Kemarin ada berita di Kompas online tentang Permintaan Wapres agar Pemda turut mengawasi penggunaan dana JKN. Berita terkait dengan rincian lebih banyak, ada di media lain dikaitkan dengan Moral Hazard dan Peran Pemda. Ada yang menarik dalam berita tersebut. Pertama, adanya kalimat:Â
"Ia menjelaskan, pada dasarnya BPJS Kesehatan bertindak layaknya perusahaan asuransi yang bertugas menjamin pelayanan pemilik polis asuransi. Namun, seringkali BPJS tidak dapat mengontrol seluruh rumah sakit dan puskesmas yang menjadi rekanan mereka. Karena sekarang banyak terjadi moral hazard di berbagai tingkatan. "
Hemat penulis, kalimat ini salah. BPJSK memang menyelenggarakan JKN sesuai prinsip ASURANSI SOSIAL dan Ekuitas (Pasal 19 UU SJSN 40/2004). Namun, bagi penulis, tidak tepat menyebut  BPJSK sebagai "Perusahaan Asuransi". Program JKN diselenggarakan sebagai bentuk kerjasama tiga pilar: Peserta, Provider (penyedia jasa), dan BPJSK. Di atasnya ada Pemerintah sebagai payung dan regulator:Â
  Â
Dengan kondisi ini, maka sebenarnya lah BPJSK bukan Perusahaan Asuransi. Mengapa? Cakupan manfaat, besaran iuran, besaran tarif, segmen kepesertaan, semua tidak menjadi ranah BPJSK untuk mengatur, sebagaimana layaknya sebuah Perusahaan Asuransi. Dalam JKN, hal-hal demikian diatur dan ditetapkan oleh regulator. Menyamakan BPJSK sebagai perusahaan asurnasi memberi konsekuensi tidak ringan karena berarti juga memberikan kewenangan terhadap hal-hal tersebut kepada BPJSK. Sangat disayangkan bila pandangan demikian ada pada beliau Wapres.Â
Masih dalam berita yang sama, terdapat pernyataan bahwa:Â
"Penyimpangan itu tak hanya terjadi di kalangan masyarakat yang menjadi pasien rumah sakit. Menurut Kalla, puskesmas dan rumah sakit yang menjadi rekanan juga rawan melakukan penyimpangan dengan berbagai cara."
Bahwa semua masih belajar, masih berusaha menjalankan JKN dengan benar, tentu disadari bersama. Bahwa karena itu masih ada hal-hal yang belum berjalan benar-benar sesuai harapan, itu menjadi keniscayaan. Tetapi harus pula diungkap, terjadinya kondisi yang terpaksa belum sejalan di Faskes tersebut juga dipengaruhi tidak hanya faktor internal yang belum sanggup melaksanakan JKN. Tidak sedikit faktor eksternal sangat mempengaruhi: regulasi dan ketersediaan obat, revisi tarif INA-CBGs, ekspektasi berlebihan dari masyarakat, itu beberapa diantaranya. Perlu perbaikan menyeluruh untuk mengharapkan penyedia layanan menjalankan JKN dengan baik: pada dirinya sendiri, maupun faktor-faktor eksternal tadi. Menyudutkan RS semata-mata, justru memperburuk kondisi karena membuat RS semakin merasa tersisih dan terpaksa menjadi pelengkap penderita.Â
Hal yang mengemuka adalah pernyataan tentang defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) oleh Wapres selaku Ketua TNP2K melalui Sekretaris Eksekutif:
Apalagi, ungkap Bambang, defisit yang dialami BPJS Kesehatan tahun 2015 mencapai Rp 10 triliun. Itu berarti pemerintah pusat yang kembali dirugikan karena untuk menutupnya diambil dari anggaran pusat. Sebagaimana diberitakan, tahun 2015, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 10 triliun. Akibatnya, premi untuk kelas II dan Kelas I dinaikkan. Kemudian, hingga September 2016, BPJS Kesehatan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal, diperkirakan hingga akhir tahun 2016 defisitnya diangka Rp 7 triliun.
Pernyataan ini kurang akurat. Waktu itu estimasi defisit DJS bidang kesehatan untuk 2015 adalah 6 T. Di akhir 2015, terbukti defisit pada 5,85 T. Untuk tahun 2016 ini, seandainya tidak ada revisi besaran iuran, maka diperkirakan pada angka 10 T. Ada bahkan pengamat yang mengestimasikan 10,8 T. Setelah ada Perpres 19/2016 dengan salah satu isinya berupa klausul penyesuaian besaran iuran, sempat diharapkan defisit akan ada pada kisaran 3-4 T. Tetapi ketika penyesuaian besaran itu ditunda lagi untuk kelas III, maka estimasi defisit DJS tahun 2016 adalah sebesar antara 3,98 - 6,81 T. Hal ini jelas ada dalam Nota Keuangan Pengantar RAPBN 2017 tanggal 16 Agustus 2016 kemarin. Kurang jelas mengapa kemudian tetap angka 10 itu yang disampaikan?Â