Tidak aneh, ketika saat-saat pesta rakyat akan berlangsung, tiba-tiba sekelompok manusia menjadi sosok yang egaliter dan ramah tamah. Mereka adalah sekelompok orang yang katanya siap memperjuangkan aspirasi rakyat, berjuang demi kesejahteraan rakyat.
Tentu hal-hal yang demikian bukan merupakan suatu hal yang tabu, tingkah-tingkah itu berseliweran di depan kita. Terkadang aku sampai tak habis pikir, ada kaum yang dungunya luar biasa, tapi maksanya diluar batas.Â
Lah, siapa dia ? Itu, mereka yang saat ini sedang duduk nyaman di kursi yang diberi rakyat, yang tak bisa berbuat apa-apa, tapi masih ngotot siap memperjuangkan aspirasi rakyat. Parah betul itu.
Contohnya, ada seorang wakil rakyat yang tak bisa buat apa-apa, jalan ke rumahnya pun dia tak bisa perjuangkan, pada saat rapat dan sidang dia tak berguna, hanya duduk manis sembari menghabiskan snack yang tersedia. Tetap saja dia nyaman duduk di kursinya. Ibaratnya makan gaji buta.
Ada lagi yang tingkah-tingkah unik sebagian mereka. Dulu, sewaktu dia belum kecipratan nikmatnya kue yang bernama proyek, beringasnya minta ampun.
Kalau sudah bicara kesalahan penguasa hebatnya bak singa podium, sampai-sampai meja pun bisa jungkir balik dari tempatnya. Eh, giliran dapat kue proyek yang nikmat, mulutnya terkunci. Bahkan kalau boleh, kaki penguasa pun dijilat.
Belum lagi tingkah sebagiannya lagi, yang lebih lucu. Saat-saat kampanye ramahnya gak ketulungan. Yang tak kenal pun jadi objek senyuman, meraih simpati dengan pencitraan.Â
Giliran terpilih, melihat wajahnya pun ibarat melihat tumpukan harta karun, susahnya minta ampun. Dulu, naik kereta (sepeda motor) sambil mengklakson orang-orang yang ditemui, sekarang naik mobil dengan semua kaca pintu tertutup, seakan-akan orang yang lewat tak perlu disapa lagi.
Tugas dan wewenang yang amanatkan Undang-undang pun mereka pergunakan entah mewakili siapa, absurd. Tak penting seberapa tidak efektif penggunaan anggaran, tak peduli pembangunan menguntungkun siapa, asal sama-sama paham, oke sajalah.
Walaupun sudah di gaji besar, fasilitas mewah dan kehormatan, tidak membuat mereka merasa hidup berkecukupan, padahal orang-orang yang mereka wakili banyak dirundung kesusahan.Â
Minta bagian kue dan setoran pun mereka lakukan. Hitung-hitung mengembalikan modal besar yang dulu dikeluarkan saat masa-masa pencalonan.