Hal-hal seperti ini lebih penting untuk dijelaskan. Lebih dari sekedar mengkonfirmasikan mana data defisit yang benar. Karena dari sana lah kita bisa banyak belajar agar JKN semakin sesuai harapan.
Untuk memulainya, kiranya kita banyak berharap kepada Kemenkes, Kemenkeu, DJSN dan OJK untuk secara sendiri maupun bersama-sama, memberikan laporan akuntabilitas pengelolaan JKN oleh BPJSK sesuai dengan ranah masing-masing.
Hal demikian tidak untuk menempatkan BPJSK sebagai seolah pelaku tunggal atau penyebab dari terjadinya defisit (atau lebih jauh lagi pencapaian target JKN). Adanya laporan hasil pengawasan oleh lembaga lain, adalah wujud nyata dari prinsip check-and-balances dalam implementasi sistem demokrasi.
Hal yang demikian juga terjadi ketika antara BPJSK dan Provider (penyedia layanan) untuk dapat saling memberi masukan. Asal semua dalam semangat "demi NKRI", maka mari saling memperbaiki.
Bagaimana kalau diawali dari mengurai soal defisit ini? Barangkali satu hal yang jelas adalah penegakan aturan terkait kewajiban menjadi peserta JKN dan tentu saja kewajiban membayar iuran.
Adanya "masalah" dalam pengumpulan iuran, berujung pada pasokan dana untuk pelayanan kesehatan. Aliran berikutnya: strategic purchasing. Tidak ada yang salah secara filosofi: negara "membeli" pelayanan kesehatan yang sesuai standar secara efektif dan efisien.
Itu wajar, itu sudah seharusnya. Masalahnya, kalau konsep itu didasarkan pada aliran dana yang "bermasalah", maka risikonya justru merusak filosofi strategic purchasing itu sendiri. Bukan tidak mungkin justru pelayanan kesehatan seharusnya menjadi ujung tombak, terpaksa dijadikan ujung tombok.
Bila itu yang terjadi, maka harapan bersama JKN untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh NKRI, akan semakin jauh dari harapan kita.
Mari.
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H