Entah apa yang ada di pikiran bocah-bocah itu. Tidak ada mainan yang akan mereka mainkan. Tidak ada alas kaki untuk mereka gunakan. Tidak ada senda gurau yang akan mereka dengarkan. Mereka tidak bisa berlarian layaknya anak seusia mereka. Mereka berlarian dari bom demi bom yang dijatuhkan. Permainan mereka adalah mencari jalan keluar dari bangunan runtuh yang menimpa mereka. Permainan mereka adalah menghindar dari bom yang memiliki daya ledak untuk menghancurkan segala sesuatunya dalam radius ribuan meter.
Miris melihat kondisi mereka di sana, sementara di belahan dunia lain anak-anak seusia mereka sibuk bermain sepeda, bermainan ayunan dan menikmati taman bermain yang asri. Miris melihat kondisi mereka, sementara di belahan dunia lain anak-anak usia sekolah malah sibuk tawuran, menghabiskan ratusan ribu uang Ayah Ibunya untuk mengobati luka yang disebabkan ulah mereka sendiri.
Entah apa yang terjadi di Timur Tengah sana, tapi menarik pembantaian tersebut ke arah agama juga tidak sepenuhnya bisa diterima logika. Apakah bom-bom itu mengetahui mana bocah yang muslim, kristiani dan atheis ? Apakah peluru itu mengenal kepala yang berisikan Al-Quran, Injil, Weda atau kitab lainnya ? Setahu saya tidak. Memperparah keadaan tidak satupun pemimpin dunia yang katanya mendukung perdamaian bersuara. Apakah mereka terlalu sibuk untuk memonopoli harga minyak, dan sibuk menjatuhkan pemerintahan di negara lain yang sulit untuk mereka ajak berkerja sama ?
Suriah dan Palestina telah menjadi tempat bersejarah dimana anak-anak kecil dibantai sedemikian rupa. Apakah itu resiko perang ? Ini bukanlah perang sama sekali. Perang memiliki tembak-menembak. Tidak ada tembak menembak di sana, yang ada hanyalah penembakan. Itu bukan perang, itu pembantaian !!!
Hidup di Indonesia membuat saya tersadar, bahwa saya dan juga banyak yang lainnya mungkin termasuk ke dalam golongan yang tidak tahu diuntung. Bisa bersekolah dengan aman dan damai malah menciptakan perang sendiri dengan tawuran. Bisa menabung dan membantu sesama, malah lebih memilih membeli minuman seharga 2 juta per botol, sementara di bagian lain di dunia ini, anak-anak itu meminum air kencing mereka sendiri untuk bertahan hidup. Tidak ada sekolah yang akan mereka datangi, yang ada hanya reruntuhan bangunan yang telah memakan keluarga mereka.
Tahu apa bocah-bocah itu tentang politik, hubungan internasional, hegemoni kekuasaan, syiah, sunni dan lain-lain. Tahu apa mereka ? Tapi mereka telah menanggung sebuah hidup dari hal-hal yang bahkan belum pernah mereka dengar sekalipun. Percuma berbicara mengenai disneyland kepada bocah-bocah itu, mereka bahkan tidak mengenalnya, lebih jauh mereka mungkin menganggap itu nama sebuah roti. Â
Melalui tulisan ini saya hanya mengajak, berilah perhatian kepada bocah-bocah yang bersimbah darah, berselimutkan debu dan mesiu di belahan dunia lain itu. Persetan dengan agama kita semua, toh kita juga tidak tahu agama anak-anak yang sudah menjadi bangkai itu. Sayang sekali jika hidup cukup lama hanya untuk melihat bocah-bocah putih bersih itu robek, hancur dan tertimbun diiringi tangis Ayah ibunya, saudaranya dan semua orang-orang yang merasa begitu pilu. Tidak mungkin menyalahkan Tuhan, walaupun saya cukup bertanya-tanya.
Baik jika bisa ikut membantu mereka. Kalaupun tidak bisa membantu, baik untuk sadar diri, bahwa terkadang secangkir teh hangat adalah sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh bocah-bocah yang berada di belahan bumi lain. Wassalam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H