Akhir tahun 2015 dan awal tahun 2016 ini, ada dua momen yang sangat berkesan bagi saya. Pertama, pada tanggal 29 Desember 2015, saya mendapat tugas membawa bendera PERSI pada Refleksi 2 tahunan JKN yang diselenggarakan oleh Kemkes. Panelisnya: Ketua DJSN, Dirut BPJSK (diwakili salah satu Direktur), Sekjen Kemkes, Dirjen Anggaran dan PERSI.Â
Tanggal 3 Februari 2016 kemarin, saya sebagai personal diundang oleh BPJSK. Dalam undangan tertera ada 2 narasumber lain yang diundang selain saya : Prof Budi Hidayat dari FKMUI, Ibu Tini Hadad dari YLKI. Saya mengira modelnya adalah panelis dengan ketiga narasumber. Ternyata tidak. Prof Budi Hidayat tampil paling pagi, disusul Ibu Tini Hadad. Masing-masing dalam sesi terpisah, dan saya tidak sempat mengikuti apa yang beliau-beliau sampaikan.Â
Masih banyak lagi topik-topik hangat yang menjadi diskusi cukup panas seperti soal proses verifikasi, hak akses ke rekam medis, tata kepesertaan yang masih bercelah, penerapan norma kapitasi dan kapitasi berbasis komitmen pelayanan, sampai tentu saja isu soal tarif INA-CBGs, isi Fornas, e-catalog dan pengelolaan jasa pelayanan. Tidak semua hal itu adalah ranah BPJSK, tetapi memang didiskusikan untuk sinkronisasi pemahaman kondisi pada internal pemberi pelayanan.Â
Alhamdulillah, saya merasa berhasil melewati "ujian" itu bahkan masih mampu mencairkan suasana dengan beberapa komentar segar. Lebih tepatnya bisa sambil saling melempar joke yang segar tetap sebenarnya bermakna dalam bila direnungkan.
Banyak diskusi "hangat" termasuk menjawab dalam posisi saya sebagai "orang PERSI". Salah satu kritikan adalah bagaimana PERSI bisa berperan signifikan bagi anggotanya. Saya sampaikan bahwa ada beda ikatan antara BPJSK dengan jajarannya dan BPJSK dengan para "Duta BPJSK". Di asosiasi, ikatan itu adalah ikatan moral, yang kekuatannya ada pada keteladanan dan peran. Walau memang Kepmenkes 455/2013 menyatakan tentang peran itu, tetapi tentu akan lebih terasa apa yang terjadi di lapangan. Sisi lain, saya juga mengritik bahwa dalam model hubungan "tegak lurus" seperti di BPJSK sekalipun, tidak selalu berjalan mulus, terbukti dari masih adanya variasi dan distorsi informasi antara keputusan di pusat dengan di daerah. Akibatnya, seperti dalam hal penyusunan PKS misalnya, terjadi variasi cukup lebar antar daerah.Â
Menghadapi hal itu, saya mengusulkan selalu ada Desk bersama antara Kemkes-BPJSK-Asosiasi Faskes (tidak hanya PERSI tentu saja). Bila muncul isu, maka mari kita kaji bersama agar bisa memunculkan pemahaman dengan minimal distorsi. Kemudian bersama-sama pula menyebarkannya ke seluruh jajaran dan anggota masing-masing. Ini jelas belum tentu pasti berhasil. Tetapi jelas pula bahwa langkah ini lebih baik daripada saling menjaga jarak.Â
Kami juga mendiskusikan kritik saya bahwa jajaran Humas BPJSK kurang cerdas menyampaikan informasi. Tentang hal ini, pihak BPJSK menyatakan memang mengambil sikap semacam "there are no enemies" sehingga tidak ingin menunjuk pada pihak lain. Saya sampaikan, tetap perlu disampaikan tentu dengan cara yang baik. Salah satunya, saya usulkan strategi yang diambil Kemenkes dengan Sahabat JKN-nya.
Tidak terasa, 2 jam full diskusi berjalan. Terpaksa berhenti karena harus ada Rapat dengan Dewan Pengawas. Di ujung acara, di luar diskusi formal, saya mendapat pertanyaan kritis juga: mengapa kemarin tidak mau maju Dewas dan Direksi? Bukankah sudah ada yang mengajukan dan tidak sedikit yang mendukung? Apakah karena maunya hanya mengritik dari luar karena nggak mau ambil risiko terlibat langsung dalam pengelolaan? Saya jawab: tugas di kampus yang mengharuskan saya tetap di kampus. Tetapi jelas bahwa saya tidak pernah berniat menghambat JKN dengan kritikan saya.Â
Pada akhirnya, dalam perjalanan pulang, saya merasa harus mengoreksi kata-kata saya di awal bahwa pada kedua momen itu, saya merasa "diuji" oleh Kemenkes dan BPJSK. Tetapi yang lebih tepat, sebenarnya saya sedang menguji diri saya sendiri untuk tetap mampu konsisten menyampaikan kritik dengan obyektif dalam balutan bahasa yang nyaman. Saya merasa ujian itu berat, ketika justru berhadapan dengan diri sendiri karena: tidak ada yang bisa menipu diri sendiri.Â