Ada cara lain yang patut dicoba, yakni ketika Jokowi terpilih sebagai presiden, jabatan gubernurnya tidak dilepas! What!? Ya, namun sifat jabatan gubernur lebih sekadar simbolik saja ---sama halnya ketika kelompok penolak Ahok sebagai gubernur yang lebih mengedepankan urusan simbolik (baca: SARA). Maka cara menghadapinya pun secara simbolik pula. Rasanya mencoba beragumentasi untuk mencapai win-win solution akan sulit terpenuhi. Selain energi banyak yang terserap, ujung-ujungnya masalahnya tetap akan menggantung tanpa hasil yang pasti.
Yang menjadi pertanyaan apakah bisa seandainya memungkinkan bagi Jokowi dapat merangkap jabatan seperti itu? Hasil googling saya sejauh ini dan referensi aturan hukum yang saya baca selama ini, belum menemukan aturan hukum yang membatasi presiden merangkap jabatan seperti itu kecuali jabatan ketua partai politik yang harus dilepasnya. Menurut saya soal kepemimpinan dualisme Jokowi ini bisa saja diterapkan guna mengantisipasi serangan isu SARA terhadap Ahok nantinya. Jokowi tetap memegang kekuasaan DKI-1 dan Ahok tetap di DKI-2 hingga masa jabatannya berakhir.
Tentu saja mungkin Jokowi akan kewalahan manghadapi tugasnya sebagai presiden dan gubernur sekaligus meski sekadar simbolik. Oleh sebab itu perlu juga beliau menunjuk seorang menteri baru yang khusus menangani masalah Jakarta, misalkan Menteri Negara Urusan Jakarta (disingkat: Menrujak hehehe) sampai masa jabatan gubernurnya itu berakhir. Secara simbolik ia tetap memegang jabatan Gubernur DKI Jakarta, namun kenyataannya tugas itu dijalankan oleh Menrujak dibantu Ahok sebagai Wakil Gubernur.
Ini hanya opini penulis saja untuk turut mensiasati dilema dan kontroversi pencapresan Jokowi dalam pilpres 2014. Bagi yang pro Jokowi, silakan tertawa; dan bagi yang anti Jokowi, silakan cemberut!
Salam damai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H