Foto & teks oleh : Tommy sembiring
Hari itu perasaan ku cuaca tidak seperti biasanya, sekilas ku pandanglangit awan agak mendung, mungkin hari ini akan turun hujan. Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar ada suara memanggil, ternyata Ikhwanol teman ku, dengan wajah yang amat serius dia datang menghampiri ku lalu berkata “Tom… gunung Sinabung meletus.”bagai petir menyambar di siang hari membuat jantung ku bergetar kencang mendengar berita itu, “kapan..??” tanya ku dengan hati yang penuh penasaran, “tadi malam, aku dapat berita melalui Televisi,“ terang nya mencoba meyakinkan aku, maklum di kosan ku belum ada yang namanya Televisi.
Tanpa menunggu lama aku langsung merencanakan keberangkatan menuju lokasi bencana, belum lagi berkemas salah satu teman ku Rio juga datang mengabarkan berita yang sama, tetapi dia dapat kabar bukan dari TV, kebetulan pada saat kejadian dia telah berada di lokasi bencana dan turun ke Medan hanya untuk mengabarkan kawan-kawan yang lain.
Pada hari yang sama kami mencoba membentuk tim penggalangan dana untuk membantu meringankan nasib para korban. Dari tenda ke tenda warung yang terbuka, di persimpangan jalan hingga ke sekolah-sekolah, hampir seharian kami berusaha untuk mencari dana, tanpa kenal lelah kawan-kawan relawan mencoba mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya. Alhamdulillah Dana yang telah terkumpul lumayan banyak.
Malamnya kami berjanji berkumpul satu tempat yang telah di sepakati, mencari berita yang berkembang dari salah satu kawan relawan yang kebetulan sudah berada di lokasi, daerah mana yang masih belum terbantu bahan makanan. Dia memberitahukan banyak daerah yang belum mendapatkan bahan bantuan seperti Desa Tiga Binanga, Kuta Cane dan Desa Telaga. kami memutuskan untuk membawabahan bantuan ke Desa Telaga karna jaraknya yang tidak begitu jauh dari Medan, Desa ini berjarak sekitar 30 kilo meter dari lokasi Gunung Sinabung. Desa Telaga adalah perbatasan antara Tanah Karo dan Deli Serdang, diantara Sungai Wampu dan Babura.
Tiba-tiba ada yang menyarankan bagaimana kalo kita juga mengirim salah satu dari anggota kelompok, untuk mencari tau lebih lanjut berita terkini dari titik pantau Gunung Sinabung. Perdebatan terjadi antara kawan-kawan, karena lokasi ini hanya berjarak kurang lebih empat kilo meter dari Gunung Sinabung, tidak ada yang berani untuk menuju kesana, mereka takut sewaktu-waktu Gunung tersebut meletus, karna jaraknya yang begitu dekat. Akhirnya teman-teman memilih aku untuk mencari berita terkini dari titik pantau Gunung Sinabung, dan aku pun menyetujuinya.
Keesokan harinya kami telah membelanjakan semua dana bantuan, dari bahan sembako, kebutuhan bayi hingga kebutuhan ibu-ibu hamil. Dengan menggunakan Mobil pinjaman, bahan bantuan kami antara ke lokasi pengungsian, sementara itu aku di temani Rio bergerak menuju lokasi titik pantau. Dengan menggunakan sepeda motor. Diperjalanan kami berencana sebelum menuju kelokasi kami singgah ke pengungsian yang berada di kota Berastagi.
para pengungsi.
Sesampainya di pengungsian aku melihat lebih dari seribu pengungsi yang ada di tempat ini, mereka semua ditampung di dalam sebuah gedung yang biasa disebut Jambur. Jambur adalah sebuah bangunan adat Karo yang biasa digunakan untuk upacara adat seperti pernikahan, kematian dan acara adat lainnya, bangunan ini pun biasa digunakan untuk pemilihan Kepala Desa, Bupati atau Pemilu.
