Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Tahlilan Itu Apakah Identik dengan Kemewahan?

22 Februari 2016   21:13 Diperbarui: 22 Februari 2016   21:43 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pembacaan yasiin dan tahlil"][/caption]Selesai sudah perayaan memperingati 100 hari meninggalnya kakak, namun bukan berarti segala urusan mengenai tetek bengek yang berkaitan dengan tahlil juga selesai yang ada adalah tumpukan pertanyaan dalam benak ini begitu besar menyikapi adanya perayaan memperingati wafatnya seseorang yang biasa kita sebut tahlilan.

Di mulai dari mempersiapkan suatu suguhan bagi tamu undangan baik makanan dan minuman yang persiapannya 3 hari sebelum perayaan tahlilan itu sendiri dari berbelanja bumbu dapur, daging, buah, kue, rokok, air mineral dll di pasar. kemudian melibatkan tetangga sekitar dan saudara untuk memasak keperluan acara dan membantu kelancaran acara tahlilan tersebut.

Pada hari H tuan rumah masih harus menyiapkan amplop yang akan diberikan ustad/kyai yang akan ceramah dan memimpin doa pada acara tahlilan tersebut, dan yang menjadi puncak pada acara tersebut adalah makanan dan minumun yang sudah disiapkan jauh jauh hari di berikan kepada tamu undangan yang hadir dan tak lupa juga nasi kotak beserta kue yang akan di bawa pulang kerumah masing-masing.

Setelah semua tamu undangan meninggalkan tempat barulah nampak kepenaten dan kecapekan pada wajah dan diri seseorang yang mempunyai hajat tersebut dengan melihat kondisi rumah yang berantakan, mulai dari berserakannya gelas bekas air mineral, piring kotor, puntung rokok, belum lagi nasi yang tumpah ke lantai, perkakas dapur yang berantakan, dll.

Melihat kondisi tersebut dalam hati bertanya-tanya apakah ini esensi dari acara tahlilan tersebut? Pertama, seseorang yang mempunyai hajat tersebut pasti mengeluarkan uang yang tidak sedikit, terkadang uang 5 juta habis dalam perayaan 1 malam, dan mungkin ada yang sampai menghabiskan dana lebih dari 5 juta, padahal orang tersebut dengan di tinggal anggota keluarganya saja sudah sangat sangat sedih apalagi masih harus menanggung beban dari acara tahlilan yang mentradisi di masyarakat, jika orang ini tidak mampu apakah akan nekat untuk tetap merayakan kegiatan tahlilan ini? Apakah dia akan utang ke tetangga untuk dapat merayakan acara tahlilan ini? Atau malah dia tidak merayakan acara tahlilan ini dan membaca tahlih sendiri setiap hari untuk mendoakan anggota keluarganya yang meninggal dengan catatan dia akan menjadi buah bibir tetangganya karena tidak menyelenggarakan tahlilan secara beramai ramai? Inikah potret tradisi di masyarakat kita??bukankah tahlil itu tidak harus menunggu 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya? Bukankah tahlil itu bisa kita baca setiap hari??

Kedua, seseorang yang mempunyai hajat pasti akan meminta bantuan tetangga dan sanak saudara untuk menyiapkan segala keperluan acara tahlilan, apakah kita secara tidak langsung sudah merepotkan tetangga dan saudara?? Jika saudara dan tetangga itu tidak ada kepentingan mungkin tidak jadi masalah atau mungkin kita tidak tahu jika seandainya tetangga dan saudara kita tidak enak badan maka kita akan semakin merasa bersalah kepada mereka.

Ketiga, rumah yang berantakan, kursi ada dimana-mana, masih harus pinjam karpet dan tikar kesana kemari, tumpukan piring, wajan, panci, sendok yang kotor, belum lagi sampah dimana-mana menambah lengkap penderitaan orang yang memiliki hajat.bisa bisa karena badan kita kecapekan kita jadi lalai mengerjakan sholat wajib, apakah ini anjuran dari Allah SWT???seharusnya sudah pasti kita dahulukan yang wajib baru melaksanakan yang sunnah jangan sampai terbalik balik bisa bisa yang tadinya tuntunan malah jadi tontonan, dan yang tontonan malah jadi tuntunan.

Kita sudah diberikan pedoman oleh Allah SWT melalui Al Quran dan Hadists lewat nabi Muhammad SAW, jika itu berupa anjuran maka kerjakanlah/laksanakanlah, jangan sampai tradisi yang berkembang dimasyarakat mengalahkan anjuran anjuran yang Allah SWT tetapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun