Habis Kesehatan, Terbit Lingkungan: Tebang Pilih Data dan Gerakan Antitembakau yang Hiperbolis
Makin agresifnya tekanan menyusun regulasi antitembakau melalui sejumlah riset yang terkesan dipaksakan sebenarnya telah mendapat kritik sejak lama. Pada 2011, konferensi The International Coalition Against Prohibition di Brussels, yang dihadari ilmuwan, akademisi, jurnalis, dan aktivis, mengkritik aksi-aksi represif terhadap tembakau. Konferensi yang disebut Brussels Declaration ini utamanya menggugat penyimpangan terhadap fakta-fakta ilmiah yang digunakan sebagai dasar kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini didasari pada fakta bahwa narasi bahaya tembakau tak berubah signifikan, dan bahkan sekaligus diselewengkan dan dilebih-lebihkan. Sementara, studi dan riset, seperti Levy dan Marimont, atau Monica, tak pernah menjadi konsideran.
Kritik ini juga yang mungkin mendorong kelompok antitembakau kembali menggeser sasaran serangnya. Setelah kesehatan, dalam beberapa tahun belakangan, industri tembakau jadi kambing hitam baru atas semua masalah yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti deforestasi, perubahan iklim, bencana alam, kelangkaan air, polutan di laut, polusi udara, dan masih banyak lagi. Hal ini memuncak saat WHO menentukan tema peringatan World No Tobacco Day 2022 yaitu Tobacco: Threat to Our Environment.Â
Polanya pun tetap serupa: tebang pilih atas data, riset, atau studi; ditambah aksi penyelewengan serta hiperbola terhadap data, riset, atau studi yang cenderung menyesatkan; dan mengasosiasikan tembakau sebagai faktor tunggal atau terbesar atas masalah-masalah yang muncul di dunia.
Beberapa narasi utama yang digunakan untuk mengoneksikan hal tersebut, misalnya, pertama, perkebunan tembakau menyebabkan deforestasi dengan tingkat penggundulan hutan seluas 200.000 hektar per tahun. Nyatanya dalam literatur apa pun, areal perkebunan tembakau global justru konstan merosot lebih dari tiga dekade ke belakang. Statista mencatat luas areal perkebunan tembakau dari 4,7 juta hektar pada 1985, menjadi 4,1 juta hektar pada rentang 1990-2000, kembali menurun pada 2001-2010 menajdi 3,9 juta hektar, kembali merosot menjadi 3,7 juta hektar pada 2015, dan pada 2020 tersisa 3,2 juta hektar. Dus, mengoneksikan perkebunan tembakau sebagai biang keladi deforestasi adalah hal yang salah kaprah.
Kedua, disebutkan industri tembakau mengonsumsi 22 miliar ton per tahun atau 3.000 liter air dibutuhkan untuk memanen 1 kg tembakau. Ditelisik lebih jauh, ternyata angka tersebut muncul dari konsumsi air di seluruh rantai pasok industri tembakau hingga menjadi produk yang dikonsumsi. Namun kampanye ini mengesankan budidaya tembakau menjadi salah satu biang kerok berkurangnya pasokan air bersih lantaran konsumsi air yang tinggi dengan menggunakan perhitungan yang membingungkan nan menyesatkan. Jika dibandingkan dengan komoditas paling haus di muka bumi, seperti kapas yang memutuhkan sekitar 7.000-29.000 liter untuk memanen per 1 kilogram, atau tanaman padi yang butuh 3.000-5.000 liter air per kilogram panen, konsumsi air dari tanaman tembakau relatif kecil. Namun kembali, penghitungan dan khianat kepada metodologi ilmiah menjadi skema untuk menunjukkan seberapa parah tembakau merusak lingkungan.
Terakhir, ihwal kampanye bahwa puntung rokok yang merupakan sampah terbesar yang dibuang manusia, yaitu sebanyak 4,5 triliun puntung rokok per tahunnya. Terlepas dari jumlahnya, puntung rokok yang dibuang sembarangan memang memuncaki klasemen penghasil sampah terbesar. Namun, asumsi tersebut selalu ditambah bahwa puntung rokok juga merupakan polutan terbesar di laut dan pantai. Ini bisa diperdebatkan, mengingat data terakhir yang dicatat International Coastal Cleanup (ICC) pada 2019 menunjukkan bahwa puntung rokok sebagai polutan di laut dan pantai telah banyak berkurang. Urutan pertama kini ditempati oleh pembungkus sampah plastik
Di sisi lain, kesadaran berwawasan lingkungan terhadap puntung rokok sejatinya telah meningkat, termasuk melalui inisiatif daur ulang puntung rokok menjadi salah satu pengembangan yang berkelanjutan. Di Australia, RMIT University telah mengembangkan pembuatan batu bata berbasis puntung rokok, sementara di Amerika Serikat, limbah rokok juga telah didaur ulang untuk memproduksi plastik.
Pada akhirnya, dinamika terhadap kampanye antitembakau memang tak lepas dari aspek ekonomi politik yang perlu memosisikan tembakau sebagai biang kerok semua permasalahan. Riset, studi, maupun data sekadar jadi instrumen buat mensahihkan kampanye-kampanye tersebut.