Mohon tunggu...
Tomy Saleh
Tomy Saleh Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Peminat macam2: agama Islam, knowledge management, human capital, learning & development, kopi, film, mafia, dll, dsb, dst...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lepas dari Cengkeraman Macet: Mungkinkah?

10 Agustus 2010   03:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:10 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_220389" align="aligncenter" width="500" caption="Kemacetan di salah satu ruas jalan di Jakarta (from: http://astradewi.wordpress.com)"][/caption] Sebagai warga ibukota Jakarta, mengalami kemacetan di jalan adalah hal rutin harian yang saya "nikmati". Mulai dari pagi buta hingga larut malam. Mulai dari hari kerja hingga hari libur. Mulai dari jalan protokol hingga jalan permukiman. Mulai dari jalan bebas hambatan hingga jalan dengan hambatan. Mobil mengular, selinapan sepeda motor, nyanyian caci maki pengendara, geraman mesin, parfum asap knalpot, dan kicauan klakson bersahutan adalah hal yang lumrah ditemui di jalanan Jakarta. Lepas dari pagar rumah, wajah masih teduh dan lurus. Tiba di gerbang kantor, wajah tampak kusam, asam, dan seram. Lepas dari gerbang kantor, di sore hari, wajah sudah kusut masai pusing oleh pekerjaan. Tiba kembali di pintu rumah dengan wajah yang semakin tak keruan. Kombinasi bising klakson, deru mesin, dan udara penuh asap buang di jalanan macet, sungguh sempurna dalam membentuk kepribadian dengan tingkat stress yang lumayan tinggi. Kemacetan di Jakarta sudah mulai tak masuk akal. Bahkan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, mensinyalir, kemacetan yang terjadi di Jakarta dari sisi ekonomi menimbulkan potensi kerugian hampir mencapai Rp 5 trilliun. "Kerugian itu ada yang mengatakan sampai Rp 5 trilliun," sebutnya (elshinta.com). Fantastis! Kemacetan telah mengurangi efisiensi dan efektifitas kehidupan warga Jakarta. Bagaimana kita bisa lepas dari cengkeraman kemacetan ini? Saran dari para ahli manajemen transportasi sudah amat banyak. Berbagai penelitian, seminar, dan kajian sudah dilakukan. Beberapa ikhtiar sudah pula dicoba (misalnya pembangunan busway), namun masih belum terlihat betul efektifitasnya. Saya sering membaca dan mendengar berbagai pendapat dari banyak pihak untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Berikut ini rangkumannya: 1. Pengguna jalan harus tertib dan disiplin. Ini adalah yang utama dilakukan. Sebelum meneriakkan protes kepada pemerintah atas kesemrawutan lalu lintas, sebelum mengeluh atas kemacetan di jalanan, sebaiknya kita mulai terlebih dahulu dari diri sendiri. Bagaimana akhlaq kita di jalan? Apakah kita suka main serabat serobot? Apakah kita patuh pada rambu dan lampu lalu lintas? Disiplinkan dan tertibkan dulu diri kita masing-masing, entah itu pengendara mobil, motor, sepeda, maupun pejalan kaki. Tahan dulu untuk "menghujat" pengguna jalan lain yang tidak tertib. Ambil dulu kaca cermin dan bercerminlah! Bagaimana dengan kita sendiri? Saya percaya jika kita ikhlas berakhlaq baik di jalan, tertib dan disiplin berlalulintas, insya Allah, kemacetan di jalan bisa (lumayan) dikurangi walaupun (mungkin) prosentasenya tidak begitu besar. 2. Perbaiki kualitas sarana angkutan umum yang sudah ada. Angkutan umum yang tidak berkualitas (tidak manusiawi) akan mengurangi minat masyarakat untuk mempergunakannya. Mereka akan beralih untuk memiliki dan mempergunakan kendaraan pribadi. Akibatnya jumlah kendaraan pribadi akan mengalami peningkatan yang signifikan. Jalanan pun akan semakin padat oleh kendaraan pribadi. Apalagi kini telah semakin mudah untuk memiliki kendaraan pribadi. Contohnya adalah sepeda motor (tanpa bermaksud mendiskreditkan para pengendara sepeda motor). Jumlah sepeda motor saat ini yang meramaikan jalan-jalan di Jakarta, menurut informasi dari Gubernur DKI Jakarta, telah mencapai angka 4 - 5 juta unit dan produksinya pun senantiasa meningkat. Kendaraan roda dua ini kini menjadi favorit warga kota karena harganya amat terjangkau dan dirasa cukup efektif untuk menerobos kemacetan (karena fisiknya yang jauh lebih kecil dari pada mobil). Kita tidak bisa menyalahkan warga yang ingin memiliki dan mengendarai kendaraan pribadi karena memang itu adalah haknya. Angkutan umum rendah kualitas lah penyebabnya. Salah seorang pengguna twitter pernah tweet pendapatnya (yang di-cc-kan ke akun twitter Gubernur DKI Jakarta, @bangfauzibowo) bahwa angkutan umum seharusnya berorientasi service dari pemerintah kepada rakyat, tapi yang terjadi kini adalah angkutan umum (banyak yang) jadi milik pribadi dan (melulu) berorientasi pada keuntungan (kejar setoran). Yang dikorbankan adalah kenyamanan penumpang. Mobil rombeng pun, asalkan masih bisa ngebut, tetap dipergunakan untuk mengejar pendapatan. Kualitas service tidak diperhatikan. Angkutan umum harus dikembalikan pada orientasi service. Perbaiki kualitas mobilnya. Yang ada saat ini sama sekali tidak manusiawi: kursinya banyak yang jebol dan tidak enak diduduki, jarak antar kursi amat sempit, besi pegangan tangan nyaris semuanya berkarat, pintu dan jendelanya juga berkarat, beberapa jendela bahkan tidak berkaca, emisi gas buangnya sangat parah mencemari lingkungan, dan sering pula kita temui mobil angkutan umum mogok di tengah perjalanan karena mesinnya rusak. Beberapa tahun lalu pemerintah sempat pula import bus bekas dari Jepang. Awalnya, meskipun bekas, mobil itu masih terasa kenyamanannya. Belakangan ini, mobil-mobil tersebut sudah "di-Jakarta-kan": kursi-kursi di dalamnya dibuat mirip kursi-kursi mobil bus rombeng yang sudah ada terlebih dulu. Jendela dan pintunya juga sudah banyak yang rusak. Belum lagi kita bicara mengenai kualitas service awak angkutan umum. Sudah menjadi pemandangan umum sehari-hari di Jakarta, jika awak angkutan umum melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sebut saja misalnya mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan, serabat-serobot, mengetem sembarangan, mengoper penumpang ke bus lain di tengah perjalanan, dan bus tidak sampai ditujuan akhir sesuai trayeknya. Ini semua terjadi karena mereka dibebani dengan target uang setoran harian. Wajarlah jika banyak warga Jakarta yang kini beralih mempergunakan sepeda motor atau mobil pribadi ketimbang mempergunakan angkutan umum yang tidak manusiawi. 3.  Tingkatkan kualitas service busway. Moda transportasi ini meniru apa yang telah diterapkan di Bogota, ibukota Colombia. Di jalan utama yang sudah ada, ditetapkan (dan diberi tanda atau batas) satu lajur khusus untuk lintasan bus. Di beberapa titik di sepanjang jalan itu dibuat pula sejumlah halte khusus. Bus-nya pun khusus. Awalnya, busway dibuat untuk mengurangi kemacetan di Jakarta karena dengan adanya lajur khusus (yang diharapkan menjamin kecepatan waktu tempuh) dan mobil busnya yang nyaman, diharapkan para pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke busway. Kenyataannya, lajur busway justru dipenuhi oleh berbagai kendaraan. Cita-cita luhur busway seolah kandas. Ia bernasib sama seperti kendaraan lainnya: dicengkeram kemacetan. Tapi baru-baru ini, Pemda DKI telah berkomitmen untuk membersihkan lajur busway ini dari kendaraan lain selain bus Trans Jakarta. Kendaraan lain yang melintas di lajur busway akan ditilang. Data terakhir (9 AGustus 2010) sudah ditilang 6000 lebih kendaraan yang melintas di lajur busway. Waktu tempuh busway pun lebih cepat 20%. Ini cukup menggembirakan. Semoga Pemda DKI konsisten untuk menjaga agar lajur busway ini tetap bersih dari kendaraan lain. Kemudian, hal penting lainnya adalah perlunya penambahan armada bus Trans Jakarta. Bus yang kurang akan menyebabkan penumpang berjubel di satu bus. Ini amat mengganggu kenyamanan. Masalah timing juga perlu menjadi perhatian penting. Selama ini masih banyak yang mengeluhkan jadwal busway yang tidak jelas. Terkadang harus menunggu di halte selama sepuluh menit, kadang ada pula yang menunggu hingga satu jam lamanya. Yang juga kini mendapat sorotan adalah masalah keamanan bus. Sudah terjadi beberapa kali kasus pelecehan seksual terhadap penumpang wanita. Beberapa pelaku pelecehanpun ditangkap. Pengamanan perlu ditingkatkan. Wacana busway khusus wanita pun mengemuka. Namun yang kini baru direalisasikan adalah upaya atau himbauan untuk memisahkan tempat wanita dan pria di dalam bus. Dengan peningkatan kualitas service busway ini, semoga akan semakin banyak pengguna kendaraan pribadi yang mengurangi frekuensi pemakaian kendaraan pribadinya dan beralih ke busway. 4. Perbaikan kualitas jalan. Jalan yang berlubang sana sini jelas mengurangi kenyamanan berkendara. Kecepatan pun berkurang, akibatnya macet. Selain itu, jalan berlubang juga berpotensi mencelakakan para pengendara. 5. Pembangunan MRT. Seorang kawan yang pernah tinggal di Singapura bercerita bahwa dia agak terkejut dengan suasana jalan di Singapura yang tidak padat selama jam sibuk di hari kerja. Bahkan cenderung lengang. Rupanya, warga Singapura lebih memilih mempergunakan MRT (Mass Rapid Transportation) dari pada kendaraan pribadi. MRT yang berupa kereta listrik di bawah tanah (subway) jauh lebih cepat (bebas hambatan), nyaman, dan ada kepastian jadwal serta menjangkau begitu banyak lokasi di Singapura. Efektifitas MRT memang telah teruji dan diakui. Akan tetapi pembangunan MRT di Jakarta adalah sebuah solusi kemacetan yang amat mahal. Setidaknya empat point pertama adalah solusi kemacetan yang relatif lebih murah dan mudah untuk dimulai, karena memang modalnya sudah ada. Sekarang tinggal bagaimana masing-masing kita untuk mewujudkan jalanan Jakarta yang nyaman dan aman. Ini kewajiban kita semua, rakyat dan pemerintah. Tomy Saleh. Kalibata. 10 Agustus 2010. 10:00WIB

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun