(Ditulis pertama kali pada 24 September 2015)
Sejak sekira 3 hari lalu, terpikir satu pertanyaan. Sebenarnya pertanyaan ini sudah lama, hanya kembali mengemuka kemarin saat membaca status seorang Sejawat tentang suatu proses penyelesaian klaim yang dipending. Dalam uraiannya disebutkan kurang tepatnya langkah verifikator sehingga harus ada klaim yang dipending. Tidak lama, muncul beberapa komentar negatif dan "pedas" terhadap Verifikator BPJSK. Sampai pada klausul permohonan agar BPJSK memperkerjakan Verifikator yang profesional. Ketika saya tanyakan apakah berarti harus seorang Dokter, ada yang menjawab bahwa sebaiknya seorang Dokter agar paham soal diagnosis sehingga "tidak asal coret diagnosis".Â
Segera saya teringat, belum lama ada telepon masuk dengan nomor tidak dikenal. Ternyata itu dari seorang mantan mahasiswa saya di FK UNS. Sekira 7 tahun silam, dia maju ke suatu seleksi Mahasiswa Berprestasi tingkat nasional. Kebetulan saya yang membimbingnya, dan Alhamdulillah berhasil terpilih sebagai pada peringkat ke tiga. Telepon itu mengabarkan bahwa belum lama ini dia diterima masuk sebagai Pegawai BPJSK. Selama sekitar 3 bulan terakhir dia menjadi Verifikator di suatu RS tipe A di ibukota suatu propinsi.Â
Anak itu jelas memiliki kemampuan di atas rata-rata. Pengalaman internasionalnya cukup banyak karena beberapa kali mengikuti semacam perlombaan debat berbahasa Inggris di tingkat antar negara. Keluarganya sangat terdidik dan - bagi saya - sangat-sangat Islami. Ayahnya seorang Guru Besar walau bukan sama-sama di bidang kedokteran. Disiplin dan tepat waktu adalah ciri beliau.Â
Segera muncul dalam bayangan saya, anak ini hanya punya dua kemungkinan mengapa memilih menjadi pegawai BPJSK dalam situasi seperti sekarang: kalau bukan saking idealisnya, ya saking tidak tahunya perkembangan kondisi. Menjadi pegawai BPJSK apalagi verifikator di mata sebagian (cukup besar?) Dokter sekarang ini adalah jelas sasaran tembak negatif dari segala arah. Saya tidak bertanya langsung kepadanya dalam telepon itu, tetapi kesan sangat kuat dia paham kondisi sekarang. Dia juga paham kompleksitas masalah terkait hubungan Dokter-BPJSK terutama verifikatornya. Toh, tetap saja dia memilih menjadi seorang verifikator.Â
Tidak lama kemudian, saya berkesempatan berdiskusi dengan Tim Pengendali JKN di rumah sakit tempat mantan mahasiswa saya itu bertugas sebagai verifikator. Sebagai RS tipe A Pendidikan, banyak senior, konsultan, bahkan Guru Besar di RS tersebut. Masih dengan gaya lugas sebagaimana dulu saya kenal, dia memberikan respon balik dengan cepat setiap pengajuan klaim lengkap dengan tanggapan dan pertanyaan yang "tajam". Saking tajamnya, sering menimbulkan "kemarahan" dari DPJP yang adalah para Dokter Senior.Â
Ketika saya tanyakan "apakah respon baliknya itu salah atau mencari-cari kesalahan?". Jawabannya "Wah, dia kalau memberi respon balik itu tidak jarang dilengkapi dengan rujukan referensinya, tidak tanggung-tanggung kadang sampai 2-3 referensi kalau pas ada koreksi yang spesifik". Lantas bagaimana tanggapan para DPJP? "Ya tidak sedikit yang marah besar Dok, sampai mencari-cari tahu siapa sih verifiaktor baru yang bikin ulah itu".Â
Saya tanyakan lagi, sampai dimana tingkat koreksi yang dia berikan kok sampai membuat marah besar? "Ya bagaimana ya Dok, verifikator yang baru ini memang benar-benar jeli dan tajam, apalagi dilengkapi referensi, jadi ya memang... bagaimana ya, mau dibantah juga sulit". Jadi masalah dong, tanya saya lagi. "Ada untungnya Dok, karena kita jadi enak, tidak perlu kami yang harus berhadapan dengan para DPJP yang kadang memang tidak mau mudah menerima penjelasan itu. Kalau yang merespon verifikator yang baru ini, biasanya hanya marah, tapi tidak bisa membantah, kemudian mau menuruti sesuai prosedur".Â
Segera saya teringat tulisan sebelum ada percakapan tersebut tentang kerja Verifikator yang mirip sekali dengan "bagian keuangan" ketika memverifikasi perjalanan dinas (1). Walau sebaik apapun proses itu berjalan, selengkap apapun dokumen perjalanannya, ada sertifikat sebagai peserta terbaik sekalipun, tapi hanya karena tidak ada satu lembar boarding pass, maka secara regulasi, verifikasi itu gagal. Artinya? Uang perjalanan dinas tidak bisa dibayarkan. Bahkan kadang karena tiket sudah dibelikan dulu oleh kantor, bukan tidak mungkin pelaksana perjalanan dinas itu justru harus mengganti uang tiketnya. Menyebalkan? Memang. Tapi itulah birokrasi keuangan.Â
Kemudian saya titipkan pesan kepada mantan mahasiswa saya itu, bahwa bagaimanapun, posisinya adalah sebagai Verifikator BPJSK. Bagi saya, seorang verifikator memang tetaplah sebagaimana "bagian keuangan" tersebut. Justu jangan sampai verifikator dipaksa bekerja layaknya Auditor Medis ataupun Auditor Klinik. Seharusnyalah verifikator lapangan itu cukup bekerja berbasis daftar item periksa. Kemudian sesuai suatu alur (flow-chart) melakukan proses verifikasi. Kalau gagal berarti ditolak, kalau tidak ada masalah berarti lolos. Bagaimana kalau ada yang meragukan?Â
Memang sejauh ini pun, panduan teknis verifikasi MENGHARUSKAN verifikator untuk meneliti jauh lebih dalam daripada sekedar mengecek daftar item. Beberapa hal harus mereka pastikan, misalnya: Â