Guru Sejati Tidak Membandingkan Kemampuan Muridnya
Membandingbandingkan kemampuan murid hanya akan menyisakan luka hati bagi murid yang merasa kalah. Dan membusungkan dada bagi yang merasa menang. Ini hanya memuaskan kesenangan fatamorgana. Membanding-bandingkan juga hanya akan memampatkan munculnya prestasi para muridnya.
Menyadari hal ini guru sejati berjanji kepada dirinya untuk tidak melakukannya. Ia memahami betul akan konsekuensinya. Bukan saja ia akan malu bila melakukannya, tetapi juga akan bertentangan dengan keyakinannya.
Seorang guru sejati memahami adanya multi kecerdasan manusia yang dikemukakan Howard Gardner. Ada manusia yang cerdas bahasa, ada pula yang cerdas spasial. Demikian juga ada yang cerdas interpersonal dan ada yang cerdas intrapersonal serta berbagai kecerdasan lainnya.
Satu orang muridnya ada yang memiliki satu atau dua kecerdasan sekaligus. Tapi diyakini tak ada satu pun muridnya yang tidak memiliki kecerdasan. Semua muridnya memiliki kecerdasan. Semuanya punya kelebihannya.
Hanya saja ketika ada muridnya yang merasa tidak memiliki kecerdasan apapun, seorang guru merasa tertantang untuk menggali kecerdasannya. Ia akan berusaha membantu menemukannya.
Guru sejati mencari berbagai referensi yang akan membimbingnya menemukan satu atau dua kecerdasan muridnya. Ia akan bertanya kepada ahlinya. Dan ia juga akan berdiskusi dengan rekan-rekannya. Orangtua murid pun tak luput diajaknya berdiskusi.
Berbagai referensi, pandangan para ahli, dan pendapat rekan-rekannya serta hasil diskusi dengan orang tuanya akan dikajinya. Setelah itu guru sejati melakukan berbagai treatment kepada muridnya sampai menemukan kecerdasan muridnya.
"Aha... aku menemukannya."