[caption caption="http://www.mediaindonesia.com/editorial/read/694/menata-jaminan-kesehatan/2016-03-21"][/caption]Ada tulisan menarik di Editorial sebuah Media pagi ini tentang Menata Jaminan Kesehatan. Semangat tulisan ini layak disepakati. Namun demikian ada beberapa bagian yang perlu diluruskan.Â
1. Ada mekanisme subsidi silang di dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan berbasis asuransi sosial. Yang kaya menyubsidi yang miskin dan yang sehat menyubsidi yang sakit.
Dalam dua tahun berjalannya JKN, ternyata prinsip tersebut belum benar-benar dicapai. Rasio antara premi yang terkumpul dari suatu kelompok dengan biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung untuk kelompok itu sendiri, ternyata justru lebih tinggi pada kelompok Mandiri (yang membayar sendiri preminya) daripada kelompok PBI (yang preminya ditanggung oleh negara). Pada akhirn 2014, angkanya bahkan di kisaran 1000% untuk kelompok pertama, dan kurang dari 100% untuk kelompok kedua. Di akhir 2015, berkat serangkaian pendekatan, rasio untuk kelompok mandiri tinggal di angka kisaran 200%, dan tetap kurang dari 100% untuk kelompok PBI. Itu artinya, uang yang dibayarkan untuk menanggung masyarakat ternyata justru lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok yang dianggap mampu.Â
2. Defisit BPJS Kesehatan terbilang fantastis, Rp3,3 triliun pada 2014 dan diperkirakan Rp6 triliun pada 2016.Â
Informasi ini kurang akurat, angka 6 T itu adalah estimasi tahun 2015 yang kemudian terbukti bisa ditekan sehingga angka defisit pada 2015 adalah 5,85 T. Istilah yang disepakati adalah miss-match, karena menggambarkan belum sesuainya antara pemasukan dari premi dengan beban pelayanan kesehatan.Â
Tahun 2016, bila benar nanti premi disesuaikan pada 1 April 2016, maka diperhitungkan besaran defisit adalah 7,94 T Bila nani penyesuaian itu ditunda, atau dibatalkan, maka risikonya angka defisit bisa menjadi 11T bahkan lebih. Sebainya Presiden segera meyakinkan saja apakah benar Perpres 19/2016 akan dilaksanakan atau ditunda seperti disampaikan agar tidak terjadi kebingungan.Â
3. Tinggal lagi bagaimana rumah-rumah sakit meningkatkan pelayanan kepada pasien BPJS Kesehatan. Mereka tak boleh lagi memperlakukan pasien BPJS sebagai warga negara kelas dua.
Perlu disadari bahwa tidak ada niatan dari manajemen RS dan para Nakes untuk memperlakukan pasien JKN (bukan pasien BPJS) seagai Warga kelas dua. Kami tetap berusaha selalu menjaga pelayanan sesuai standar. Jelas, JKN merupakan tantangan berat bagi kami di RS, tetapi kami tidak ingin mengorbankan pasien.Â
Bahwa ada kejadian dan laporan pelayanan yang kurang menyenangkan, tentu saja kita masih bersama-sama belajar. Juga kami menghadapi kenyataan lonjakan kunjungan padahal kapasitas relatif sama. Begitu juga dengan hambatan dalam pengadaan beberapa obat dalam sistem e-purchasing berbasis e-catalog. Itu semua jelas di luar kemampuan kendali kami.Â
Terkait penyesuaian besaran premi, dari perhitungan kami mendapatkan informasi bahwa penyesuaian besaran premi itu "hanya" memberi ruang fiskal untuk penyesuaian tarif INA-CBGs sebesar 6%. Itupun hanya pada sekitar 19% item tarif. Tentu kita sadar bahwa penyesuaian itu lebih baru untuk menekan miss-match, belum secara signifikan untuk penyesuaian tarif.Â
Untuk itu, kami tetap berjuang agar ada re-grouping (penyesuaian metode grouping) agar diagnosis yang bersifat perawatan intensif dan panjang serta berbiaya tinggi, mendapatkan skema tarif yang khusus. Dengan demikian lebih nyaman bagi RS untuk dapat melayani pasien.Â