Paling muak kalau dengar alasan bahwa politik itu dinamis untuk membenarkan sikap mencla-mencle bahkan cenderng kontradiktif, apa yang dikatakan pada masa lalu berbeda dengan yang dikatakan sekarang, isuk dele sore tempe, menjilat kembal ludah yang sudah dibuang.
Masih jelas dalam ingatan pada saat PilgubDKI 2012 yang lalu, pada putaran pertama, seorang cagub mengatakan jangan pilih cagub A karena sudah sudah terang-terangan dilaporkan ke KPK oleh wakilnya". Tapi hanya beberapa waktu kemudian, di putaran kedua, si cagub ini, yang tidak masuk putaran kedua, malah mendukung cagub A. Saat itu saya menulis tentang sikap isuk dele sore tempe si cagub dan partainya, bisa dibaca di sini.
Partai yang sama kembali menunjukkan sikap yang sama dalam pilpres kali ini. Beberapa bulan yang lalu, jubir partai tersebut menyebut 2 kandidat capres bukan berasal dari rahim umat (istilah apa pula ini?) sehingga partai tersebut tidak akan mendukung kandidat2 capres tersebut.
"Kita suka sama Jokowi, kita juga welcome sama Prabowo, tapi mereka tidak lahir dari rahim umat," kata Jubir PKS, Mardani Ali Sera, kepada detikcom, Selasa (22/7/2013). Sumber berita.
Tapi setelah pileg dan ternyata suara partai mereka sangat jauh di bawah target 3 besar, dan susah mencari partai untuk berkoalisi, mereka lupa dengan pernyataan sebelumnya, dan mendukung capres yang dikatakan bukan lahir dari rahim umat bahkan memuji-muji bahwa capres tersebut pantas menjadi presiden apalagi kalau cawapres adalah salah satu dari 3 kader partai mereka, yang awalnya ditargetkan menjadi capres dengan target 3 besar.
Isu berbau SARA terhadap Jokowi pada pilgub DKI 2012 yang mempertanyakan agama Jokowi dan kedua orang tua Jokowi yang dicurigai tidak beragama Islam , juga tidak berlaku bagi capres yang saat ini mereka dukung, padahal jelas sekali capres yang saat ini mereka dukung  faktanya memiliki ibu dan adik yang tidak beragama Islam.
Kalau perubahan sikap tersebut dikatakan sebagai dinamika politik, berarti politik sama dengan mencla mencle, tidak punya ada etika, atau mungkin memang benar yang dikatakan Nicollo Machiavell, bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Untuk tujuan jabatan, prinsip yang sebelumnya dipegang teguh, bisa dilanggar, ludah yang sudah dibuang bisa dijlat kembali. Kalau dalam politik bisa bersikap mencla mencle, berubah-ubah sesuai kepentingan sesaat seperti itu dengan mengabaikan prinsip dasar yang selalu digembar-gemborkan, itu lebih tepat disebut oportunis, bukan dinamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H