Salah satu Pemerintah Kabupaten, tepat di Blitar, Jawa Timur, kabarnya telah mengeluarkan sebuah aturan yang melarang ASN untuk menjemput anak sekolah pada jam kerja, dan membawa anak ke kantor.Â
Bagi yang tetap menjemput anaknya dalam jam kerja akan mendapatkan sanksi berupa pemotongan tunjangan. Dalam sudut pandang penegakan disiplin mungkin hal ini memang benar untuk dilakukan.
Namun, dari sudut pandang bahwa seorang ASN pun juga adalah orang tua, akan menjadi kontroversi sendiri.
Entah apa ada hubungannya dengan menjemput anak dengan produktifitas kerja atau tidak. Tetapi beberapa instansi atau pemerintah daerah mungkin berpikir kedua hal itu memiliki hubungan yang kuat.Â
Bagi saya pribadi, hal ini cukup menganggu alur berpikir. Karena bagi saya produktifitas lebih bergantung kepada passion, kenyamanan dan kemerdekaan dalam bekerja.Â
Bukan karena meninggalkan anak saya di sekolah untuk dijemput pembantu atau diantar dengan bis. Hal itu tidak menambah kinerja saya. Malah mungkin cenderung membuat saya muak dengan pekerjaan saya. Lagipula berapa persen ASN yang mampu menyewa jasa pengasuh anak?
Profesi apapun seharusnya tidak memiliki hak untuk mencampuri sebuah hubungan orang tua dan anak. Saya rasa itu ada dalam dua ranah yang berbeda.Â
Saya pernah melihat sebuah kantor yang beberapa pegawainya malah membawa anaknya ke kantor. Saya tanyakan kepada bos di kantor itu, apa itu menjadi masalah baginya ? Ia malah menjawab tidak.Â
Hal itu bagus bagi produktifitas pegawainya yang juga seorang ibu itu. Dan lebih daripada itu, ia tidak perlu harus merasa berdosa karena membatasi waktu seorang Ibu dengan anaknya yang masih balita ujarnya.Â
Dan memang kantor ini bukan kantor pemerintah. Melainkan sebuah kantor perusahaan swasta yang produktifitas dan profitnya tinggi.
Jika menjemput anak akan menghadapi pemotongan tunjangan, berapa orang yang akan lebih memilih rupiah dibandingkan waktu bersama anaknya? Sesungguhnya ini pertanyaan yang menggelikan.Â