Panjang karir saya sebagai birokrat lebih kurang sama dengan masa Agus Yudhoyono mengabdi sebagai prajurit militer aktif, 16 tahun. Dalam rentang itu pula saya bekerja untuk banyak kepala daerah, kepala OPD atau pejabat eselon yang menjadi atasan saya. Dalam 16 tahun karir itu pula saya bekerja di bawah kepemimpinan 3 Walikota, 1 Bupati, dan 1 pejabat eselon kementerian.
Dari pengalaman 16 tahun itu saya melihat banyak karakter dan kualitas kepemimpinan dari kepala daerah. Ada yang kurang cerdas, tapi tegas dan pandai memilih kabinet.
Ada yang jauh dari cerdas, jauh pula dari tegas, lemah dalam memilih kabinet, tapi hebat dalam menjadi aktor. Ada yang memang cerdas, tegas, tetapi kekurangan aparatur yang bisa mengikuti kecerdasannya. Melihat bagaimana mereka semua dalam memimpin, maka bisa saya simpulkan bahwa setidaknya kepemimpinan itu bisa dibagi menjadi tiga tingkatan. Dimulai dari yang paling lemah, kepemimpinan sporadis, kepemimpinan taktis dan yang paling top kepemimpinan strategis.
Kepemimpinan sporadis menunjukan seorang pemimpin tidak paham akan sebuah langkah atau keputusan taktis, apalagi strategis. Biasanya ia hanya akan mampu mengatasi masalah yang sudah ada di hadapannya, tapi gagal merumuskan potensi masalah yang mungkin timbul akibat permasalahan yang ada saat ini.
Pemimpin pada taraf ini, pada zaman sekarang ini, bergantung banyak kepada rekan media. Dia butuh sorot dan blitz kamera yang banyak. Untuk apa ? Supaya kilau cahaya kamera itu bisa menutupi kelemahan taktis dan strategisnya. Mayoritas pemimpin yang dihasilkan oleh pemilihan langsung saat ini berada pada level kepemimpinan ini.
Berikutnya, kepemimpinan taktis. Lebih baik dari yang pertama, pemimpin pada tahap ini bisa merumuskan penyelesaian sebuah masalah yang sedang dihadapinya saat ini, sambil menyiapkan langkah lanjutan jika masalah yang ada di hadapannya itu memiliki efek samping. Setidaknya pemimpin pada tahap ini mampu berpikir satu atau dua langkah ke depan. Jumlah pemimpin dalam kategori ini mungkin berjumlah lumayan, namun yang jelas lebih sedikit dibandingkan rekannya yang sporadis.
Terakhir kepemimpinan strategis. Ini adalah level kepemimpinan yang amat sangat langka di Indonesia saat ini. Pemimpin yang berada pada tingkatan ini memiliki cakrawala yang sangat luas. Ia memahami istilah butterfly effect, bahwa kepakan sayap kupu-kupu di Amazon bisa mendatangkan banjir di Amerika Serikat.
Pemimpin semacam ini memiliki alur pikir runtut dan runut yang panjang. Dia memahami urgensi jaring pengaman yang berlapis dalam setiap kebijakannya. Sebagai contoh, jika ia seorang pilot yang akan terbang, sebelum ia berada di landasan pacu, maka ia sudah tahu bandara alternatif di sepanjang rutenya yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat emergency landing. Walaupun ia masih di darat dan cuaca sepertinya bersahabat.
Dulu biasanya orang-orang yang memiliki pola pikir strategis semacam ini biasanya sudah jebolan Lemhanas. Tapi sekarang kepemimpinan pada tingkatan ini sudah kadung langka dan sulit ditemui. Karena kepemimpinan di tingkatan ini membutuhkan kecerdasan dan pengalaman secara bersamaan. Walaupun tidak banyak, masih ada pemimpin yang memperlihatkan kualitas kepemimpinan yang hampir mendekati paripurna ini. Secara pribadi saya melihatnya di Agam, salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Dan terakhir saya juga melihatnya di DKI Jakarta.
Wassalam...