Pasien laki-laki, 62 tahun, datang tanggal 24 Des 2016 dengan khas Ileus, termasuk agak terlambat datang ke RS. Dilakukan operasi cito, harus diteruskan perawatan di ICU. Ada tanda-tanda harus re-laparatomi, tapi tertunda, karena harus ada perbaikan kondisi lebih dulu.
Poin masalahnya, pasien ini tidak memiliki kepesertaan JKN. Dalam pendataan, mengaku pekerjaannya buruh. Anaknya mengaku Karyawan Swasta. Setelah 8 hari perawatan, karena memang harus menjalani operasi besar, pemberian infus albumin, banyak obat-obatan untuk mencegah dan melawan infeksi, termasuk harus transfusi beberapa kali, biaya perawatan sudah tinggi. Akhirnya keluarga rencana memilih APS saja.
Mendapat pertanyaan tersebut, saya merenung harus bagaimana sebaiknya?
Bila menilik semangat JKN, maka arahnya adalah Jaminan Kesehatan Semesta (UHC) pada 2019. Pada pasien ini, alangkah jauh lebih ringannya bila sudah menjadi peserta JKN. Masalahnya, ternyata belum menjadi peserta?
Ada beberapa kemungkinan:
1. Pasien nampaknya pekerja non formal sehingga tidak termasuk kelompok PPU. Untuk itu dapat mendaftarkan diri sebagai peserta mandiri. Hanya masalahnya, ada masa tenggang 14 hari sebelum dapat melakukan pembayaran pertama dan efektif berlaku. Dalam kondisi sakitnya sekarang, nampaknya tidak memungkinkan. Ketentuan ini ada pada Per BPJSK 1/2015 dan turunannya di Per Dir 32/2015.
2. Yang bersangkutan memang bukan pekerja formal, sehingga tidak masuk ke kelompok PPU. Tetapi karena anaknya seharusnya masuk PPU sebagai Pekerja Swasta, maka berhak mengikutkan orang tuanya sebagai Anggota Keluarga tambahan dengan besaran iuran 1% dari gajinya. Prosedurnya melalui Badan Usaha tempatnya bekerja, untuk menyertakan dalam potong gajinya. Tetapi bila tempat kerja tidak bersedia, peserta PPU dapat membayarkan sendiri 1% gaji tersebut untuk setiap anggota keluarga tambahan yang didaftarkan (dengan diverifikasi oleh tempat kerjanya).
Tapi dalam hal ini terdapat klausul mekanisme Cut-off. Artinya, kepesertaan anggota keluarga tambahan tersebut baru efektif setelah pembayaran iuran pada awal bulan berikutnya (maksimal tanggal 10). Tentu saja ini juga bukan pilihan barangkali kalau ternyata proses di tempat bekerja tidak bisa cepat, sehingga sudah bisa dibayarkan iurannya sebelum tanggal 10 bulan Januari 2017 ini (setelah seluruh proses verifikasi dari tempat kerja juga sudah beres, untuk memvalidasi status kepesertaan PPU anak dari pasien tersebut, dan daftar keluarganya).
3. Alternatif berikutnya adalah didaftarkan sebagai Peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah. Klausul ini dimungkinkan sesuai Pasal 6A Perpres 19/2016 kemudian diturunkan dalam Per BPJSK 5/2016. Pendaftarannya sebagai peserta Mandiri kelas 3, tanpa hak untuk naik kelas. Aktivasinya langsung berlaku saat didfaftarkan dan dibayar oleh Pemda.
Hanya syaratnya, Pemda setempat sudah menanda tangani perjanjian kerjasama dengan BPJSK tentang komitmen menuju UHC 2019. Sejauh ini, sepengetahuan saya, baru ada DKI, Bali, Sulut dan Aceh yang sudah menanda tanganinya. Bila belum ada kerjasama, maka akan berlaku cuf-off sebagaimana pada alternatif ke 2.
4. Alternatif berikutnya adalah didaftarkan sebagai Peserta Mandiri kelas 3, membayar sendiri iurannya, tetapi menggunakan rekomendasi dari Dinas Sosial setempat sehingga kartunya bisa langsung efektif begitu diterbitkan dan membayar iuran pertama. Alternatif ini erat kaitannya dengan alternatif nomor 3 di mana ada ranah kewenangan Pemda melalui Dinsos setempat untuk menyatakannya sebagai tidak mampu.
Dalam regulasi JKN, syaratnya adalah: SKTM dari Desa/Kelurahan berbasis Surat Pengantar RT/RW dan batas penggunaan listrik rumah tangga maksimal 900 kwh. Dengan alternatif ke 4 inilah kartu bisa langsung berlaku.
Merujuk pada Per BPJSK 4/2014 dan Per Dir 211/2014, maka meskipun ada pengecualian bahwa meskipun sudah mendaftar dan berlaku setelah pembayaran iuran pertama, namun tidak bisa digunakan bila sudah dalam perawatan.
Dalam komunikasi dengan Grup Kepesertaan BPJSK, didapatkan informasi dalam hal ini menggunakan klausul Permenkes 28/2014 bahwa yang juga sebenarnya sudah dijabarkan dalam Per Dir 211/2014:
1. Status kepesertaan dipastikan pada awal episode perawatan.
2. Peserta menyerahkan bukti verifikasi kepesertaan paling lambat dalam waktu 3x24 jam atau sebelum pulang atau sebelum dinyatakan meninggal.
Bila lewat dari masa itu maka walau sudah aktif, kartu tidak bisa digunakan dalam episode perawatan yang sedang berjalan.
Usul saya, bila terpaksa memang harus pulang atas permintaan sendiri, sebaiknya segera mengurus pendaftaran pada alternatif ke tiga atau ke empat yang memungkinkan kartu bisa langsung efektif/berlaku. Dengan demikian, ketika nanti masuk lagi ke RS karena membutuhkan pelayanan kesehatan, sudah bisa langsung berlaku.
Dalam hal ini sangat diperlukan dukungan dari aparat dan Pemda terkait agar dapat terlaksana alternatif ke 3 dan ke 4 tersebut.
Ada informasi bahwa BPJSK telah menerbitkan Per Dir baru untuk merevisi Per Dir 32/2015 termasuk terkait pendaftaran calon bayi anak ke 4 dan seterusnya dari Peserta PPU. Juga tentang Pendaftaran kolektif untuk misalnya Mahasiswa sebuah institusi, Warga Panti Sosial dan sejenisnya, dengan mengesampingkan kewajiban pendaftaran bagi anggota keluarga dari mahasiswa dan warga tersebut. Semoga segera dapat dilansir peraturan revisi dimaksud, agar dapat dipahami bersama.
Semata demi kelancaran dan keberlangsungan JKN menuju UHC 2019.
Mangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H