Aku mendengar percakapan salah seorang pengungsi, kata mereka semalam kami sudahdisuruh pulang oleh petugas yang bertanggung jawab memonitoringaktivitas Gunung Sinabung, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara gemuruh bercampur debu yang berasal dari Gunung Sinabung. Tampak jelas wajah duka, lelah, panik, dan cemas terpancar dari raut wajah para korban bencana, Karena malam pada saat letusan itu mereka sudah tertidur lelap. Lalu saya melihat bahan bantuan yang sudah menumpuk di dapur umum didominasi dengan berbagai mie instan yang memang kurang baik untuk kesehatan para pengungsi dan berbagai sayur-mayur.
Pos Titik Pantau
Setelah barang-barang bantuan selesai kami turunkan, saya dan Rio berencana untuk bergerak menuju lokasi titik pantau Gunung Sinabung. Mendengar rencana itu beberapa kawan relawan pun ingin ikut bergabung, dengan menaiki sepeda motor kami melihat Gunung Sinabung yang masih mengeluarkan asap abu vulkanik.Sesampainya di lokasi titik pantau yang berada di areal masjid desa Suka Nalu yang berjarak kurang lebih empat kilo meter dari puncak gunung Sinabung, saya bertemu dengan beberapa wartawan dan tim ahli yang sedang mengamati aktivitas gunung Sinabung.
Dari kejauhan saya memperhatikan gunung Sinabung yang tampak elok seakan menakutkan. Sisa pembakaran yang diakibatkan oleh lahar panas yang meleleh tadi malam masih tampak jelas terlihat, rasa penasaran ku pun tiba-tiba muncul, lalu ku ajak Rio untuk melihat dari dekat sisa pembakaran itu. Kami berdiri persis di atas rumput, yang telah hangus terbakar oleh lahar panas yang keluar dari puncak Gunung Sinabung. hanya berjarak kurang lebihtiga kilo dari puncak gunung Sinabung, tepatnya disebelah Desa Bekerah ada padang rumput yang terbentang luas persis dialiran kawah belerang Gunung Sinabung. Desa ini telah ditinggalkan oleh penghuninya untuk mengungsi, terlihat atap-atap rumah dan jalan telah rata di tutupi oleh abu vulkanik.
Waktu sudah hampir gelap, kami pun kembali ke pos titik pantau, sesampainya di lokasi kami menyempatkan untuk berbincang-bincang sebentar dengan para wartawan dan tim ahli vulkanologi yang di pimpin oleh bapak Surono. Hari semakin larut, aku merencanakan untuk kembali ke lokasi pengungsian, tetapi Rio punya rencana lain, dia merencanakan untuk berkemah di Danau Lau Kawar yang berjarak lima kilo meter dari Gunung Sinabung.
Gempa Tektonik Kecil
Danau Lau Kawar adalah lokasi wisata yang ada di komplek Gunung Sinabung, tempat ini biasa di gunakan sebagai jalur pendakian menuju puncak Gunung Sinabung dan lokasi perkemahan. Sesampainya di Danau Lau Kawar kami mulai membuka tenda yang kami bawa dari Medan, saya merasakan hal yang berbeda ditempat ini, tak satu titik abu vulkanik pun menempel di daun, di rumah-rumah penduduk maupun di jalan, padahal lokasi ini berjarak hanya lima kilo meter dari puncak gunung Sinabung.
Malam itu kami tidur dengan was-was, karna suara gemuruh bercampur gempa kecil disebabkan oleh aktivitas gunung Sinabung yang terus menerus terdengar. Karena badan ini telah lelah akhirnya kami telelap juga. Dingin menusuk kulit membangunkan ku dari mimpi,sekilas aku lirik jam ditangan menunjukan pukul enam pagi, aku mencoba untuk sadar dari mimpi tadi, tapi apa daya dingin yang amat sangat memaksa aku untuk menarik sliping bag dan kembali meneruskan mimpi yang tertunda, padahal hari itu bertepatan aku berulang tahun. Untuk yang kedua kalinya aku terbangun dan ku lihat jam sudah jam delapan, dengan berat hati aku coba untuk bangkit dan ku lihat Rio sudah tidak ada di dalam tenda.
Ku buka pintu tenda tampak Danau Lau Kawar yang masih berkabut berwarna hijau kekuning-kuningan, mungkin dikarenakan sinar matahari yang mulai menampakan wujudnya. Aku mencoba untuk berjalan menuju tepian danau untuk mencuci muka meski jiwa ini belum sepenuhnya tersadar dari tidur. Di tepi Danau aku melihat Rio sudah berada dengan handuk kecil melingkar di lehernya, “ pagi ndrung..” sapa ku dengan panggilan khasnya, selesai mencuci muka lalu kami membuat teh, “ selamat ulang tahun ya Tom…,” sambil mengajak ku bersalaman. Kami pun menikmati teh panas di tepian Danau Lau Kawar yang tampak agak berkabut dan Gunung Sinabung yang masih mengeluarkan suara gemuruh gempa-gempa tektonik kecil.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh lewat, kami pun segera menyusun tenda dan semua peralatan yang kami bawa, setelah semua selesai, kami langsung meninggalkan Danau lau Kawar dan berencana untuk singgah di desa Sigarang-garang yang berjarak empat kilo dari Danau Lau Kawar. Jalan, rumput, pepohonan, dan tanaman telah tertutup oleh abu vulkanik. Kampung ini sudah ditinggalkan oleh penduduknya hanya beberapa orang saja yang bertugas untuk berjaga-jaga dari pencurian, kami pun menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan penjaga kampung.
Letusan yang lebih dahsyat
Setelah lebih dari satu jam, kami berpamitan dan menuju ke pos titik pantau. Sesampainya disana kami berjumpa dengan polisi yang membawa satu mobil truk dan sejumlah personil, mobil truk ini sengaja disediakan untuk para penjaga kampung untuk menyelamatkan diri apabila terjadi letusan lagi. Aku mengajak Rio untuk sembahyang sambil beristirahat sejenak di dalam Masjid dekat titik pantau, setelah selesai sembahyang Rio mencoba menceritakan seputar kejadian pada malam itu. Dengan wajah yang serius dan amat jelas dia menceritakan kejadian yang membuat panic masyarakat di dataran tinggi Sumatera Utara itu, hingga tak sadar kami sudah terlelap.
Karena cuaca sangat dingin sekali, aku pun terbangun. Sekilas aku lihat halaman masjid telah basah, ternyata waktu kami tidur tadi hujan turun. Ku lihat di luar ada beberapa penduduk yang sedang menghangatkan badan di api unggun (cudu: arti bahasa Karo), aku tinggalkan Rio yang masih terlelap mencoba ikut bergabung. Sambil berbincang-bincang seputar kejadian dua hari yang lalu, kami meminum kopi yang telah di sediakan oleh penduduk. “ padahal kami kemarin sudah mengungsi, tapi di suruh kembali lagi ke rumah masing-masing,“ cerita bapak sembiring sembari meminum kopinya. “Loh kok di suruh pulang, kan statusnya masih awas??,” aku coba mencari tau. “Ia… ga tau tuh, Bupati yang bilang katanya situasi sudah aman dan kalian (pengungsi) sudah bisa pulang kerumah masing-masing,” bela temannya yang sama-sama bermarga sembiring, “ah… tak jelas Bupati mu itu,” timpal seseorang yang berseragam dengan logat bataknya yang kental.
Tiba-tiba sedang asik ngobrol kami di kejutkan oleh orang yang berteriak “woi…. meletus lagi,” ternyata Rio yang sedari- tadi sudah terbangun, melihat puncak Gunung Sinabung mengeluarkan kepulan asap yang sangat besar. Abu vulkanik yang mulai nampak menyembur ke atas, disusul dengan gemuruh yang saling bersahutan, bumi pun bergetar, awan yang mulai gelap. Sekedar memberitakan letusan yang saya alami dengan kekuatan gempa berkisar 6,7 sr pada tanggal 5 september jam 16:25 wib.
Kami yang tadinya serius bercerita, berhamburan untuk menyelamatkan diri. Aku yang tidak mau melewatkan kesempatan ini untuk mengabadikan peristiwa itu. aku mencoba untuk mengabadikan peristiwa ini dengan kamera yang belum sempat aku setel, Dengan sedikit was-was kalau-kalau wedus gembel keluar dari letusan ini, Rio pun tak mau ketinggalan, langsung diambil kamera di sakunya. “Jangan panic jangan panic .…” seseorang mencoba menenangkan kami, tetapi dia sendiri pun seperti orang yang kebakaran jenggot berlari kesana- kemari dan terlihat mengangkat celananya.
Belum lima menit abu vulkanik telah berada persis di atas kepala ku, tidak pikir panjang lagi aku mengajak Rio untuk lari.Gas motor ku tancap abis, tak ku lihat lagi jalan di depan ku karna telah tertutup abu vulkanik, jalan yang berliku-liku membuat saya lepas kendali jika pada waktu itu Rio tidak memberi tahu ada tikungan tajam, kami terjun masuk jurang. Sesampainya di titik aman yang berjarak kurang lebih 10 kilo meter dari titik Gunung Sinabung di Desa Naman, kami berhenti mencoba untuk menenangakan jiwa yang berdebar tak karuan.
Seluruh badan kami berdua telah di penuhi oleh abu vulkanik, sekujur tubuh kami putih seperti tepung yang disiram kesel;uruh badan dan agak bau belerang. Rio melihat warung yang menjual bensin yang masih buka, diisinya tangki full agar kami tidak terjebak nanti dijalan. Hari yang mulai gelap dan Abu vulkanik masih terlihat mengepul keluar dari puncak Gunung Sinabung.
Kami merasakan perut yang sudah keroncongan, di tambah lagi hati ini yang masih berdebar-debar, kami pun memutuskan untuk kembali ke Berastagi untuk mengisi perut dan menenangkan diri. Dalam perjalanan ke Berastagi tiba-tiba HP ku berdering, ternyata telepon dari Binsar Bakara salah satu wartawan yang meliput peristiwa ini, karena pada saat kejadian dia tidak berada di lokasi, dia menanyakan tentang foto kejadian yang barusan terjadi, Aku berjanji akan memberikan beberapa foto yang diperlukan.
Sesampainya di Berastagi orang-orang tampak aneh melihat kami berdua, dengan tubuh dan sepeda motor yang telah penuh dengan abu vulkanik, dengan gaya yang cuek kami berhenti di rumah makan di daerah dekat tugu kol kota Derastagi tempat dimana aku janji bertemu dengan Binsar.
Badai pasti berlalu
Dengan senyumnya yang khas dia menyambut ku “ gimana tom… mantab,” aku pun mengangguk seraya mengiayakan, di tempat ini kami melihat sudah banyak para wartawan yang sedang mengirim berita letusan tadi ke kantornya masing-masing. Segera ku berikan kamera yang ku bawa sambil memesan dua piring nasi dengan menu rendang. Karena perut kami sudah sangat lapar, aku dan Rio asik menyantap makanan tanpa menghiraukan orang di sekitar, “ aku ambil tiga ya Tom,” Binsar meminta ijin mengambil foto-foto ku, aku pun mengangguk mengiakan.
Setelah makanan habis kami santap, aku melihat-lihat hasil jepretan peristiwa itu. Sayang banyak moment yang tertinggalkan, karena panik dan baru seumur hidup menyaksikan fenomena alam yang maha dahsyat itu. Hari pun sudah larut malam dan mata ini sudah sangat lelah, kami pun berpamitan dengan semua kawan-kawan wartawan yang ada di tempat itu untuk kembali ke pengungsian.
Tampak para korban pengungsi tertidur hanya dengan beralaskan tikar seadanya, ada yang terlihat tidur sambil menggigil menahan dingin karena tempat mengungsi mereka yang terbuka. Banyak juga diantara pengungsi anak-anakyang sudah tertidur pulas, terkadang mengigau sambil menyeka air liur yang keluar dari sela-sela mulutnya. Hati yang haru menyaksikan nasib mereka, tak ada lagi tempat untuk mengadu, tak ada lagi peruduan yang menghangatkan mereka, tak ada lagi televisi yang menghibur di kala duka.
Kau tak sendiri saudara ku, aku, kami, dan masih banyak lagi orang-orang di luar sana yang masih peduli akan nasib mu… tidur lah, gapai lah mimpi mu, jadikan angin malam sebagai selimut yang mungkin agak sedikit menyayat kalbu. Tak kan ada derita yang tak usai, derita mu derita kami, nasib mu nasib kami, mari kita menggapai mimpi bersama-sama. Biarlah Gunung Sinabung yang kan menjawab semua… badai pasti berlalu saudara ku.
Tradisi Adaptasi Bencana Yang Terlupakan
Pada saat ini, mungkin masyarakat Karo telah lupa cara nenek moyang mereka beradaptasi dengan dua ancaman alam yang diakibatkan oleh dua gunung api vulkanik aktif sinabung dan sibayak. Bisa kita lihat dari bangunan peninggalan nenek moyang mereka, perencanaan arsitektur yang matang dari bangunan rumah adat karo yang biasa juga disebut rumah si waluh jabu atau ada juga rumah si empat jabu, yang berarti rumah ini di huni dalam satu keturunan delapan rumah tangga atau empat rumah tangga. Dengan kontruksi pondasi tahan terhadap gempa, tehnik sambungan, pondasi umpak membuktikan bahwa nenek moyang mereka telah siap bilamana bencana datang melanda.
Jambur-jambur yang di bangun mengantisipasi untuk penampungan sementara sewaktu-waktu dua Gunung yang merupakan kebanggaan suku masyarakat Karo ini tiba-tiba meletus. Bangunan ini yang biasa nya digunakan untuk upacara adat seperti pernikahan, kematian, ataupun acara adat lainnya, yang di dalam nya terdapat dapur umum, kamar mandi umum, taman bermain dan pondasi yang kuat menjadi bukti bahwa nenek moyang telah mengantisipasi hal yang sama di masa lampau.Benar-benar interior yang memang sudah dipikiran matang-matang oleh nenek moyang mereka.
Guru si baso yang biasa disebut orang pintar, menjadi nara sumber pada saat roh-roh yang berdiam di gunung ini merasa terusik. Cibal-cibal yang menjadi hadiah untuk menenangkan roh-roh penghuni gunung biasa terdiri dari daun sirih, rokok, buah-buahan, dan hasil bumi telah ditempatkan di lokasi-lokasi yang di anggap keramat di seputaran gunung tersebut. Semuanya telah dipersiapkan dengan matang oleh nenek moyang mereka untuk bagaimana keluar dari masalah ini.
Akan tetapi masyarakat Karo yang tidak mau dipanggil orang batak ini, telah lupa tentang silsilah tradisi adat yang selama ratusan tahun silam ini dibangun. Dilema pengetahuan tentang antisipasi yang tidak didapatkan menjadikan masyarakat yang berhadap-hadapan dengan dua gunung vulkano aktif ini kebingungan dengan kelangsungan hidup ditengah bencana yang setiap saat menghantui.
Ada beberapa desa yang masuk dalam zona berbahaya di kaki Gunung Sinabung, desa yang hanya berjarak kurang lebih 3 kilo meter adalah Simacem, Bekerah, Suka Nalu, Gurukinayan dan Sigarang-garang. Seharusnya semua desa ini harus dikosongkan, karena jaraknya yang terlalu dekat juga akses jalan yang sulit. Sementara itu pemerintah setempat yang seharusnya menjadi sumber informasi, tidak mau dipusingkan dengan masalah ini.
Modrenitas telah menggilas tradisi, adat istiadat terjungkal terbalik merangkak hingga hilang ditutup abu vulkanik yang berhembus menembus cakrawala hitam pekat bercampur dengan kaca-kaca silika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H