Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nurani, Korupsi dan Kemiskinan

18 Maret 2017   13:54 Diperbarui: 18 Maret 2017   14:03 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bukan rahasia jika birokrasi di negara ini dikenal tambun sehingga bergerak lamban. Struktur birokrasi yang panjang berliku membuat urusan tidak pernah berjalan mudah. Perbaikan birokrasi yang menjadi salah satu cita-cita reformasi terdahulu seakan tak sebanding dengan waktu yang telah dihabiskan. Rakyat masih saja disugguhi kesukaran. Bukan hanya dipusingkan dengan liku-liku birokrasi, tetapi juga acapkali menemui aparatur yang lebih mirip ‘raja’ ketimbang pelayan.

Peliknya berurusan dengan birokrasi barangkali banyak yang merasakan. Maka ketika pemberi layanan menawarkan  ‘cara lain’, terbuka atau pun tidak, rakyat terkadang (terpaksa) mengalah demi menghemat energi dan menepis frustasi. Di sinilah titik kritis suburnya Pungutan Liar (Pungli). Meskipun ada juga masyarakat yang justru mencari ‘cara lain’ tersebut untuk keluar dari jalur yang seharusnya. Sungguh memprihatinkan.

Berdasarkan rilis terakhir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2015 sebesar 3,59 ---skala 1 s.d 5--- menurun ketimbang tahun sebelumnya dengan nilai 5,61. Dimana nilai mendekati 0 berarti masyarakat cenderung permisif dengan korupsi. Dengan kata lain, perilaku anti korupsi masyarakat tahun 2015 cenderung menurun ketimbang tahun sebelumnya. 

Pada kancah internasional, peringkat negara kita juga tidak begitu membanggakan. Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara sebagai negara terkorup versi Corruption Perception Index (CPI) 2014. Sebuah kenyataan pahit yang harus terus diwaspadai.

Mungkin kita kurang menyadari dampak pungli atau KKN yang merasuki birokrasi, khususnya aliran pelayanan publik. Kita lebih banyak memikirkan kehidupan sendiri dalam jangka pendek, ketimbang memikirkan dampaknya dalam horizon waktu yang lebih panjang. Kita juga enggan memahami bahwa keburukan yang diperbuat saat ini dapat berakibat kronis hingga nanti dirasakan anak cucu kita.

Untuk memberi sedikit gambaran dampak buruk pungli ataupun KKN, mari sejenak membaca sejarah Nogales Utara dan Nogales Selatan, dua kota yang terpisah pagar pembatas kedua negara induknya. Sebagaimana yang diceritakan Prof. Boediono dalam tulisannya “Manusia dan Bangsa”, kedua kota tersebut terpisah dan memulai karirnya masing-masing dari garis start yang terbilang sama. 

Seiring berjalannya waktu, keduanya tidak lagi sejajar. Pendapatan rata-rata rumah tangga di Nogales Utara sekitar 30.000 dollar AS per tahun, berbanding terbalik dengan pendapatan rumah tangga di Nogales Selatan yang hanya sebesar 10.000 dollar AS per tahun. Nogales Utara melaju dengan segala kesejahteraannya, sementara Nogales Selatan seakan terbenam dengan segala penderitaanya.

Apa yang terjadi? Mantan wapres yang kini lebih banyak menikmati masa pensiun bersama cucunya tersebut menjelaskan, bahwa di Nogales Selatan perangkat-perangkat publik yang memengaruhi kehidupan sehari-hari warga umumnya punya kinerja lebih buruk daripada di Nogales Utara. Politiknya kotor, pemerintahan setempat tidak peka pada kebutuhan warga, birokrasinya lamban dan banyak mengutip pungutan, lembaga penegak hukumnya tidak bersih. Untuk mengejar Nogales Utara, bagi Nogales Selatan hanya ada satu jalan, yaitu memperbaiki kinerja lembaga-lembaga itu.

