Gama sedang berada di kedai kopi di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan pada siang itu. Dia telah menjadi pelanggan tetap kedai kopi itu sejak duduk di bangku kuliah. Dia sering berkunjung ke kedai kopi itu hampir setiap hari, walaupun hanya sebatas ingin menulis catatan kaki pada sebuah karya tulisnya. Memiliki profesi sebagai penulis fiksi, dia terbiasa menepi dari keramaian kota dan berdiam diri di suatu tempat yang sunyi untuk mendapatkan inspirasi. Kedai kopi itu memberikan kepuasan itu kepadanya.
Kedai kopi itu bernama Amavasya, kedai kopi yang memiliki luas relatif kecil dibandingkan dengan jaringan kedai kopi global asal Amerika Serikat, menawarkan bermacam-macam varian kopi nusantara. Salah satu varian kopi yang menjadi favorit di kedai kopi itu ialah Bajawa, berjenis kopi Arabica yang menyisipkan rasa asam di tepi lidah.
Suasana kedai kopi itu memberikan kedamaian bagi Gama. Bunga kamboja bersemarak di halaman depannya dan gemericik suara air mengalir dari sungai kecil mengiringi di halaman belakangnya. Selain itu, aroma kopi yang kuat semakin meneduhkan suasananya. Karenanya, banyak inspirasi mengalir ke dalam relung imajinasi Gama.
Gama telah menyendiri di kedai kopi itu sejak pagi. Menurutnya, pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk menikmati suasana yang teduh di kedai kopi itu. Oleh sebab itu, dia sangat bersemangat untuk melanjutkan penulisan novel ketiganya sejak pagi. Novel itu merupakan hasil dari metamorfosa kenangan pahitnya. Dia ingin mengungkapkan sebuah kontradiksi yaitu kepiluan hati dapat bermetamorfosis menjadi perasaan yang damai dan setiap tangis tidak selalu berujung tragis. Bagaikan secangkir kopi hitam, meskipun terasa pahit, tetapi memberikan sensasi kenikmatan bagi penikmatnya.
Setelah selesai menyendiri di kedai kopi itu, dia pergi ke sebuah sekolah dasar dimana keponakannya bersekolah di sekolah itu. Setiap hari dia biasa menjemputnya setelah pulang sekolah. Sebelum dia sampai di sekolah, dia mampir terlebih dahulu ke sebuah gereja dimana letaknya bersebelahan dengan sekolah keponakannya itu. Dia ingin bertemu seseorang yang selalu menunggunya di gereja itu. Seorang perempuan Jawa berparas ayu, gerak-geriknya yang anggun dan mempesona, selalu bertutur kata dengan sopan, dan memiliki kepribadian yang sederhana. Panggilan namanya adalah Wana.
Gama telah mengejar cinta Wana dalam setahun terakhir. Dia telah jatuh hati kepada Wana setelah sering memperhatikan Wana membaca buku di depan halaman gereja. Setelah saling mengenal, dia semakin jatuh hati kepada Wana karena cara pandang hidupnya. Kedamaian merupakan suatu hal yang utama pencarian hidup Wana.
Namun demikian, Wana selalu menghindari Gama meskipun dia memiliki perasaan yang sama kepada Gama. Hubungan cinta antara Gama dan Wana memiliki kendala prinsip hidup yang mendasar yaitu perbedaan keyakinan. Gama merupakan seorang muslim, sedangkan Wana merupakan seorang katolik. Selain itu, Wana merupakan seorang Biarawati yang meimiliki komitmen untuk tidak menikah karena telah mengucapkan atau mendeklarasikan 3 kaul yakni kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan.
Pada siang itu, di bawah pohon Kamboja, Gama bertemu dengan Wana. Perasaan cinta selalu merekah setiap hari sejak pertama kali dia mengenal Wana. Di setiap pertemuan, mereka pasti saling bertukar surat. Setiap surat selalu bercerita tentang pengalaman, perasaan, dan diakhiri pertanyaan.
Gama bersikeras sangat ingin menikahi Wana, tetapi Wana selalu menolaknya. Wana selalu menolaknya dengan memberikan alasan sudut pandang mengenai Tuhan dan agama yang dia yakini. Dia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan ketuhanan.
"Apakah kamu masih berduka?" Gama bertanya kepada Wana. Seperti diketahui, Wana baru saja ditinggal pergi selamanya oleh Bapaknya sebulan yang lalu. Padahal Bapaknya merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. 10 tahun yang lalu Ibunya telah wafat terlebih dahulu karena sakit. Dan dia merupakan anak tunggal di keluarga kecilnya itu. Tinggal hanya kepada Tuhan lah saat ini tempat dia mengadu.
"Aku selalu baik-baik saja, Gama. Aku selalu ikhlas terhadap apapun yang terjadi di dalam hidupku. Terima kasih banyak atas perhatianmu." Wana menjawab pertanyaan Gama sambil mengalihkan pandangannya ke arah sembarang tempat. Gama tahu bahwa perasaan Wana pasti sangat terpukul sekali, tetapi dia selalu menampakkan ketegarannya kepada orang lain.