Sebenarnya, terminologi "rujukan berbasis kompetensi" bagi RS itu harus dimaknai hati-hati. Lebih tepat adalah "rujukan berbasis kewenangan". Kewenangan dibentuk dari kompetensi SDM plus dukungan alkes, obat dan sarpras. Bahkan juga keberadaan beberapa jenis SDM terkait yang menentukan kewenangan tersebut.Idealnya, kompetensi memang berhimpitan erat dengan kewenangan. Bila kondisi ideal ini tercapai, baru tepat kita menyebut "rujukan berbasis kompetensi".
Masalahnya, yang ideal itu biasanya sulit dianggap serta merta terjadi. Bahkan yang ideal biasanya hampir tidak mungkin tercapai. Maka disebutkan bahwa  berhimpitan erat saja sudah sangat baik. Yang lebih sering justru ada jarak antara kompetensi SDM dengan kewenangan di RS tempatnya bekerja.
Jarak ini yang sebenarnya ingin didekatkan melalui regulasi. Dari sana kita mengenal kelas RS. Diatur bahwa RS kelas tertentu, harus memiliki standar SDM, peralatan dan sisstem penyelenggaran pada level tertentu. Semakin "tinggi kelas"nya, semakin tinggi pula level penerapannya. Dengan demikian, kewenangan yang dimiliki suatu RS semakin berhimpit dengan kompetensi yang melekat pada SDM di dalam RS tersebut.Â
Dari waktu ke waktu, ada dinamika regulasi soal kelas RS. Semakin lama semakin ketat. Meski terasa kaku dan menjepit, tapi memang harapannya regulasi itu mendekatkan jarak antara kompetensi yang dilabelkan dengan kewenangan yang secara nyata dapat dijalankan RS dimaksud. Agar ketika menyebut suatu kelas, maka tergambarkan kewenangannya yang makin mendekati taraf kompetensi SDM di dalamnya. Dengan demikian, memudahkan juga mengelola rujukan secara berjenjang, menyesuaikan kemampuan dan kewenangan yang benar-benar dimiliki setiap RS.Â
Setelah jarak itu menjadi begitu dekat, hampir tak berjarak, maka barulah kemudian "dilepas" dengan Permenkes 3/2020, dimana dianggap semua sudah paham bahwa kompetensi SDM-SDM di RS itu seharusnya erat melekat dengan kewenangan yang benar-benar dapat dijalankannya. Maka diberi kewenangan menentukan sendiri jenis layanan. Semua dianggap sudah dapat menjamin bahwa setiap layanan berbasis kompetensi SDM yang berhimpitan erat dengan kewenangan menerapkannya. Bukan hanya label kompetensi SDM semata.Â
Jangan hanya dilihat dari tanda "+/-" nya. Harus dicermati benar makna dan standar yang menyertainya.
Tetap semangat!
Tonang Dwi Ardyanto
03/02/2020