Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lentur dan Lebur tapi Tidak Luntur....

24 Januari 2016   10:35 Diperbarui: 24 Januari 2016   11:36 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah duduk di pelaminan, akan dilangsungkan serangkaian tata cara. Di awali dengan bobot timbang yang menandakan bahwa bagi orang tua, sekarang tidak ada lagi anak dan menantu. Yang ada adalah anak. Berarti pula, tidak perlu ada rahasia antar suami istri dalam hal memperlakukan kedua orang tua masing-masing.

Selanjutnya, suami istri baru itu akan saling menyuapi, menunjukkan kemesraan dan saling percaya serta tekat untuk mandiri tidak lagi bergantung pada orang tua. Begitu juga ketika suami menyerahkan rejeki yang diperolehnya kepada istri - dengan perlambang beras kuning campur biji kacang hijau dalam tilam lampus- dengan amanah untuk dikelola secara hati-hati (gemi, setiti lan permati) agar menjadikan kebahagiaan keluarga (cukup, mentes lan mungkasi). Jelas, di sana tidak ada sebenarnya konsep "uang laki-laki" karena semua adalah milik suami-istri. Juga bahwa tidak ada ruang bagi "simpanan dan simpenan" rahasia antara keduanya.

Prosesi selanjutnya, kedua pengantin melakukan sungkem kepada kedua orang tua dari kedua pihak. Ini juga wujud kesadaran bahwa mereka telah menjadi bagian dari kedua keluarga besar. Kesadaran bahwa pernikahan dalam konsep Jawa, bukan sekedar antar dua orang manusia, tetapi adalah antara dua keluarga. Tentu, ada konsekuensi, ada risiko benturan, tetapi itulah memang keniscayaan karena manusia memang diciptakan untuk tidak hanya memiliki satu sifat dan kepribadian yang sama.

Begitulah, sebenarnyalah, banyak makna bisa dipetik. Sudut pandang kita yang lebih menentukan: apa makna yang bisa kita ambil. Biasanya, saya diajak diskusi kecil untuk menyepakati beberapa hal terkait seluruh rangkaian tersebut. Selalu saya sampaikan pandangan saya dengan hati-hati. Hal-hal yang prinsip, saya tegaskan sebagai sikap saya. Sebutlah misalnya soal sesajian, soal ritual tertentu, atau soal penggunaan lafal doa yang tidak ditujukan kepada Allah SWT.

Tetapi segera pula saya sampaikan, bahwa pada dasarnya, itu semua adalah hak penuh empunya hajat. Sebagai yang diminta membantu, saya akan siap melaksanakan apa yang menjadi keyakinan, selama saya tidak harus terlibat sebagai pelaku untuk hal-hal yang saya yakini tidak benar. Tugas saya adalah menyusun rencana dan memastikan semua berjalan lancar.

Hal yang cukup sering mengganggu saya adalah pelaksanaan siraman. Sebenarnyalah makna siraman ini cukup dalam: menjaga kebersihan diri untuk dalam keadaan suci memasuki jenjang pernikahan. Agar tidak perlu ada "beban masa lalu" apalagi "trauma masa silam", yang akan mengganggu ketika memasuki pernikahan. Masalahnya, sebenarnyalah prosesi itu sebaiknya dilakukan di ruang privat. Bukan tempatnya untuk dilakukan di ruang semi publik apalagi dipertontonkan secara terbuka. Sebaiknya acara ini menjadi acara keluarga inti, dengan mempertahankan bahwa "hanya muhrimnya lah yang layak ikut menyaksikan".

Ada satu yang juga sering menjadi pertanyaan ke saya: apakah pengantin putri harus mengenakan jilbab ketika akad nikah? Saya menjawab: mengenakan jilbab sesuai tuntutan, adalah kewajiban yang disyariatkan dalam Islam. Namun, semua berpulang kepada pribadi masing-masing serta orang tua sebagai walinya. Apakah mengenakan, atau tidak mengenakan, itu adalah hak, dengan kesadaran penuh sebagai pribadi dewasa.

Selanjutnya saya hanya sampaikan, akan lebih baik bila dilakukan sesuai keyakinan dan integritas saja: kalau memang sudah mantap memakai, tentu harus memakai seterusnya. Namun bila belum sampai kesiapan, justru lebih baik apa adanya sehingga lebih terjaga integritasnya. Pada akhirnya, saya serahkan semua kepada empunya hajat dan calon pengantin. Saya sekedar menyampaikan pendapat sesuai permintaan.

Ada juga saatnya, saya tidak diajak diskusi. Saya tentu berpikir positif bahwa tentu empunya hajat sudah melakukan banyak kajian dan sudah memutuskan. Maka saya tinggal mengikuti saja bagaimana yang dikehendaki. Tidak pada tempatnya saya mengatur atau menghalang-halangi, selama itu bukan hal yang prinsip. Biasanya, saya hanya sangat berusaha menjaga dalam proses akad nikah (pernah saya bahas sebelumnya) karena itulah sebenarnya inti acaranya. Saya berusaha memastikan bahwa proses itu berjalan benar-benar seperti seharusnya (by the book). Untuk itu perlu persiapan yang sangat matang, termasuk mempertimbangkan apakah akan dilangsungkan di masjid, di rumah atau di tempat lain. Sedangkan untuk rangkaian acara yang lain, saya cenderung mengikuti apa yang menjadi kehendak dari empunya hajat.

Hemat saya, bila berdiri sebagai pihak luar, lebih baik kita berpikir positif setiap kali mengamati dan mengikuti rangkaian acara pernikahan. Biarlah pergulatan itu menjadi wilayah empunya hajat dan pelakunya. Selama tidak diminta, atau karena kita adalah bagian dari keluarga. lebih baik kita berposisi tenang. Bila memang merasa ada yang kurang pas, pilihannya mudah: hadirlah pada rangkaian yang kita merasa selaras, dan memilih menjauh pada rangkaian yang kita anggap kurang tepat.

Sungguh, bagi saya, ada pembelajaran berharga, dari menjalani tugas sosial membantu hajatan pernikahan. Saya bagi, siapa tahu ada manfaatnya bagi yang lain. Namun, jelas ini jauh dari menggurui, saya sekedar berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun