Saat demo untuk menurunkan presiden Jokowi pada 20 Mei yang lalu, ada sekelompok pendemo yang menamakan dirinya KAMMI, membawa spanduk dengan 5 tuntutan, salah satunya adalah “Lindungi hak pribumi dari kepentingan asing dan aseng.”
Yang menggelitik adalah kata “aseng”. Lucunya, mereka yang menamakan mahasiswa tapi tidak mengerti kata “aseng” jadi terkesan jadi pendemo bayaran, pendemo bodoh, asal demo yang penting dapat makan nasi bungkus. Hahahaha.
“Aseng” adalah plesetan untuk panggilan nama orang China. Dan jelas konotasi dalam kata-kata dari salah satu tuntutan itu adalah agar pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi harus berani melindungi hak pribumi dari kepentingan asing dan China. (Memang China bukan asing ya...)
Masalah pribumi dan non pribumi memang sudah menjadi isu yang berpotensi SARA jika tidak ditangani dengan tepat dan benar. Dikotomi pribumi dan non pribumi Ini sudah terjadi sejak zaman orde baru, khususnya sejak Soeharto menjadi presiden RI ke-2 menggantikan Soekarno.
Mari kita sejenak menengok ke belakang di era Soeharto. Tidak ada satu pun orang pemerintahan atau di jajaran menteri yang berasal dari etnis China, kecuali mereka yang sudah menjadi mualaf. Dia adalah Mohammad Bob Hasan alias The Kian Seng (1), yang menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian di era Soeharto.
Berbeda dengan era Orde Lama, di zaman presiden Soekarno. Ada beberapa menteri yang berasal dari etnis China, misalnya Oei Tjoe Tat (2), salah satu Menteri Negara di Kabinet Dwikora era Soekarno.
Ini karena di zaman Soeharto, etnios China dilarang bermain di bidang politik dan pemerintahan. Mereka hanya boleh di bidang ekonomi saja alias berdagang atau berbisnis dan hasil usahanya untuk kemakmuran bangsa dan negara. (Jitu juga strategi Soeharto).
Keterbukaan mulai terjadi di bumi Indonesia sejak dipimpin oleh presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan dilanjutkan oleh presiden Megawati Soekarnoputri.Sebut saja Kwik Kian Gie, Marie Elka Pangestu, dan lainnya.
Tidak bisa kita pungkiri dan harus kita akui bahwa etnis China di seluruh dunia kecuali negara dengan mayoritas etnis China seperti Singapura dan RRT itu sendiri, adalah raja di bidang ekonomi, dan olah raga khususnya kawasan Asia. Banyak perusahaan dan industri dimiliki oleh konglomerat beretnis China. Pahlawan olah raga pun berasal dari etnis China, contoh Liem Swie King, Verawati Fadjrin (mualaf), Ivana Lie, Susi Susanti, Alan BK, Rudi Hartono, dan masih banyak lagi.
Di bidang ekonomi, pemerintah RI merangkul para pengusaha etnis China karena dianggap hebat dalam mengelola usaha, dan itu dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengembangkan usaha dalam negeri, dan tentu saja agar investasi tidak lari ke luar negeri.
Tapi di bidang olah raga, etnis China seakan dianaktirikan oleh pemerintah Indonesia. Buktinya, berapa banyak atlet bulu tangkis yang menjadi ikon dunia. Mereka mengharumkan nama Indonesia, tapi apa yang mereka dapat? Apa yang didapat Rudi Hartono? Liem Swie King? Untuk sekedar mendapat pengakuan “WNI” pun susah. Contohnya, Hendrawan, sampai presiden Megawati turun tangan untuk menjadikan seorang Hendrawan sebagai Warga Negara Indonesia. Bandingkan dengan Icuk Sugiharto. Menjadi juara dunia bulu tangkis sekali saja, pemerintah memberikan “hadiah” rumah, dan fasilitas lainnya. Diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya.