[caption caption="Berita KPK"][/caption](Ditulis pertama kali 28 Agustus 2015)
Sejak sebelum dan semakin mengemuka sejak penerapan Norma Kapitasi 2015, muncul pertanyaan "mengapa peserta PBI hanya boleh di puskesmas sehingga klinik dan dokkel kesulitan mencari peserta kapitasi?"
Dari penelusuran diperoleh informasi bahwa dari 9.799 Puskesmas yang tercatat pada Maret 2014, masih ada 4 ribu lebih puskesmas yang memiliki jumlah peserta kapitasi lebih dari 10.000 jiwa. Bahkan ada yang diantaranya lebih dari 30.000 jiwa. Rasio rata-rata adalah 1 dokter untuk 8.860 jiwa.Â
[caption caption="KPK 1"]
Sesuai Permenkes 75/2014 tentang puskesmas, standar SDM menyatakan ada dua dokter umum dan satu dokter gigi. Arah penguatannya adalah rekomendasi rasio 1 dokter untuk 5000 jiwa pada akhir 2014. Ini sesuai road map penguatan faskes primer, yang nantinya diharapkan pada tahun 2019, bisa mendekati 1:3000 (masih lebih tinggi daripada rekomendasi WHO 1:2500).Â
Angka 1:5000 ini juga berdasar. Pada perhitungan pelayanan yang diharapkan, angka kunjungan adalah 15% sehingga mendapatkan angka 750 kunjungan per bulan. Bila hari kerja dihitung pada 25 hari, berarti rata-rata adalah 30 pasien per hari. Sesuai KODEKI waktu yang diharapkan untuk pelayanan satu pasien adalah 10 menit (referensi). Berarti diperlukan 300 menit per hari.
[caption caption="KPK 2"]
Menuju Desember 2014, ada target untuk mengurangi jumlah peserta kapitasi puskesmas menuju rasio 1:5000. Dalam proses itu diperlukan re-distribusi sebanyak 51 juta peserta dari Puskesmas ke FKTP lainnya. Untuk menampungnya, diperlukan penambahan 6 ribuan faskes primer. Maka diupayakan perpindahan tersebut. Informasinya, untuk tahap awal pada 2014, dipatok target perpindahan sekitar 20% dari 86,4 juta PBI ke klinik dan dokkel. Tidak pasti berapa yang dicapai, namun nampaknya tidak banyak berhasil.Â
Namun, hasil observasi KPK pada akhir tahun 2014 mendapatkan 4 kelemahan pengelolaan kapitasi. Salah satu temuannya adalah: efektivitas dana kapitasi dalam meningkatkan mutu layanan masih rendah. Padahal dana yang disalurkan sangat besar, yakni hampir 8 triliun rupiah per tahun. Namun, perubahan kualitas layanan puskesmas secara keseluruhan belum terlihat secara nyata.
[caption caption="Berita KPK"]
Kedua, aspek pembiayaan. KPK menemukan adanya potensi fraud atas diperbolehkannya perpindahan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari puskesmas ke FKTP swasta. Kasus yang ditemukan KPK, oknum petugas puskesmas mendirikan FKTP swasta. Pasien yang datang, tidak dilayani dengan baik dengan berbagai alasan, tapi justru diarahkan ke FKTP swasta miliknya atau yang berafiliasi dengannya. Ada juga informasi bahwa itu berkaitan dengan penggunaan anggaran negara yang disalurkan kepada kelompok PBI. Kemudian di beberapa daerah, dipahami bahwa peserta PBI tidak boleh pindah ke Faskes di luar Puskesmas.Â