Sekolah unggul merupakan sekolah yang banyak diminati calon siswa dan orang tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata unggul berarti pandai, baik, cakap, dan seterusnya. Berdasarkan hal ini, maka sekolah unggul bisa diartikan sebagi sekolah yang lebih tinggi derajat kepandaian para peserta didik dan pendidik serta tenaga kependidikannya yang terwujud dalam proses pembelajaran yang didukung oleh sarana dan prasarananya dibanding dengan sekolah lainnya. Diskursus sekolah unggul telah lama menjadi obsesi para pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan pemerintah. Meskipun harus diakui adanya kontroversi mengenai sekolah unggul ini, namun hendaknya hal tersebut tidak menyurutkan niatan untuk memberikan layanan yang lebih terhadap peserta didik dan orang tua/wali, khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ada pendapat bahwa sekolah unggul hanya akan memperlakukan peserta didik secara diskrimintaif sehingga asas demokrasi diabaikan. Pendapat ini memang ada benarnya bila dilihat dalam skala mikro.
Namun, hal itu akan terbantahkan bila hal tersebut kita tempatkan pada skala makro. Harus diakui sekolah unggul hanya memperlakukan peserta didik yang secara genetis lebih pandai, berbakat, dan berkemampuan tinggi. Sementara peserta didik dengan kecerdasan, dan bakat kurang, tidak mendapatkan tempat. Ini pandangan secara mikro, yakni di sekolah bersangkutan. Tapi, bila kita melihatnya dalam skala makro, maka anak-anak tidak berkemampuan lebih, toh juga mendapatkan layanan pendidikan. Jadi, di sini tidak ada asas demokrasi yang dilanggar, dan tidak pula diskriminatif.
Kita hanya bertindak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai. Dasar pemikiran sekolah unggul adalah bahwa faktor genetislah (keturunan) yang membedakan satu anak dengan anak lainnya, perlu memperoleh hak yang berbeda. Artinya, anak dengan faktor genetis unggul berhak pula mendapatkan layanan yang unggul dalam bentuk sekolah unggul. Perlakuan yang demikian, kiranya telah pula menjadikan kita bersikap demokratis, tanpa diskriminatis. Memang, ada pendapat bahwa faktor genetis bukanlah segalanya, sehingga jangan dijadikan alasan untuk membedakan perlakuan. Faktor lingkunganlah yang lebih penting. Karl Frederick Gausse, bapak matematika modern, pernah dijadikan salah satu bukti. Tapi, Prof. William Fowler dari Massachuset tidak begitu saja mau percaya. Dan setelah meneliti kehidupan Gausse, ditemukan bahwa faktor genetis dan lingkungan sama-sama sangat berperan menjadikan ia ahli matematika modern. Artinya, kedua faktor, baik genetis maupun lingkungan sama-sama penting. Ibarat tanaman yang berbibit unggul, maka akan semakin unggul ditanam di lingkungan yang subur dengan pemupukan yang tepat. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah saatnya mengadakan reorientasi pemikiran dan langkah-langkah kongkret menuju sekolah unggul.
Hal ini perlu dilakukan mengingat tantangan ke depan begitu berat. Apa langkah-langkah yang diperlukan untuk menjadikan suatu sekolah menjadi sekolah unggul? Pertama, sekolah harus berani memilih salah satu bidang keunggulan sebagai lokomotifnya.Bidang ini bisa akademik atau nonakademik tergantung daya dukung yang telah ada. Langkah ini diambil mengingat adanya keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada dirinya. Bila kita berkehendak menjadikan semua yang ada menjadi unggul, tentulah teramat berat bebannya, bisa-bisa energi dan kreativitas luntur sebelum sekolah unggul benar-benar terwujud. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan finansial dan keseimbangan proses pembelajaran. Kedua, perlunya dukungan penuh stakeholderpada bidang keunggulan yang telah direkomendasi.
Upaya ini dilakukan sebagai upaya memberikan tempat untuk tumbuhnya potensi dan kreativitas pengelola pendidikan. Dengan dukungan penuh ini diharapkan stakeholderakan menfasilitasi semua kebutuhan pendukung keunggulan. Ketiga, kelanjutan dari dukungan penuh tersebut, stakeholderperlu memberikan pendanaan yang memadai bagi bidang yang diunggulkan. Dana ini bukan saja untuk melengkapi sarana-prasarana pembelajaran yang diperlukan, tapi juga untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Kita ketahui, SDM yang ada selama ini sudah terjebak pada “rutinitas” pembelajaran. Mereka dalam proses pembelajaran lebih menekankan pada penguasaan materi, bukanya kemampuan belajar peserta didik. Penekanan pada penguasaan materi bukannya tidak berguna, akan tetapi akan bermanfaat bila peserta didik mampu dan cinta belajar. Kata Peter Drucker,” ayatollah manajemen,” model seperti itu akan segera punah di masa datang. Untuk itu perlunya up grade para pendidik dan tenaga kependidikan dalam pembelajaran dengan disertai pemenuhansarana dan prasarana lainnya. Keempat, reorientasi sekolah sebagai lembaga pendidik yang dikelola secara profesional.
Sekolah/madrasah haruslah tidak lagi “murni” sebagai lembaga sosial, kata Jalaludin Rakhmat, pengelola Sekolah Para Juara, Muthahari, Bandung. Sekolah harus menjadi industri jasa yang dikelola secara modern. Agar sekolah tidak mengalami kepunahan, Peter Drucker menyarankan agar sekolah harus dirancang dengan menganalisis pasar, keuangan dan pengetahuan. Demikian empat langkah yang bisa dikemukakan. Langkah tersebut disadari, bukanlah langkah baru dan lengkap dari segi aktualitas. Ini hanya sekedar pengantar yang dimaksudkan untuk lebih menggugah perhatian kita agar selalu membincangkan masalah pendidikan. Itu pun bila kita memang benar-benar memikirkan dan mengkhawatirkan masalah pendidikan kita.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H