Mohon tunggu...
Tommy TRD
Tommy TRD Mohon Tunggu... Penulis - Just a Writer...

Jumpa juga di @tommytrd

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kiprah IPDN untuk Indonesia (Jilid III)

12 April 2016   11:49 Diperbarui: 12 April 2016   12:03 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjznbXZoojMAhViHqYKHR7fAzgQjB0IBg&url=http%3A%2F%2Fwww.tribunnews.com%2Fnasional%2F2012%2F12%2F15%2Fmendagri-tantang-lulusan-ipdn-bersaing-dengan-alumni-ui&psig=AFQjCNEkazmKN0-9AiwEgp3L0n3qbt6Alw&ust=1460522011889772"]Sebagai lanjutan dari tulisan saya sebelumnya, sekaligus sebagai penutup dari trilogi tulisan dengan judul “Kiprah IPDN untuk Indonesia”, maka pada tulisan ini saya akan mencoba menjelaskan mengenai pandangan-pandangan saya yang mungkin belum bisa saya sampaikan dengan baik pada dua tulisan sebelumnya (Kiprah IPDN untuk Indonesia I dan Kiprah IPDN untuk Indonesia II)

Ada yang mungkin salah menangkap maksud dan tujuan dari dua tulisan saya yang pertama. Sehingga menimbulkan komentar-komentar yang sebenarnya sedikit lari dari konteks yang dimaksudkan pada tulisan itu. Ada yang menganggap popularitas adalah maksud utama dari tulisan tersebut, padahal tidaklah demikian. Hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia ini pasti membutuhkan konsistensi untuk tetap bertahan. Namun butuh lebih dari sekedar konsistensi stagnan untuk maju.

Jika kita berkaca pada sejarah mungkin puluhan tahun yang lalu, kita bisa menarik sebuah garis curva yang bisa dikatakan menurun. Bagaimana tidak, jika dulu lulusan APDN hampir dipastikan menjadi Camat, tidak demikian pada zaman ini. Bahkan saking jelasnya sebuah pola karir dulu, masyarakat umum mengatakan APDN dengan sebutan “Sekolah Camat”. Setelah menjalani karir sebagai Camat juga tidak sedikit alumni APDN yang kemudian menduduki jabatan sebagai Sekda, Walikota, Bupati bahkan Gubernur. Untuk Sumatera Barat sendiri ada nama-nama seperti Rusdi Lubis, Aristo Munandar, Syamsu Rahim, Syahiran. Di Jawa Barat kita mengenal Danny Setiawan, dan mungkin masih banyak lainnya. Sekarang ? Masihkan IPDN dikenal dengan sebutan “Sekolah Camat”, mungkin masih, tapi apakah demikian faktanya di lapangan ?

Kemudian terkait daya tawar politik yang saya tuliskan sebelumnya, apakah saya menuliskan itu dikarenakan saya korban politik ? Bisa jadi, tapi apakah saya satu-satunya ? Coba lihat Depok pada suatu masa kepemimpinan Walikota yang berasal dari partai politik. Saya mungkin korban politik, sebagaimana politik juga pernah menguntungkan saya, jadi saya anggap itu hal yang wajar saja alias 0-0. Bagi alumni yang tidak pernah diuntungkan secara politik namun menjadi korban politik ?

Saya tidak mengatakan alumni harus ngartis, tidak sama sekali. Tapi mungkin sebaiknya kita sadari bersama bahwa daya tawar yang kuat hanya bisa dimiliki melalui daya tawar politik itu sendiri. Ingat ketika Polri dipisahkan dari TNI, dan banyak wacana mengatakan bahwa Polri akan diletakan di bawah Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM, apa yang terjadi ? Polri justru berhasil berdiri sendiri, yang mana mendatangkan banyak hal positif untuk lembaga mereka. Baik dari pembinaan personil ataupun profesionalitas kerja. Sehingga cukup banyak perwira tinggi Polri yang kemudian menduduki jabatan eselon I di Kementerian lain. Apakah itu mungkin terjadi tanpa memiliki daya tawar yang tinggi di kancah nasional ?

Ada yang menganggap tulisan saya yang sebelumnya justru sebagai bentuk ketidak pedulian saya kepada adik-adik Praja yang masih menempuh pendidikan di IPDN saat ini. Apakah itu tidak keliru ? Bukankah saya menulis tulisan ini dikarenakan bentuk kepedulian saya kepada almamater saya ? Jika dulu banyak alumni pendidikan kepamongan ini yang menjadi kepala daerah, sekarang untuk menjadi Camat saja pun harus “kalah” bersaing dengan orang-orang yang basic ilmunya non pemerintahan. Artinya apa ? Telah terjadi degradasi lulusan pendidikan tinggi kepamongan itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan alumni pendidikan tinggi kepamongan pada suatu saat hanya akan sampai pada tingkatan Lurah, dan “Sekolah Camat” akan berubah nama “Sekolah Lurah” dan bukan tidak mungkin mengalami degradasi yang lebih jauh.

Apakah itu karena kualitas lulusan yang menurun ? Belum tentu. Namun memang lulusan pendidikan tinggi kepamongan saat ini harus berhadapan dengan sebuah mekanisme “pasar bebas”, yang tidak dihadapi oleh lulusan perguruan tinggi kedinasan lainnya. Dengan cipta kondisi yang seperti itu, maka benar jika IPDN harus berpikir beberapa langkah lebih maju dari perguruan tinggi kedinasan lainnya, karena memang alumni IPDN menghadapi rimba persaingan yang lebih besar. Di samping itu masih bisa kah kita mengabaikan faktor eksistensi di tingkat nasional ?

Terakhir kita baru saja kehilangan salah satu alumni pendidikan tinggi kepamongan yang sangat kita banggakan bersama, Bapak Muhammad Sani, sehingga semakin menggerus kehadiran alumni yang mampu bertindak sebagai Ayah dan panutan bagi banyak alumni pendidikan tinggi kepamongan. Salam duka kita sampaikan atas kepergian beliau. Semoga akan hadir penerus-penerus Bapak Muhammad Sani di masa yang akan datang, dimulai dari Boven Digul. Salam hormat untuk semua alumni di tanah air, terkhusus untuk Purna Praja Angakatan XVI yang akan melaksanakan reuni dalam waktu dekat. Salah dan janggal mohon maaf. Wassalam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun