Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Anggaran JKN: Bukan dari Cukai Rokok, tapi Subsidi BBM

16 Maret 2016   05:13 Diperbarui: 16 Maret 2016   07:20 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cukai dan Pajak Rokok"][/caption]Di akhir tahun 2015 dan awal 2016, serta marak kembali khir-akhir ini, muncul usul tentang penggunaan cukai rokok untuk menutupi "kekurangan" anggaran JKN. Tentang kekurangan itu, sudah pernah kita bahas pada tulisan sebelumnya tentang mengapa BPJS "harus" defisit. Tentang pilihan untuk "disetting defisit" itu ada juga sedikit analisis kebijakan strategis yang mendasarinya. Artinya memahami kekurangan anggaran itu tentu perlu kejernihan juga. Itulah mengapa penulis memberi tanda kutip pada kata "kekurangan" tersebut. 

Usulan tentang penggunaan cukai rokok didasari perhitungan bahwa jumlah CUKAI rokok memang besar. Tahun 2015 bahkan mencapai 139,5 T. Sementara kebutuhan anggaran untuk membayar premi 86,4 juta kelompok PBI pada besaran premi 19.225 rupiah, "hanya" 19,9 T. Pada 2016, dengan 92,4 juta kelompok PBI, dan besarannya  23.000 rupiah per orang, maka diperlukan "hanya" 25 T. Dihitung-hitung secara kasar bahkan seandainya semua warga negara, sekitar 252 juta dikurangi yang telah mendapatkan dari negara yaitu kelompok PNS/TNI/Polri/Pensiunan/Purnawairawan menjadi sekitar 235an juta, dengan besaran seperti PBI berarti diperlukan dana sekitar 65 T. Atau bila ingin lebih baik lagi, semua warga ditanggung premi kelas III Mandiri sebesar 30 ribu rupiah, maka diperlukan sekitar 71 T. Masih jauh di bawah cukai rokok. Berarti selesai masalah? 

Hemat penulis, tidak sependapat dengan penggunaan cukai rokok untuk menutup kekurangan anggaran JKN. Pertama, harus jelas dulu bahwa yang dimaksud itu CUKAI rokok atau PAJAK rokok? Isi Permendagri 37/2014 dan 52/2015 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015 dan 2016 tentang "rokok" menyebutkan:

[caption caption="50% "]

[/caption]Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 itu sendiri mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Pasal 31 menyatakan sama dengan isi dari Permendagri 37/2014 dan 52/2015 tersebut. Jadi memang isi dalam Permendagri tersebut sebagai turunannya. 

Apa itu pajak rokok? Penulis berusaha mencari, terakhir mendapatkan laman berikut ini (laman resmi sebuah pemda kabupaten) yang menjelaskan tentang beda cukai rokok dan pajak rokok: 

[caption caption="Cukai dan Pajak Rokok"]

[/caption]Pemahaman awam penulis, berarti yang boleh dipakai adalah Pajak Rokok. Besarnya 10% dari Cukai. Untuk tahun 2015 berarti mudahnya saja 13,95 T (10% dari cukai sebesar 139,5 T). Bila diambil 50% berarti sekitar 7 T. Terhadap 7 T tersebut, dibagi antara pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Anggap saja berarti untuk pelayanan kesehatan adalah 3,5 T. Berarti masih jauh dari cukup bila benar hendak digunakan untuk menutup kekurangan anggaran JKN. 

Alasan kedua, ini yang lebih esensial. Bila entah dengan mengubah regulasi misalnya, sampai terjadi memang benar bahwa cukai rokok digunakan untuk menutup kekurangan anggaran JKN, maka akan terjadi kondisi yang penulis sangat khawatir: rasa permisif terhadap perilaku merokok menjadi semakin besar. 

Dari yang sederhana saja, pasal 115 UU Kesehatan nomor 36/2009, menyatakan bahwa:

(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:

a. fasilitas pelayanan kesehatan;

b. tempat proses belajar mengajar;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun