Tembang rawat-rawat,
Ujare mbok bakul sinambi wara,
Kulak warta adol pangrungon,
Ana catur mungkur....
Waktu kata-kata itu disusun, tentu belum ada FB, Insta, Twitt, dan sejenisnya. Tapi media sosial sudah ada. Bentuknya sesuai masanya. Mbok bakul ini identik dengan pasar. Dimana banyak orang saling bertemu. Dari berbagai latar belakang. Membawa berbagai beban. Fisik maupun perasaan. Semua bertemu dan tumpah di pasar.
Di antara mereka kemudian saling menyapa. Tujuannya utamanya berdagang dan membeli. Di pasar, memang banyak informasi saling dipertukarkan.Â
Tapi itu hanya "samben", artinya sambil lalu. Orang tidak saling menuntut "akurasi dan kedalaman informasi". Basisnya lebih sering sekedar "jarene", katanya entah siapa.
Wajar bila informasi hanya sepotong-sepotong. Tidak jarang juga timbul distorsi. Potongan informasi dilepaskan dari konteksnya. Akhirnya mudah timbul salah persepsi. Bukan tidak mungkin begitu tajam, bisa berujung jadi "urusan polisi".
Sedemikian membaurnya, sedemikian cairnya, maka risiko terjadi luberan dan kebocoran. Tapi karena sifat "sambil lalu", yang menerima luberan dan bocoran juga malas mencari konfirmasi.Â
Makin jauh dari konteks dan makin melebar dari inti informasi. Tapi kita sering tidak peduli. Tetap menerima dan turut menyebarkannya lagi. Kalau tidak segera menyebarkannya, khawatir kalah eksistensi.
Nasihat leluhur menyatakan: harus hati-hati. Memilah dan memilih informasi. Saat menerima, maupun saat memberi. Ingat bahwa selalu ada yang senang "kulak warta adol pangrungon".Â
Mencari informasi sana-sini. Seringnya hanya dari satu sisi. Tapi kemudian menyebarkannya ke sana kemari. Tujuannya sekedar gengsi dan sensasi.
Kita tidak pernah bisa menghindari. Selalu ada risiko dan potensi. Tapi minimal, kita harus menghindarkan diri sendiri. Jangan ikut-ikutan alpa menjaga diri.
Lebih baik mundur, ana catur mungkur. Tahan diri bila tidak mampu menjaga tutur. Apalagi gegabah informasi sepotong mudah meluncur. Bukan tidak mungkin, semua menjadi hancur.