HARI ISTRIKU SELALU BAIK
Aku dan istriku telah 18 tahun berumah tangga. Dikarunia 4 orang anak, dimana anak bungsu kami terlahir down syndrome. Perjalanan hidup rumah tanggaku sungguh melelahkan. Pengeluaran demi pengeluaran sepertinya terus mengantri harus dibayar. Aku lelah, sungguh lelah dengan kehidupan yang kumiliki. Di waktu-waktu malam, sering aku merasa gelisah membayangkan bagaimana jika aku tidak mampu membayar kebutuhan yang harus dibayar, terasa kepalaku ingin pecah jadinya.
“Ini, teh manis-mu, Pak. Minumlah sebelum dingin.” Kata istriku seraya membawakanku teh manis. Tanpa disuruh lebih lanjut, aku segera menerima teh manis yang ditawarkan istriku. Saat meminumnya, aku merasakan istriku memijit-mijit pundakku pelan-pelan.
“Hari ini, lumayan baik, Pak… Tiara tadi pagi kan berteriak-teriak, ndak tau apa yang membuat dia berteriak-teriak, untung mas Darma belum berangkat sekolah, dia yang bantu aku menenangkan Tiara. Wah! Mas Darma sampai telat pergi sekolah, tapi aku sudah menelepon sekolahnya menjelaskan bahwa dia membantu aku sebentar menenangkan adiknya. Syukurlah, siang tadi, Tiara sudah lebih tenang jadi aku bisa masak ayam opor dan oseng-oseng tempe buat mas Dimas. Kasihan, sudah dari bulan lalu itu mas Dimas minta aku buatkan opor tapi belum kesampaian terus. Wah! Dimas makan lahap sekali, seneng banget lihatnya. Tadi setelah Dimas dan Ani sudah di rumah, aku ke rumah ibu, aku sempat mampir ke toko kue-nya Ingga, jadi tadi aku beli lemper dan lepet buat dibawa ke rumah ibu, mana angkotnya susah sekali dan panasnya kebangeten... Oh! Iya, uangmu yang lima ratus ribu sudah aku kasih ke ibu ya, Pak. Ibu senang sekali… Ibu menanyakan bapak tuh, kenapa anaknya sendiri yang satu ini sudah hampir satu bulan belum main ke rumahnya. Ya, aku bilang sih, bapak sedang ada proyek yang belum bisa ditinggal…” Papar istriku mengenai kegiatannya seharian ini.
“Nah, itulah… Bilang saja sama Darma, nanti dia tidak usah sekolah jauh-jauh sampai ke Malang. Bantu-bantulah jaga Tiara. Nanti kau kerepotan.” Kataku.
“Ya, pelan-pelan, Pak. Jangan langsung bilang ndak boleh. Aku yakin, nanti pasti ada jalan terbaik untuk semuanya. Ndak bagus juga kalau kita kecewakan mas Darma buat sekolah di sekolah pilihannya. Dia kan pandai, Pak. Anak pandai, ya biarlah sekolah di sekolah yang bagus juga, biar dia makin pandai.” Sahut istriku.
“Terus, Tiara bagaimana?” Tanyaku lagi.
“Nanti kita bicara lagi sama anak-anak, Pak. Biar kita bagi tugas jaga Tiara. Sekarang ini, kita tenang dulu saja. Sudah malam. Bapak kan juga sudah lelah. Aku juga mau duduk tenang saja dulu sama bapak.” Kata istriku sambil tersenyum tangannya masih memijit-mijit pundakku.
Itulah istriku… Perempuan yang kunikahi itu selalu hidup dalam pengharapan yang baik. Menghadapi Tiara, bagiku sangatlah menguras energi dan emosi. Namun walau hampir setiap hari Tiara membutuhkan perhatian keluargaku, istriku masih bisa mengurusi anak-anak lainnya, memikirkan makanan kesukaan anak-anaknya, mengurus ibu mertuanya dengan bijak, mengurus aku suaminya. Di ujung hari, ia menceritakan kejadian satu hari yang sebenarnya tidak mudah itu dengan suatu kesimpulan yang happy ending. Hari ini lumayan baik, rangkum istriku. Lebih menakjubkan lagi, itu adalah rangkuman laporan istriku setiap hari. 18 tahun aku menikah dengannya, hari-hari istriku selalu baik menurutnya.
Berbeda sekali dengan aku yang sering mencemaskan hal-hal yang belum terjadi. Sementara aku sering berpikir bagaimana jika tidak bisa? Istriku melewati hari-harinya dengan berpikir bagaimana agar bisa?
“Besok, kau mau makan apa, Pak? Tadi kan sudah kumasaki opor buat mas Dimas. Rawon, mau kumasaki rawon, Pak?” Tanya istriku.
“Oh… Iya, iya, aku mau sekali rawonmu, bu. Kalau tidak repot, boleh. Aku mau.” Jawabku segera, membayangkan rawon buatan istriku sudah membuatku lapar saja rasanya.
“Ya sudah, kalau besok ndak ada apa-apa, kubuatin rawon ya, Pak. Nanti kalau aku bisa cepat selesai masaknya, aku bawakan juga buat ibu, mudah-mudahan besok angkotnya ndak susah.” Kata istriku sambil tersenyum. Ia mengambil gelas teh-ku yang sudah kosong. Reflek segera kupegang tangan istriku.
“Bu…” Kataku.
“Apa lagi, Pak?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Hari ini sebenarnya hariku tidak terlalu baik… Tapi, sepertinya, setiap hari, hariku tidak terlalu baik. Kau yang membuat hariku selalu menjadi baik, bu.” Kataku lagi. Istriku tampak tersenyum tersipu-sipu.
“Kan Gusti Allah itu baik, Pak… Ya aku percaya saja, pasti semuanya akan baik juga, Pak.” Sahut istriku dan segera berlalu. Sejak aku mengenal istriku dahulu, Gusti Allah-nya selalu baik, itu yang diucapkannya setiap hari. Iman sederhana yang selalu membuat harinya baik.. Dan, hariku si pencemas inipun pula menjadi baik adanya. Sungguh indah anugerah-Mu, O Gusti Allah yang baik. Syukur kepada-MU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H