“…korupsi telah menjadi seni dan bagian dari budaya bangsa Indonesia”, ucap Bung Hatta pada pidato dengar pendapat dengan komisi IV tahun 1970.
Sepertinya (sudah dari dulu) Bung Hatta telah sangat sadar bahwa korupsi adalah masalah krusial dan penting untuk terus menjadi bahan renungan seluruh elemen bangsa. Bukan tanpa alasan, karena korupsi makin mudah ditemukan, terstruktur, dan menular.
Sebut saja, misalnya, kasus korupsi birokrasi pemerintahan, kepolisian, kasus suap di kejaksaan dan pengadilan, kasus mafia Banggar DPR, yang semuanya telah membangkitkan keprihatinan banyak pihak. Terakhir, dan yang paling mengejutkan adalah laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang PNS muda yang memiliki rekening hingga miliaran rupiah yang diduga berasal dari hasil yang tidak wajar.
Fakta-fakta itu membuat kita semakin yakin bahwa sepertinya korupsi “benar-benar” sudah mendarah daging yang menjadi bagian dari budaya bangsa ini. Jika demikian, maka dapat ditarik suatu asumsi yang pantas, bahwa itu (tentunya) telah “hidup” cukup lama dan mewujud sebagai produk kebudayaan yang “diwariskan” secara terus-menerus.
Masa lalu yang penting
Perlu ditekankan bahwa korupsi—terlepas itu baik atau buruk—adalah masalah manusia yang ada sejak dulu. Itu muncul ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, dan kemudian terdorong oleh hasrat melakukan penguasaan atas sumber daya alam dan wilayah bagi kepentingan kelompok tertentu yang sudah pasti ditujukan untuk bertahan hidup di tengah-tengah persaingan yang makin rumit.
Pada sejarah kebudayaan besar yang ada, juga tidak luput dari “warna-warni” korupsi. Di India, misalnya, korupsi telah mewujud menjadi permasalahan serius sejak ribuan tahun yang lalu sebagaimana yang dapat kita temukan dalam tulisan perdana menteri Chandragupta tentang 40 cara mencuri kekayaan negara. Selanjutnya, China pernah mencatatkan sejarah kelam perilaku koruptif. Lihat, misalnya, investigasi Sterling Seagrave yang mengungkap cerita penghianatan, pembunuhan, keberanian, kekejaman, dan korupsi dalam jaringan kongsi yang rumit. Di sana, kita dapat membaca bagaimana tradisi penyuapan bersatu dengan intrik-intrik politik demi meloloskan kepentingan tertentu.
Sebagaimana di India dan China, cerita lama Indonesia juga tidak luput dari sejarah kelam korupsi. Itu bahkan telah dimulai jauh sebelum bangsa dan negara yang bernama Indonesia disepakati sebagai kontrak sosial-politik bangsa-bangsa di dalamnya. Sebut saja, misalnya, tradisi “upeti” pada jaman kekuasaan kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram. Tidak heran jika kerajaan-kerajaan itu hancur karena korupsi.
Tiba-tiba berubah
Dalam 20 tahun terakhir, dunia memandang korupsi sebagai masalah yang krusial. Korupsi tidak dipandang hanya sekadar soal moralitas, tapi juga terkait dengan faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pandangan ini, kemudian, memunculkan kesungguhan bangsa-bangsa di dunia untuk melawan korupsi habis-habisan. Optimisme pun hadir yang memunculkan semangat dan keyakinan bahwa perang melawan korupsi adalah sesuatu yang dapat dimenangkan.
Komitmen itu, secara tiba-tiba, membuat sebuah wilayah yang tadinya sangat miskin, kelaparan, menderita berbagai penyakit, serta korupsi yang menjamur, kemudian, mampu bangkit serta mewujud menjadi penentu konstelasi ekonomi-politik dunia yang penting. China dan India yang sebelumnya adalah negara dengan tingkat kemiskinan tinggi, masalah kesehatan yang mengkhawatirkan, serta korupsi yang masif, kini berubah menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan.