Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan: Hardskill vs Softskill

17 Mei 2017   15:11 Diperbarui: 17 Mei 2017   18:30 3148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dunia, sedikit hal yang tak ternilai dengan uang, salah satunya ilmu. Sesuatu yang tak ternilai, jamak diketahui sulit mendapatkannya. Begitu pun ilmu. Itulah mengapa menjadi dokter hampir mustahil bagi kaum papa.

Ilmu jelas bukan hanya sains atau yang teknis sifatnya (hard skills). Tetapi juga menyangkut ilmu komunikasi, kejujuran/integritas, interpersonal, etos kerja atau kemampuan beradaptasi yang disebut soft skills(kemampuan lunak). Konon, ilmu seperti ini yang diyakini berperngaruh besar ---lebih dari 80 persen--- terhadap kesukesan seseorang. Setidaknya begitulah hasil dari sebuah riset psikologi sosial (Elfindri, 2010).

Lebih lanjut berdasarkan hasil Survey National Association of Colleges and Employee (NACE, 2007) ada sembilan belas kemampuan yang diperlukan di pasar kerja. Tujuh ranking teratas dari hasil survei tersebut adalah kemampuan soft skills.Dan yang mengejutkan adalah nilai Indeks Prestasi (IP) yang umumnya menjadi target utama mahasiswa di bangku pembelajaran berada di peringkat enam belas.

Kendati kemampuan lunak ditengarai memberi jalan sukses lebih lapang, nyatanya dunia kerja di Indonesia tak banyak menimbang soft skills. Jika pun ada, porsinya di belakang kemampuan teknis. Kecil sekali. Lowongan Kerja (Loker) umumnya mematok standar kokoh, yakni ijazah. Ijazah lah ‘penentu’ jalan hidup kebanyakan orang. Terlebih jika disertai nilai akademik di atas rata-rata, semuanya akan nampak lebih mudah.

Seturut dengan paradigma dunia kerja, dunia pembelajaran di bangku sekolah memang masih mengedepankan materi teknis. Kebanyakan sekolah belum memberi porsi memadai pada materi soft skills. Berdasarkan data yang diadopsi dari Havard School of Bisnis, kemampuan dan keterampilan yang diberikan di bangku pembelajaran, 90 persen adalah kemampuan teknis dan sisanya soft skills. Tak pelak, ada saja yang mengutamakan tujuan akhir ---ijazah--- tanpa serius mengikuti prosesnya. Sehingga memunculkan paradigma berfikir pragmatis, yang secara tak langsung mengikis soft skills yang memang sudah tipis adanya.

Kemampuan teknis memang penting dan Indonesia tergolong moncer soal ini. Setidaknya, terlihat dari langganan juara pada tiap pagelaran olimpiade sains internasional. Akan tetapi, kemampuan soft skills tak kalah pentingnya. Soal ini, Indonesia diduga relatif tertinggal dan perlu berbenah. Maraknya kasus korupsi yang menimpa pejabat publik seakan menguatkan dugaan tersebut. Sejumlah kasus korupsi justru dilakukan oleh mereka yang berijazah tinggi. Master, doktor bahkan profesor ramai-ramai jadi koruptor. Sesuatu yang tak terbayangkan, bahkan terpikir pun tidak. Siapa yang meragukan kemampuan teknis mereka? Tapi perkara integritas, bisa ditanyakan.

Contoh lain adalah buruknya interpersonal pada media sosial. Tak jarang media berbagi tersebut dibuat gaduh oleh pernyataan-pernyataan saling serang. Mereka yang terlibat sejatinya tak sedikit pemilik ijazah tinggi. Saking masifnya, Kapolri sampai mengeluarkan surat edaran terkait penanganan ujaran kebencian (hate speech). Hal tersebut seolah menunjukkan potensi bahaya dari buruknya kualitas soft skills pengguna media.

Kemampuan soft skillsmerupakan bagian dari human capital yang memberi garansi terwujudnya pemanfaatan hardskills untuk kebaikan bersama. Oleh karenanya, perhatian terhadap urgensinya soft skills pada dunia pendidikan seyogyanya menjadi agenda pemangku kebijakan. Sehingga, dunia pendidikan tak harus menanggung konsekuensi logis minimnya soft skills yang ditandai dini dengan maraknya tawuran antarpelajar dan bentrok antarmahasiswa.

Ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan soft skills siswa/mahasiswa. Pertama, porsi pendidikan agama pada semua jenjang, termasuk jenjang pendidikan tinggi perlu ada dan ditingkatkan. Sulit mengingkari betapa pokoknya ajaran agama dalam keteraturan hidup berkehidupan di dunia, termasuk dunia kerja.

Kedua, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau sejenis masih diperlukan. Pendidikan moral memang terkait soft skills. Bagaimana siswa harus saling menghormati, saling menghargai, berkata jujur ---kesesuaian antara perkataan dan perbuatan---, tenggang rasa, keseimbangan hak dan kewajiban, serta pendidikan moral lainnya. Semua itu masih sangat relevan sebagai modal bermasyarakat di tengah kemajemukan.

Ketiga, sekolah atau kampus sebaiknya menyediakan dan memfasilitasi kegiatan organisasi kesiswaan/kemahasiswaan secara serius. Sebab, mengikuti kegiatan organisasi diyakini dapat meningkatkan kemampuan interpersonal, mengelola emosional, bekerja sama, integritas, komunikasi dan meningkatkan kemampuan lunaklainnya. Sementara itu, pengakuan untuk siswa atau mahasiswa yang aktif berorganisasi dapat diaktulisasikan dengan memberi penghargaan semisal piagam atau tanda penghargaan lainnya. Hal tersebut diperlukan untuk menumbuhkan minat berorganisasi di kalangan siswa atau mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun