Tuntutan akan tersedianya birokrat yang benar-benar profesional dan berkompeten di bidangnya telah menjadikan metode open bidding atau dikenal juga dengan lelang jabatan standar baru dalam pengangkatan seorang birokrat dalam sebuah jabatan tertentu. Sejenak masyarakat atau pihak yang berfungsi sebagai user atau pengguna layanan dari birokrasi pemerintahan memiliki harapan baru akan tersedianya birokrasi pemerintahan yang efektif melalui birokrat yang memberikan pelayanan publik yang prima.
Namun, benarkah demikian ? Fenomena lelang jabatan ini merupakan sebuah citra yang sangat baik bagi pemerintahan, terutama bagi pemerintahan kabupaten/kota. Khususnya di Kota Padang Sumatera Barat, berbagai macam lelang jabatan eselon II telah sukses dilaksanakan. Pertanyaan yang ingin saya ajukan pada tulisan kali ini adalah, benarkah lelang jabatan itu menghasilkan birokrat terbaik untuk duduk pada jabatan yang dilelang, atau tidak lebih dari sekedar amanat melaksanakan Undang-Undang ? atau malah melaksanakan amanat kepala daerah.
Banyak fakta yang berbicara bahwa lelang jabatan tidak lebih dari sekedar formalitas dalam mematuhi undang-undang, namun tidak pernah mencapai hakikat lelang jabatan itu sendiri untuk menghasilkan birokrat-birokrat terbaik untuk menduduki suatu jabatan. Malah, “pengondisian-pengondisian” oleh pihak yang berkuasa di daerah terlihat sangat jelas, hingga saking jelasnya, tes belum dimulai pun, para PNS di kota tersebut sudah mengetahui siapa yang akan dilantik. Komisi ASN pun tampaknya juga tidak cukup memperbaiki pengaplikasian yang keliru dari sistem yang sudah cukup baik ini, kenapa ? Karena UU juga mengatakan, bahwa kepala daerah memiliki kewenangan dalam pembinaan kepegawaian yang merupakan limpahan dari kewenangan Presiden.
Terbuka, tidak serta merta menjadi segala sesuatunya lebih baik, malah di beberapa kabupaten/kota, sistem yang terbuka ini hanya menunjukan betapa arogannya pemerintah dalam menunjuk seseorang untuk dilantik, walaupun dalam lelang jabatan nilainya tidak memadai, bahkan ada yang sampai sengaja dikondisikan nilai-nilainya agar melebihi peserta lain yang sebenarnya jauh lebih baik. Bagaimana caranya ? Cara paling sederhana adalah melalui tes wawancara dan presentasi yang memang tolak ukurnya tergantung kepada subjek yang menilai alias subjektif. Seorang dokter yang sangat berpengalaman dan memiliki ilmu yang lebih dari cukup untuk bisa memenangi lelang jabatan, bisa saja harus takluk dengan dokter dari daerah lain yang nilai tes pengetahuannya tidak lebih bagus, baik secara umum maupun subtantif.
Banyak pihak yang dirugikan dengan cara-cara atau praktik-praktik yang terjadi dalam lelang jabatan, birokrat-birokrat terbaik yang mestinya bisa menggunakan ilu dan kemampuannya dalam mengabdi kepada bangsa dan negara secara optimal malah “menganggur” karena tidak cukup dekat dengan penguasa daerah. Oleh karena itu pada tulisan ini, saya yang memberanikan diri untuk mewakili sosok-sosok yang mungkin saja sudah dirugikan oleh praktik-praktik kotor yang dilakukan oleh penguasa daerah untuk membuat tulisan ini.
Terakhir, kepada yang terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia, karena Bapak baru saja mengunjungi Sumatera Barat dan Kota Padang pada Idul Fitri yang lalu, izinkan saya menyampaikan kepada Bapak, jangan biarkan birokrat-birokrat terbaik yang Bapak miliki di daerah harus menjadi kader partai politik tertentu (walaupun secara tersurat mereka tentu akan menolak mengakuinya) yang berkuasa di daerah tersebut untuk bisa menunjukan pengabdian maksimal yang mungkin bisa mereka berikan. Terlebih lagi, rasanya juga tidak banyak partai politik yang melakukan cara-cara seperti ini, dan tentu Bapak lebih mengetahui partai politik mana yang mempraktikan cara ini di daerah. Salam hormat saya untuk Bapak Presiden.
Wassalam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H