“Ma, apakah ada sedikit uang, ma?” Tanya Eko, anak sulungku pelan.
“Berapa, Ko?” Tanyaku.
“Tiga ratus lima puluh ribu rupiah, ma.” Jawab Eko lagi. Aku terkejut mengapa anak berusia 10 tahun itu meminta uang sebanyak itu.
“Buat apa uang sebanyak itu? Uang sekolahmu kan baru mama bayar dua hari yang lalu.” Jawabku bingung. Eko tertunduk... Melihat Eko tertunduk jantungku berdegup kencang. Adakah anakku sedang terjerat masalah? Mengapa tiba-tiba ia memerlukan uang sebanyak itu.
“Ko... Untuk apa uang itu?” Nadaku mulai panik. Eko masih tertunduk menambah khawatir diriku. “Apa kau berkelahi dengan orang?” Tanyaku segera dan dibalas gelengan kepala Eko tanda bukan itu masalahnya. “Apa kau merusak barang seseorang dan kau harus menggantinya?” Aku mencecar putraku.
“Buat beli obat untuk papa, ma... Papa sedang sakit berat.” Jawab Eko takut. Hah? Jawaban Eko menghenyakkan perasaanku. Suamiku, yang sejak 6 tahun yang lalu meninggalkan aku dan 2 anakku untuk wanita lain, kini memerlukan uang? Dia yang membawa sebagian besar harta kami termasuk mobil dan emas-emas batangan tabungan kami untuk hidup dengan wanita muda selingkuhannya, kini memerlukan tiga ratus lima puluh ribu rupiah untuk membeli obat?
“Eko, papamu itu punya uang banyak. Tidak mungkin dia tidak bisa membeli obat.” Kataku.
“Eko tidak tahu, ma. Tapi di telpon suaranya terdengar lemah sekali. Mungkin sebaiknya, mama menelpon papa.” Jawab Eko datar. Hah? Aku diminta Eko menelpon suamiku itu? Untuk apa? Setelah aku dan kedua anakku dicampakkan bagai sampah, lalu mengapa aku harus menelpon dia? Sejak hari itu, kuketahui dari anak-anakku bahwa suamiku masih beberapa kali menelpon, dan terakhir, mertuaku langsung minta berbicara kepadaku agar aku bersedia menemui suamiku itu.
“Umurnya mungkin sudah tidak lama lagi, Lin. Keadaannya sangat susah sekarang. Hartanya sudah ludes. Sebagian dibawa pergi oleh Dina, sebagian sudah habis untuk membiayai pengobatannya. Tidak ada kata-kata yang bisa membenarkan tindakannya, Lin. Namun, sebesar apapun rasa bencimu padanya, jika kau mengampuninya, mama rasa, Surga bolehlah terbuka untuk dia yang kau ampuni dan untuk kau yang mengampuninya.” Pinta mertuaku dengan mata berkaca-kaca. Kembali aku mengingat peristiwa enam tahun yang lalu, saat itu aku sedang mengandung tujuh bulan anak kedua kami, sementara suamiku berselingkuh dengan Dina, sekertarisnya dan akhirnya pergi meninggalkan aku dan anak sulungku. Persalinan yang sulit harus kulalui, aku sempat tak sadarkan diri karena kehabisan banyak darah. Dan setelah keadaanku pulih, aku harus membayar setumpuk tagihan rumah sakit. Semua perasaan buruk dan sakit hati kualami, belum lagi segunung rasa malu harus kutanggung. Tadinya hidupku sungguh berjaya, aku berasal dari keluarga berada yang telah menyisihkan warisan bagiku. Namun semua bagianku pun telah terpakai untuk biaya hidup sehari-hari sejak suamiku meninggalkanku. Dari naik-turun mobil mewah hingga naik-turun kendaraan umum, harus pula kulalui masa itu. Setelah aku merintis usaha kecil-kecilan dari bawah barulah perlahan kini bisa kucicil sebuah mobil sederhana.
Seminggu setelah mertuaku menemuiku, aku datang ke rumahnya menemui suamiku. Aku begitu terkejut melihat keadaannya yang hanya bagaikan tengkorak hidup saja. Penyakit kanker telah menggerogotinya. Nafasnya tersengal dan mengangkat tangannya sendiri pun tampak ia sudah tak sanggup. Dari tempat tidurnya ia menolehkan kepalanya ke arahku, seketika itu juga kulihat airmatanya membasahi kedua matanya, “Am…pun, am…pun, a-ku min-ta am-pun pa-da-mu.” Suaranya hampir tak terdengar, aku hanya membaca komat-kamit bibirnya saja. Di depanku terbaring seorang pria yang dahulu saat menikah denganku begitu gagah dan tampan, namun kini rupanya terlihat begitu buruk dengan nafas yang berbau busuk. Sebagian sisi hatiku nampak tak terusik dengan keadaannya, itulah balasan yang adil baginya. Namun bagian lain hatiku bertanya, aku mungkin telah mendapat perlakuan buruk dari pria ini, namun apakah itu membuat aku lebih mulia daripadanya di hadapan Tuhan? Jika aku tidak dapat mengampuni pria ini, rasanya aku tidak akan lebih baik daripada dia karena kemarahan-kemarahan yang kupendam selama bertahun-tahun. Kulihat suamiku masih terus berkomat-kamit mengucapkan kata ampun. Kupejamkan mata sambil berdoa, oh! Tuhan, berikan aku kekuatan untuk mengampuninya. Dengan kekuatanku sendiri, sungguh aku tidak sanggup mengampuninya karena ini terlalu menyakitkan. Berikan aku kekuatan, ya Tuhan… Perlahan kuanggukkan kepalaku sambil memandang suamiku dan berkata, “Ya, aku mengampunimu…”, namun sejujurnya hatiku masih terus berdoa agar Tuhan sungguh-sungguh memberiku kekuatan untuk mengampuninya setulus hatiku. O, Kau yang Maha Kasih, ampunilah pula aku yang lemah ini.
Principal of Yemayo Advance Education Center - Kursus Kecerdasan Pribadi Pertama di Indonesia untuk usia 2 s.d 19 tahun – www.myyemayo.blogspot.com
Cab. Pluit : 021-70650001 / 021-6603390
Cab. Kelapa Gading : 021-45841508 / 021-91262392
Cab. Meruya : 021-5856479 / 021-23892303
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H