Bukan rahasia jika birokrasi di negara ini dikenal tambun sehingga bergerak lamban. Struktur birokrasi yang panjang berliku membuat urusan tidak pernah berjalan mudah. Perbaikan birokrasi yang menjadi salah satu cita-cita reformasi terdahulu seakan tak sebanding dengan waktu yang telah dihabiskan. Rakyat masih saja disugguhi kesukaran. Bukan hanya dipusingkan dengan liku-liku birokrasi, tetapi juga acapkali menemui aparatur yang lebih mirip ‘raja’ ketimbang pelayan.
Peliknya berurusan dengan birokrasi barangkali banyak yang merasakan. Maka ketika pemberi layanan menawarkan ‘cara lain’, terbuka atau pun tidak, rakyat terkadang (terpaksa) mengalah demi menghemat energi dan menepis frustasi. Di sinilah titik kritis suburnya Pungutan Liar (Pungli). Meskipun ada juga masyarakat yang justru mencari ‘cara lain’ tersebut untuk keluar dari jalur yang seharusnya. Sungguh memprihatinkan.
Berdasarkan rilis terakhir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2015 sebesar 3,59 ---skala 1 s.d 5--- menurun ketimbang tahun sebelumnya dengan nilai 5,61. Dimana nilai mendekati 0 berarti masyarakat cenderung permisif dengan korupsi. Dengan kata lain, perilaku anti korupsi masyarakat tahun 2015 cenderung menurun ketimbang tahun sebelumnya.
Pada kancah internasional, peringkat negara kita juga tidak begitu membanggakan. Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara sebagai negara terkorup versi Corruption Perception Index (CPI) 2014. Sebuah kenyataan pahit yang harus terus diwaspadai.
Mungkin kita kurang menyadari dampak pungli atau KKN yang merasuki birokrasi, khususnya aliran pelayanan publik. Kita lebih banyak memikirkan kehidupan sendiri dalam jangka pendek, ketimbang memikirkan dampaknya dalam horizon waktu yang lebih panjang. Kita juga enggan memahami bahwa keburukan yang diperbuat saat ini dapat berakibat kronis hingga nanti dirasakan anak cucu kita.
Untuk memberi sedikit gambaran dampak buruk pungli ataupun KKN, mari sejenak membaca sejarah Nogales Utara dan Nogales Selatan, dua kota yang terpisah pagar pembatas kedua negara induknya. Sebagaimana yang diceritakan Prof. Boediono dalam tulisannya “Manusia dan Bangsa”, kedua kota tersebut terpisah dan memulai karirnya masing-masing dari garis start yang terbilang sama.
Seiring berjalannya waktu, keduanya tidak lagi sejajar. Pendapatan rata-rata rumah tangga di Nogales Utara sekitar 30.000 dollar AS per tahun, berbanding terbalik dengan pendapatan rumah tangga di Nogales Selatan yang hanya sebesar 10.000 dollar AS per tahun. Nogales Utara melaju dengan segala kesejahteraannya, sementara Nogales Selatan seakan terbenam dengan segala penderitaanya.
Apa yang terjadi? Mantan wapres yang kini lebih banyak menikmati masa pensiun bersama cucunya tersebut menjelaskan, bahwa di Nogales Selatan perangkat-perangkat publik yang memengaruhi kehidupan sehari-hari warga umumnya punya kinerja lebih buruk daripada di Nogales Utara. Politiknya kotor, pemerintahan setempat tidak peka pada kebutuhan warga, birokrasinya lamban dan banyak mengutip pungutan, lembaga penegak hukumnya tidak bersih. Untuk mengejar Nogales Utara, bagi Nogales Selatan hanya ada satu jalan, yaitu memperbaiki kinerja lembaga-lembaga itu.
Belajar dari Nogales, maka setiap upaya pembenahan birokrasi haruslah didukung. Sekecil apapun bentuknya. Program pemerintah Sapu Bersih Pungli (Saber Pungli) dan reformasi birokrasi yang sedang berjalan harus terus dikawal. Birokrasi yang sarat pungli dan KKN, bukanlah jawaban atas persoalan kronis kemiskinan yang kita hadapi. Pemerintah selaku pelayan rakyat haruslah peka terhadap persoalan rakyat, tidak justru abai atau mempersulit urusan rakyat.
Dapatlah dibanyangkan, jika waktu mengurus sebuah layanan begitu lama. Sebuah layanan yang boleh jadi amat penting bagi masyarakat. Kita tidak akan pernah mengganti waktunya yang hilang, belum lagi jika biaya mengurus layanan tersebut relatif besar. Terbilang besar untuk masyarakat dengan penghasilan yang pas-pasan. Bukannya membantu mengentaskan kemiskinan, pungli dan KKN justru akan mendorongnya ke jurang kemiskinan yang lebih dalam.
Cerita mantan wapres tersebut pantas kita renungkan untuk kemudian berbenah bersama-sama. Sejatinya aparatur negara adalah pelayan, pelayan bagi segenap rakyat. Pantasnya kita melayani rakyat dengan ‘rasa’ seorang pelayan serta membuang jauh warisan feodal yang membuat nurani menjadi beku. Kita juga harus lebih sering menggunakan nurani untuk hal-hal yang akan diperbuat.