Beberapa hari belakangan ini perhatian publik khususnya masyarakat Ibukota tertuju terhadap berbagai pemberitaan yang menghebohkan. Bahkan saking hebohnya semua mata tertuju, melihat dan berkomentar diberbagai media baik cetak maupun elektronik dan terlebih di media sosial. Dalam pemberitaan tersebut, banyak yang pro dan kontra. Sebenarnya pro dan kontra ini sesuatu yang wajar terjadi, namanya juga manusia pasti ada perbedaan. Hanya saja ada sedikit perbedaan dalam kasus ini mengingat kasus ini booming disaat kompetisi menuju DKI-1 sebagai Ibukota Negara semakin dekat, sehingga muatan politisnya semakin kencang diantara yang pro dan kontra tersebut.
Duduk Persoalan BPK vs AHOK
Persoalan yang diperbicangkan oleh masyarakat luas tersebut adalah Kasus Pembelian Lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras. BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2014 menemukan adanya penyimpangan yang mengakibatkan Kerugian Keuangan Daerah sebesar Rp 191,33 Miliar. Sementara menurut Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah melakukan proses pembelian lahan tersebut sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan yang berlaku saat itu, sehingga tidak ada indikasi kerugian keuangan daerah. Pada bulan Agustus tahun 2015 Ahok juga melayangkan surat keberatan atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan Pemprov DKI Jakarta terhadap Majelis Kode Etik BPK. Jika saja Majelis Kode Etik BPK pada saat itu segera menanggapi dan bersidang serta membuat keputusan berdasarkan fakta-fakta yang merujuk terhadap aturan-aturan yang berlaku, mungkin masalah pembelian lahan sumber waras tidak seperti bola liar seperti sekarang ini. Senada dengan keterangan diatas Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat bahwa, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ada kejanggalan. BPK masih menggunakan Perpres Nomor 71 tahun 2012 yang mengatur perencanaan, pembentukan tim, penetapan lokasi, studi kelayakan dan konsultasi publik. Padahal sudah ada Perpres baru yang merupakan perubahan keempat dari Perpres 71/2012, yakni Perpres 40 tahun 2014. Dalam Pasal 121 Perpres 40 tersebut dikatakan bahwa demi efisiensi dan efektivitas, maka pengadaan tanah di bawah 5 hektar dapat dilakukan pembelian langsung antara instansi yang memerlukan dan pemilik tanah http://sp.beritasatu.com/home/icw-nilai-ada-kejanggalan-temuan-bpk-soal-rs-sumber-waras/113481
Siapa yang paling benar ?
Merujuk dari penjelasan diatas, maka timbul pertanyaan “Siapa yang paling benar”? menurut hemat saya, baik BPK dan Ahok mereka sama-sama telah menjalankan amanat Undang-undang dan tidak ada yang bisa disalahkan. Mengapa? karena BPK berpedoman terhadap salah satu aturan dari sekian banyak aturan yaitu Perpres 71/2012, sementara Ahok berpedoman terhadap salah satu aturan yaitu Perpres 40/2014. Disisi lain, BPK menggunakan penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan nilai kontrak tahun 2013 dengan nilai jual 15,5 juta per-meter per segi, sementara Pemda menggunakan NJOP tahun 2014 dengan nilai jual tanah 20,4 juta per meter persegi. Jika demikian mengapa kita harus menghabiskan banyak energi berdebat untuk kasus tersebut? Seyogianya tidak ada yang diuntungkan dari perdebatan kasus diatas, karena semua anak bangsa harus membangun bangsa dengan jujur dan adil untuk kemajuan bangsa dan Negara. Biarlah konstelasi politik yang semakin panas menuju DKI-1 tidak serta merta membuat kita sebagai anak bangsa tercerai berai dan terkotak-kotak, tetapi tetap bersatu dan kritis bukan saja terhadap para pejabat, tetapi juga kritis terhadap pemberitaan media yang tidak berimbang agar bangsa ini semakin maju dikemudian hari. Terlebih kita berharap Pejabat Negara tidak saling serang dan saling menjelek-jelekkan di hadapan publik karena itu akan menjadi preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Terimakasih
Salam Persatuan,
Tongam sinambela