Belajar dari Nogales, maka setiap upaya pembenahan birokrasi haruslah didukung. Sekecil apapun bentuknya. Program pemerintah Sapu Bersih Pungli (Saber Pungli) dan reformasi birokrasi yang sedang berjalan harus terus dikawal. Birokrasi yang sarat pungli dan KKN, bukanlah jawaban atas persoalan kronis kemiskinan yang kita hadapi. Pemerintah selaku pelayan rakyat haruslah peka terhadap persoalan rakyat, tidak justru abai atau mempersulit urusan rakyat.

Dapatlah dibanyangkan, jika waktu mengurus sebuah layanan begitu lama. Sebuah layanan yang boleh jadi amat penting bagi masyarakat. Kita tidak akan pernah mengganti waktunya yang hilang, belum lagi jika biaya mengurus layanan tersebut relatif besar. Terbilang besar untuk masyarakat dengan penghasilan yang pas-pasan. Bukannya membantu mengentaskan kemiskinan, pungli dan KKN justru akan mendorongnya ke jurang kemiskinan yang lebih dalam.

Cerita mantan wapres tersebut pantas kita renungkan untuk kemudian berbenah bersama-sama. Sejatinya aparatur negara adalah pelayan, pelayan bagi segenap rakyat. Pantasnya kita melayani rakyat dengan ‘rasa’ seorang pelayan serta membuang jauh warisan feodal yang membuat nurani menjadi beku. Kita juga harus lebih sering menggunakan nurani untuk hal-hal yang akan diperbuat. 

Dalam banyak kasus korupsi, sebagian besar oknum yang terlibat adalah mereka yang memegang jabatan penting. Mereka yang menerima gaji dan fasilitas yang jauh dari kata cukup. Hal tersebut seolah menyampaikan pesan matinya nurani sekaligus menegaskan bahwa korupsi tidak selalu berbanding terbalik dengan penghasilan sah yang diperoleh. Maka ketika seorang menteri mengatakan bahwa korupsi marak karena penghasilan yang kurang sebagaimana dimuat oleh sebuah media online beberapa waktu lalu, sungguh dapat diperdebatkan.

Semoga kita menyadari pentingnya perubahan. Sebagai penyelenggara pemerintahan, mari terus berlomba memberikan layanan prima ---layanan yang cepat, mudah dan murah--- kepada segenap lapisan masyarakat tanpa membuat strata perbedaan. Sebaliknya, sebagai rakyat, mari untuk terus memantau kualitas layanan publik. Ketika menemukan layanan yang tidak sesuai prosedur agar tidak segan melaporkan kepada Lembaga Pengawas Layanan Publik atau kepada Tim Saber Pungli, jika hal tersebut terkait pungli, dan bukan justru ikut memberi imunitas terhadap suburnya praktik-praktik kotor tersebut. Yang tidak kalah penting, mari kita menjadikan nurani sebagai panglima dan terus membenahi kompetensi diri untuk memberikan layanan terbaik kepada rakyat.

Akselerasi posisi Provinsi Bengkulu dari Zona Merah ke Zona Hijau pada evaluasi kepatuhan terhadap standar pelayanan publik oleh Ombudsman tahun 2016, sepatutnya membuat kita bangga. Upaya Pemerintah Provinsi Bengkulu menempatkan reformasi birokrasi dalam lima program prioritas sepertinya menunjukkan hasil yang amat baik. Loncatan prestasi yang luar biasa tersebut, semoga menjadi titik awal perbaikan pelayanan publik, khususnya di lingkungan Provinsi Bengkulu. Semoga prestasi tersebut diikuti oleh pemerintah di Kabupaten/Kota lain yang ada di Provinsi Bengkulu sehingga memberi dampak yang jauh lebih luas. Harapannya jelas bermuara pada peningkatan kesejahteraan Rakyat Bengkulu, layaknya Nogales Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun