Seringkali Jepang diidentikan dengan kemodernan & hi-tech karena memang hampir sebagian besar merek-merek elektronika dunia berasal dari sini. Setelah mengunjungi Akihabara, rasanya saya harus mengatakan setuju dengan pendapat tersebut. Akihabara bisa disebut sebagai sebuah electronic town karena hampir semua produk elektronik mutakhir Jepang bisa ditemukan di ratusan toko besar dan kecil di puluhan jalan dan lorong di sana.
Bicara masalah teknologi, paling mudah kita berbicara tentang teknologi komunikasi berbasis mobile selular seperti handphone (HP) karena sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Untuk urusan ini bisa dibilang HP sudah jadi barang primer di Jepang. Di tempat tinggal sementara saya sekarang, Tokyo, aneka gadget jadi tentengan hari-hari Tokyoites saat di kereta, sambil makan atau bahkan berjalan. Selalu terhubung satu sama lain memang jadi ciri masyarakat modern kota besar, termasuk di negara kita yang kota-kota besarnya makin maju dan modern.
Tapi sayangnya untuk urusan komunikasi, saya "kurang setuju" kalau Jepang diidentikan dengan kemudahan & kecepatan. Dan rasanya Indonesia jadi lebih unggul atau tepatnya mungkin jauh lebih "liberal" di dibandingkan negeri sakura ini. Saya beranggapan demikian karena punya cerita & pengalaman betapa ribetnya untuk punya nomor HP baru di Tokyo. Enak dong komunikasi di Indonesia? Iya sih tapi...
Saya inget betul gampangnya gonta-ganti nomor HP dan berpindah-pindah dari satu mobile carrier ke yg lainnya di Indonesia. Asal ada promo ditukar deh ke nomor baru, sehingga kadang seorang teman punya banyak nomor dan akibatnya bingung nomor mana ya yang terakhir masih aktif.
Di Jepang aturan kepemilikan nomor HP sangat tegas dan mengagetkan saya ketika pertama datang dan butuh alat komunikasi. Beli nomor HP tidak seperti beli kacang goreng yang harganya bisa cuma Rp. 5000 seperti di Indonesia. Sebenarnya bukan masalah harga yg mau saya bandingkan di sini tetapi lebih ke proses atau prosedurnya.
Peraturan kepemilikan nomor telepon/HP di Jepang tidak membolehkan anak di bawah usia 15 tahun punya nomor HP sendiri sehingga administrasi pendaftaran nomor harus melalui orang tuanya. Dengan demikian orang tua bertanggungjawab mengawasi pemakaian telepon putra-putrinya. Saat mengajukan aplikasi pembelian nomor telepon, kita diharuskan membawa KTP (kartu identitas) dan kartu kredit/buku bank. Tanpa kedua dokumen itu mustahil kita memperoleh nomor telepon baru. Andaikan sudah lengkap pun, kita masih hrs menunggu pembuatan surat kontrak. Selama menunggu tersebut (seingat saya lebih dari 3 jam) mereka akan mengecek track record kita ke berbagai database yg semua sistemnya telah terhubung secara elektronik. Pernah ada cerita tentang seorang teman mahasiswa yang ditolak saat mengajukan aplikasi. Usut punya usut ternyata beberapa tahun lalu ybs belum menyelesaikan kewajiban penutupan/pembayaran kontrak. Sehingga ketika kembali ke Jepang untuk studi lanjutan mengalami masalah tsb.
Ketika saya harus menjalani semua proses tersebut sempat jengkel juga karena rasanya kok ribet banget. Saat itu mindset saya masih dibingkai kondisi tanah air. Tapi jika direnungkan ke berbagai aspek, saya sekarang malah jadi pro sistem tsb....nah lho!
Yap...bersakit-sakit dahulu, aman seterusnya. Saya kira faktor keamanan negara perlu menjadi pertimbangan otoritas komunikasi dan informasi di Indonesia. Banyaknya kasus teroris, penipuan dan bahkan korupsi akan lebih bisa ditekan atau lebih mudah diungkap jika sejak awal masalah keamanan berkomunikasi dipertegas. Memang kebijakan tersebut bisa jadi kurang berpihak ke para pebisnis komunikasi yang gencar berpromosi. Ataupun kita sebagai konsumen yang pingin cepat-cepat berkomunikasi. Tapi bagaimanapun juga kemaslahatan masyarakat dan negara harus lebih diutamakan.
Menurut pendapat saya, ada beberapa hal penting dari penerapan sistem ini yakni :
1. Diperolehnya database kepemilikan nomor telepon yg valid sehingga  sangat berguna untuk kepentingan keamanan negara dan data penduduk
2. Mempersulit pihak yang berniat jahat saat membeli nomor untuk berbuat kriminal seperti memeras, mengancam, menipu, negoisasi dalam tindak korupsi atau mengkoordinir jaringan teror. Selama ini dengan kemudahan yang ada membuat mereka dengan mudahnya membeli nomor dan bisa langsung dibuang begitu saja ke tempat sampah untuk menghilangkan jejak
3. Mendidik masyarakat untuk taat dan patuh hukum serta bertanggungjawab atas semua tindakannya
Intinya saya melihat banyak manfaat dibandingkan mudharatnya (misalnya nunggu yg agak lama...). Saya kira, kebebasan tidak sama dengan ketidakteraturan. Boleh bebas berkomunikasi tapi tetap ikut aturan dan tidak bisa seenaknya. Bagi yang merasa terbatasi tentu jadi tanda tanya, kenapa harus takut kalau benar. Saya menilai bahwa semakin maju bangsa justru memiliki tingkat dan sistem keamanan yang lebih ketat. Karena di situlah peran negara untuk memberikan rasa aman bagi orang banyak dan bukan melindungi "kebebasan" siapa pun yg berniat buruk memanfaatkan kelemahan sistem yang ada. Sebagai penyeimbang maka negara berkewajiban mengamankan data tsb dari pemanfaatan yang melanggar ketentuan dan hak privasi masyarakat. Sehingga kasus penyadapan ilegal yang terjadi akhir-akhir ini di Amerika Serikat tidak boleh terjadi di tanah air.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H