannya, tampak sebuah nampan kayu.Ukurannya kecil saja, mungkin hanya separuh kertas A4.

Semakin dekat wanita itu, perasaan saya semakin gak karuan.Kalau mau jujur, sebenernya ada rasa ngeri juga.Tapi, tentu saja saya berusaha supaya perasaan tersebut gak kelihatan.

Sewaktu pelayan itu meletakkan nampan di meja, saya coba sebisanya supaya kelihatan cuek.Padahal, diam-diam mata saya melihat ke atas nampan; memperhatikan apa yang teronggok di sana.

Dengan cepat saya tahu; di atas baki itu hanya ada 4 benda.Sebuah gelas bening berisi air putih; sebuah mangkuk kecil yang gak kelihatan isinya; sebuah gunting kecil dan sebuah piring kecil berisi tiga buah benda seperti balon kecil (hanya seukuran kuku kelingking), warnanya putih agak kebiruan.Sepertinya ada semacam cairan di dalam ketiga benda tersebut.

Sebelah tangan wanita itu kemudian mengambil gunting.Dengan gerakan yang terlatih diguntingnya satu persatu ujung "balon-balon" kecil tadi lalu cairan yang ada di dalamnya dituang ke dalam mangkuk kecil (yang ternyata berisi arak Cina).

Dengan sendok kecil yang sudah disiapkan, tangan wanita itu mengaduk isi mangkuk tersebut dan..., selesailah tugasnya.Pesanan saya siap dinikmati.

"Silakan diminum," katanya sambil mendorong mangkuk tersebut ke dekat saya.

Saya merasakan angin dingin bertiup di tengkuk saya.Tapi, saya gak mau berlama-lama.Saya pikir, cepat atau lambat saya toh harus menghabiskan menu yang saya pesan dengan harga lumayan itu.

Dengan cepat saya angkat mangkuk kecil itu ke dekat mulut saya dan "gleek....".Dengan sekali tenggak menu Tiga Serangkai yang terdiri atas darah dan empedu Ular Kobra Hitam, Ular Tanah dan Ular Kali Mangsa masuk ke tenggorokan saya.Gak ada rasa atau bau yang aneh.Yang terasa cuma arak belaka.

Tiga Serangkai merupakan menu andalan di Istana Raja Kobra, baik di pusatnya di Mangga Besar, maupun cabang di Kapten Tendean dan Matraman Raya. Tiga Serangkai ini dihargai Rp 150.000.Ada juga menu yang menggabungkan empedu Kobra Hitam dengan Ular Tanah dan Ular Hijau (Rp 170.000) dan kombinasi Kobra Hitam dengan Ular Tanah serta Phiton (Rp 250.000).

Tapi, yang paling mantap tentu saja darah dan empedu King Kobra; harganya antara Rp 800.000 sampai Rp 2,5 juta.

Sebagai tambahan cerita, pada hari terakhir ke sana, saya ikut ke belakang (ke dapurnya), melihat proses "pembuatannya".  Seru deh.  Jadi di dapurnya itu ada banyak kandang; kecil-kecil bertingkat dari kayu (seperti kandang kelinci) dengan bagian depan ditutup kawat kasa.  Di situlah ular-ular disimpan.

Si kokinya dengan santai membuka kandang demi kandang untuk mengambil ular-ular itu (satu persatu).Surprisingly, ular-ular itu diam saja saat tubuh mereka ditarik dari kandang lantas dibawa ke talenan di atas meja dapur.Dengan golok (yang pasti tajam sekali), kepala ular dipisahkan dari badannya dan darah yang keluar dituang ke mangkok kecil tadi..

Setelah ketiga-tiganya mati dan darahnya diambil, baru deh satu persatu uler itu dibelah sedikit badannya buat diambil empedunya.Cara mengambil empedunya ternyata juga tidak sulit (kelihatannya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun