Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Per BPJSK 2/2016: Pengenaan Denda atas Biaya Rawat Inap Setelah Keterlambatan Pembayaran Iuran

9 Juli 2016   11:31 Diperbarui: 10 Juli 2016   17:16 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 28 Juni 2016 kemarin, diundangkan Per BPJSK nomor 2/2016 tentang Tatacara Pembayaran Iuran dan Denda atas Keterlambatan Iuran JKN. 

Peraturan ini adalah implementasi dari Pasal 17A.1 ayat (8) Perpres 19/2016. Bunyinya harus diberlakukan per 1 Juli 2016. Jadi memang sudah mepet waktunya. 

Isi Per BPJSK 2/2016 pada dasarnya menguraikan Pasal 17A.1 tersebut bahwa:

1. Batas waktu pembayaran tanggal 10 bulan berjalan. Bila terjadi keterlambatan sampai tanggal 10 bulan berikutnya, maka penjaminan akan dihentikan sementara. 

(2) Pemberhentian sementara penjaminan tersebut berakhir dan status kepesertaan aktif kembali apabila Peserta:
a. membayar iuran bulan tertunggak paling banyak untuk waktu 12 (dua belas) bulan; dan
b. membayar iuran pada bulan saat peserta ingin mengakhiri pemberhentian sementara jaminan.

3. Bila dalam 45 hari sejak pengaktifan kembali tersebut, peserta mendapatkan layanan rawat inap, maka diberlakukan denda sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak dengan ketentuan:
a. jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 (dua belas) bulan; dan
b. besar denda paling tinggi Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

4. Ketentuan denda dan tunggakan ini dikecualian bagi peserta yang dinyatakan oleh Dinsos/Kemensos sebagai Tidak Mampu (sehingga kemudian masuk dalam PBI). 

Tentang hal ini, sudah jelas dalam Perpres 19/2016. Yang menjadi poin diskusi adalah bagaimana cara menerapkan denda tersebut? Di sini masalahnya.

Perban 2/2016 menyatakan bahwa ketika harus rawat inap dalam 45 hari sejak pengaktifan kembali, maka akan ada proses dimana SEP belum bisa diterbitkan sebelum peserta dan/atau penanggung jawab pembayaran iurannya menyatakan setuju untuk membayar denda. 

Bagaimana caranya? 

Petugas BPJSK akan mengecek besaran tunggakan kemudian berkoordinasi dengan petugas RS untuk mendapatkan diagnosis awal sebagai dasar perhitungan sementara besaran biaya rawat inap. Dari perhitungan itulah peserta dikenakan denda (sesuai rumus dalam Perpres 19/2016). 

Setelah itu, peserta atau penanggung jawab iurannya membayar besaran denda tersebut. Barulah kemudian SEP dapat diterbitkan dan peserta bisa mendapatkan layanan. 

Bagaimana kalau kondisi gawat darurat? 

Tetap sama prosedurnya, hanya tidak diperlukan surat rujukan. 

Untuk peserta yang tidak mampu (tetapi belum masuk PBI), ketika datang harus sudah membawa surat dari Dinsos yang menyatakan tidak mampu, maka klausul tunggakan dan denda tidak berlaku. 

Bila peserta tidak mampu datang dalam keadaan gawat darurat, maka Surat dari DInsos diberi waktu maksimal 3 x 24 jam atau sebelum pasien dipulangkan. Bila dalam waktu tersebut tidak terpenuhi surat dari DInsos, maka biaya rawat inap tersebut tidak ditanggung. 

Mudah dibayangkan bahwa prosedur yang demikian, akan menempatkan RS di posisi yang tidak nyaman. Apalagi pada kondisi dimana Petugas BPJSK tidak sedang di tempat. Jelas kondisinya membuat antara peserta dan pihak RS sangat tidak nyaman. 

Dapat diduga bahwa aturan ini memang harus terbit sebelum 1 Juli 2016 sebagaimana amanah Perpres 19/2016. Namun, dapat dibayangkan juga potensi masalah yang menyertainya. 

Dalam segitiga Managed-Care, hubungan antara Peserta sebagai pengguna layanan dan Faskes/Nakes sebagai penyedia layanan, adalah khusus terkait soal mencari dan memberi pelayanan kesehatan. Kalaupun ada iur biaya, itu adalah yang timbul atas kemauan peserta sendiri untuk menempati kelas lebih tinggi. Selama menempati kelasnya, regulasi JKN menyatakan tidak boleh ada iur biaya. 

Sementara hubungan antara peserta dan BPJSK adalah soal pembayaran iuran dan penanganan keluhan. Dengan demikian, bila timbul denda akibat keterlambatan pembayaran iuran, adalah urusan antara BPJSK dengan peserta. Tidak tepat bila hal itu kemudian dibebankan kepada RS. 

managed-care-57821da291fdfd3009712122.jpg
managed-care-57821da291fdfd3009712122.jpg
Untuk itu, beberapa saran:

1. BPJSK menyatakan kepada Presiden bahwa ada potensi masalah dalam pelaksanaan amanah Pasal 17A.1 terkait pengenaan denda akibat mendapatkan rawat inap dalam 45 hari setelah pengaktifan kembali. 

Untuk itu, memohon kepada Presiden untuk memberi waktu bagi pelaksanaan pengenaan pasal tersebut. 

2. Kemudian, BPJSK merumuskan kembali bersama para pemangku kepentingan: Kemenkes, Asosiasi Faskes, Kementerian terkait, agar diperoleh mekanisme yang lebih mampu laksana. 

3. Salah satu usulan: denda tersebut dibebankan kepada peserta dalam bentuk tambahan terhadap iuran selanjutnya. Jadi bukan menjadi syarat dan proedur yang menghalangi penerbitan SEP pada kondisi hendak ranap, apalagi dalam kondisi gawat darurat. 

4. Bila secara legal drafting masih memungkinkan, tidak perlu direvisi Per BPJSK 2/2016 tetapi diikuti dengan Per Dir sebagaimana selama ini juga Per BPJSK 4/2014 diikuti Per Dir 211/2014 dan Per BPJSK 1/2015 diikuti Per Dir 32/2015. 

Demikian, sebaiknya masalah ini segera ditindak lanjuti, agar tidak menimbulkan masalah di lapangan. 

‪#‎SalamKawalJKN‬

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun