[caption caption="Sindrom JKN"][/caption]Sejak pertengahan 2013, penulis mulai tertarik mempelajari apa itu JKN. Sebelumnya, sama sekali penulis tidak tertarik apalagi paham tentang asuransi kesehatan ataupun asuransi sosial. Iklan yang gegap gempita saat itu, membuat saya tertarik. Apalagi sedikit pernah mengalami paparan Asuransi Kesehatan pemerintah selama belajar di Jepang dulu.Â
Sekarang, pemahaman penulis juga masih jauh dari cukup. Hanya sudah lebih baik daripada sebelum mulai mempelajarinya. Dari tulisan-tulisan penulis di Note FB maupun akun Kompasiana ini, tidak sedikit yang telah diulas tentang JKN dari berbagai sisi: baik sisi manfaatnya, maupun sisi kekurangannya. Dalam beberapa hal, cukup spesifik penulis tuliskan sisi manfaat maupun kekurangan itu.
Dengan sedikit yang penulis pahami tentang JKN saat ini, cukup mudah bagi penulis untuk memilih akan menuliskan JKN dari sisi mana: sisi positif maupun sisi kekurangannya. Sebenarnya cukup jelas bahwa sampai hari ini pun, manfaat dan kekurangan itu masih terus muncul, dalam proses JKN mencari bentuk yang menuju lebih baik. Di tengah balutan itulah, penulis berpendapat bahwa dalam memandang JKN, ada dua pilihan:
1. Saya memandang secara positif, mencari sisi positif dan harapan. Tidak menutup diri dari adanya kekurangan, tetapi mendukung dan mengawal dengan cara terus mengritik kekurangan tersebut serta berusaha membantu mencari solusi agar semakin baik. Kalau nanti ternyata JKN berhasil semakin baik, hampir semua orang akan turut menikmatinya, tidak hanya saya. Tetapi kalaupun nanti ternyata JKN gagal, toh saya juga ikut menanggung risikonya.
2. Saya memandang secara negatif, menonjol-nonjolkan kekurangannya, mengedepankan persepsi salah kaprahnya tanpa mau memahami bagaimana regulasi dan mencari solusinya, mengecilkan bahkan mencurigai ketika ada berita positif tentangnya, bila perlu harus selalu mengaburkan dan menguburkan berita positif tentangnya. Kalau nanti benar-benar gagal, jelas saya ikut menanggung risikonya. Tetapi kalau nanti ternyata JKN berhasil semakin baik, ternyata saya juga ikut menikmati hasilnya.
Kedua pilihan itu, terus terang, penulis memandang adalah melelahkan. Dibutuhkan komitmen untuk sanggup terus-menerus bertahan pada satu pilihan. Termasuk risiko yang mendapatkan pendapat berbeda. Meski keadaannya sampai hari ini, nampaknya pilihan kedua cenderung lebih mudah, karena lebih mudah "mendapatkan" dukungan, terutama dukungan emosional. Sementara pilihan pertama, tidak jarang menempatkan pada posisi harus mendapat tentangan. Bahkan kadang sampai pada tingkatan mendapat cercaan. Tetapi penulis juga yakin, tidak sedikit orang yang sebenarnya tetap pada pilihan pertama meski berbeda-beda pula cara menyampaikannya di ruang terbuka.Â
Bagaimana pilihan penulis?Â
Saya pilih yang pertama.
Maaf, ini tentang saya. Pilihan Anda? Mangga itu hak Anda.Â
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H