Mohon tunggu...
Tommy Wiryawan
Tommy Wiryawan Mohon Tunggu... -

Anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Utopian dan Realis Pemberantasan Korupsi

8 Juni 2012   22:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:13 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pertama berkenalan dengan istilah tersebut saya mendapati kesan bahwa seorang utopian cuma memikirkan hasil akhir dan tidak mempertimbangkan apakah realistis atau tidak untuk mencapainya. Dan sebaliknya seorang realis cenderung untuk berpikir pragmatis dan kadang terjerat pada realita lapangan yang silih berganti mengikuti situasi yang berkembang. Mana yang lebih baik? Saya dari awal tidak percaya di dunia nyata ada orang yang murni utopian atau realis. Seorang manusia dalam perjalanan hidupnya akan terus berdialog dengan dirinya sendiri diposisi keseimbangan mana dia saat ini. Oleh karena itu saya berkeyakinan yang terbaik adalah mencari level yang proporsional diantara dua kutub pemikiran tersebut.

Pemberantasan korupsi adalah mimpi besar bangsa kita karena prilaku korupsi rasanya sudah memenuhi sekat-sekat udara yang kita harus hirup setiap hari. Kita mungkin bisa mengelak secara lisan tetapi nyatanya masih terhirup juga sengaja maupun tidak. Bicara mimpi berarti berkaitan dengan utopianisme. Ada contoh menarik tentang seorang utopian yakni ketika seorang ahli kimia di abad lima belasan bermimpi untuk mengubah logam biasa menjadi logam mulia. Mungkin atau tidak itu urusan kedua, targetnya adalah emas dan untuk itu logam biasa harus beradaptasi. Jujur saya kurang paham ilmu tentang materi tapi rasanya ada hukum-hukum alam yang sudah hampir pasti tentang perubahan materi. Tapi menjadi utopian dan bermimpi mengubah prilaku manusia yang bermental koruptif menjadi jujur apakah menjadi hal yang mustahil? Untuk ini saya kira agak berbeda penelaahannya dengan contoh di atas. Ini disebabkan fakta bahwa manusia bukan benda mati seperti logam. Dan Allah sejatinya menciptakan manusia dalam kondisi hanif atau cenderung kepada kebaikan.

Pandangan masyarakat kita saat ini terhadap pemberantasan korupsi condong ke arah pemikiran kaum realis. Mulai kehilangan harapan karena silih berganti ditayangkan drama penangkapan kasus-kasus korupsi. Kita selalu tersibukan dengan membahas kasus per kasus yang lama-lama justru menurunkan semangat dan kepekaan kita. Dalam hukum ekonomi ada hukum law of diminishing return alias makin turun intensitasnya setelah mencapai titik kulminasi tertentu. Yang lebih dikuatirkan adalah terjerembab ke pemikiran deterministik yang tercermin dari ungkapan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa kita. Kalau sudah begitu hilanglah harapan, terbayang suramnya masa depan dan tersilaplah potensi besar bangsa ini.

Tapi sebagaimana keyakinan saya di awal, kita harus menjaga level diantara dua sisi pemikiran tersebut. Menjadi utopian murni yang hanya bisa bermimpi tanpa memiliki strategi ketika realitas di lapangan berubah, akan membawa mimpi kita tetaplah jadi bunga tidur yang indah. Namun tanpa harapan dan mimpi, kita akan kehilangan tenaga ketika realita harus kita terima apa adanya sebagai bagian dari keadaan absolut yang membuat kita berputus asa untuk mengubahnya. Bangsaku ini terlalu besar untuk tersungkur oleh pandangan tanpa harapan demi keluar cita-cita pemberantasan korupsi. Virus yang menyebarkan pesimistis, seperti kata Pak Dahlan Iskan, harus divaksinasi dengan semangat serta strategi pemberantasan korupsi yang konsisten dan didukung seluruh masyarakat.

Media perlu secara gencar menjaga asa pemberantasan korupsi di negara kita, namun disisi lain wajib hukumnya menjadi bagian solusi membangkitkan optimisme untuk itu. Kamera harus diarahkan pada pembentukan opini tentang strategi besar pemberantasan korupsi dan bukan berkubang pada kasus per kasus yang saya kira sampai kapan pun akan tetap ada selama janji setan kepada Allah untuk membisiki kejahatan di hati manusia masih tetap berlaku. Kasus penangkapan oknum petugas pajak oleh KPK terakhir ini harus dilihat dari sudut sorotan yang berbeda. Media harus lebih cerdas dan kritis memberitakannya dan tidak sekedar terbelenggu pada pertanyaan yangsama dari satu kasus ke kasus yang baru. Penangkapan kemarin selayaknya diberi apresiasi dan memberikan optimisme pada pemberantasan korupsi karena itu dilakukan sebagai bagian dari strategi pemberantasan korupsi di Ditjen Pajak untuk secara sistematis membersihkan institusinya. Kerjasama dengan KPK untuk menangkap oknum petugasnya sendiri adalah terobosan besar yang belum terlalu banyak dilakukan institusi pemerintahan di negeri ini. Termasuk di dalamnya adalah strategi whistle-blowing dimana siapapun (sesama petugas, Wajib Pajak atau masyarakat umum) dapat menginformasikan indikasi tindak penyelewengan yang akan atau sedang dilakukan. Tentunya dengan mekanisme tertentu agar terhindar dari fitnah serta laporan yang mengada-ada.

Kiranya masyarakat perlu diajak untuk lebih komprehensif menyikapi kasus terakhir ini dan media punya peran besar di situ. Ketika suatu institusi yang mulai menuai hasil dari upaya bersih-bersihnya justru disudutkan, ini akan menjadi insentif yang buruk bagi institusi lain yang ingin berbuat sama. Implikasinya mereka yang ingin tetap bernostalgia dengan pola perilaku usang dan koruptif seperti mendapat bonus dan berlindung pada opini kegagalan pemberantasan korupsi di institusi yang menjadi pionir tadi. Kejenuhan kita untuk menuai hasil dengan segera dalam pemberantasan korupsi jangan menyurutkan langkah kita untuk terus maju ke depan. Justru langkah-langkah strategis yang mulai membuahkan hasil diberi pupuk yang lebih banyak dan jangan malah cepat-cepat diambil kesimpulan untuk ditebang. Kiranya upaya yang konsisten pasti akan mengkokohkan akarnya dan merindangkan dahan-dahannya sehingga menjadi tempat berteduh yang menyejukan di tengah terik prilaku koruptif.

Terakhir, saya hanya ingin mengatakan bahwa sebagai anak bangsa, saya harus lebih optimis dari profesor atau rekan-rekan saya yang notabene bukan orang Indonesia, dalam memandang Indonesia dengan segala potensi untuk berkembang dan sukses di masa depan. Mungkin anda akan bilang tahu apa mereka, tapi percayalah kadang pihak luar lebih jernih melihat kondisi sesuatu seperti halnya akan lebih mudah melihat jalan keluar dari sebuah labirin yang berliku-liku dari atas pesawat terbang daripada mencarinya ketika kita berada di dalamnya.

Semoga bermanfaat.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan mewakili Ditjen Pajak.

Tommy Wiryawan

Pegawai tugas belajar Ditjen Pajak

di Waseda Univesity Tokyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun