Mohon tunggu...
Tommy TRD
Tommy TRD Mohon Tunggu... Penulis - Just a Writer...

Jumpa juga di @tommytrd

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Jangan Sampai Lulusan IPDN Tidak Berpolitik"?

5 Februari 2020   18:33 Diperbarui: 5 Februari 2020   18:44 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada berita yang lagi hangat-hangatnya dibahas di kalangan almamater saya. Judulnya "jangan sampai lulusan IPDN tidak memiliki daya saing". Ada yang masa bodoh, ada yang merasa tersinggung, ada yang menyampaikan pemikirannya.

Sebenarnya tidak ada masalah soal berita itu. Tapi tendensi yang digunakan mungkin kurang bagus, alias kurang bisa diterima oleh sebagian besar alumni sekolah kedinasan itu. Alumni sekolah itu seolah selalu diragukan. Berita itu banyak berbicara tentang harapan-harapan Sekjen Kemendagri. Bagus dan biasa saja sebenarnya.

Tapi saya tertarik dengan salah satu komentar dari alumni, yang mengaitkannya harapan Sekjen itu dengan realita yang ada. Dalam komentarnya salah satu alumni ini menyarankan agar peserta didik di IPDN juga diajarkan terlibat dalam politik praktis secara samar atau tidak kelihatan. Saya tertawa membaca saran ini. Mungkin komentar ini skeptis, sinis tapi memang otentik. Empirik nya di lapangan persis seperti itu. Dan dia berani menyatakan pendapatnya.

Bagi saya pribadi, terkait berita itu saya ingin bertanya. Tolak ukur keberhasilan lulusan IPDN itu apa ? Jabatannya ? Kinerjanya ? Karakternya ? Kekayaannya ? Atau apa ? Mungkin sebagian besar petinggi akan mengambil tolak ukurnya jabatan. Kalau tolak ukurnya adalah jabatan, maka 100% benar komentar yang disampaikan oleh senior saya itu. Apa para petinggi itu tidak melihat bahwa karir lulusan IPDN di pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh proses politik ?

Tidak peduli sehebat apa kinerjanya, jika dia tidak berada pada kapal pemenang ketika Pilkada, maka dia akan tertinggal oleh aparatur paling bodoh sekalipun pasca pelantikan kepala daerah. Itulah hukum alamnya. Itulah faktanya. Bahkan di salah satu daerah, orang yang masih hidup "dikalahkan" oleh orang yang sudah meninggal. Seorang kepala daerah memberhentikan Lurah (kalau tidak salah), dan menggantinya dengan ASN yang sudah Almarhum. Bayangkan itu.

Jenjang karir di sipil itu berbeda dengan institusi militer atau institusi sipil lainnya. Seorang Kapolres tidak akan demosi menjadi Kasat di polresnya sendiri, atau mungkin di Polres lain. Di ASN, seorang Camat bisa tiba-tiba jadi staff di kecamatannya itu sendiri. Dan sah-sah saja bagi seorang kepala daerah melakukan hal itu. Apalagi kalau kepala daerahnya "turun dari langit". Punya banyak uang misalnya, atau dari partai yang kuat misalnya, tapi punya pemahaman yang minim terhadap birokrasi.

Perbedaan lainnya adalah, dalam institusi yang mengenakan tanda pangkat di seragamnya, katakanlah kepolisian atau TNI, seorang Kombes atau Kolonel walau non job sekalipun, tetaplah Kombes dan Kolonel. Mereka akan tetap menerima penghormatan dari kepangkatan mereka. Mereka tidak akan tiba-tiba jadi juru ketik misalnya. Tapi di ASN tidak begitu.

Jadi walaupun saya ASN, untuk pembinaan karir ada baiknya Kemendagri mencontoh kepada institusi sampingnya. Karena memang mereka punya pembinaan karir yang lebih baik. Mungkin tetap saja ada unsur politis dalam pembinaan karir personil mereka, tapi sepertinya masih dalam batas kewajaran. Tidak terlalu seperti kawan-kawan yang di ASN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun