Mohon tunggu...
Tomi Nur Diyana
Tomi Nur Diyana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa, Freelance Shopkeeper

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politik sebagai Wacana Simbolik: Hegemoni dan Resistensi, Menuju Pemilu

19 November 2023   14:00 Diperbarui: 19 November 2023   14:00 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: perludem.org

Politik adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Politik tidak hanya berkaitan dengan kekuasaan, kebijakan, dan institusi, tetapi juga dengan makna, nilai, dan simbol. Politik dapat dipahami sebagai wacana simbolik, yaitu cara-cara berkomunikasi yang menggunakan simbol-simbol untuk mengkonstruksi dan merepresentasikan realitas sosial.

Wacana simbolik politik dapat berupa bahasa, gambar, gestur, tindakan, atau objek yang memiliki makna tertentu bagi kelompok-kelompok sosial yang terlibat dalam politik. Wacana simbolik politik dapat berfungsi sebagai alat untuk mempengaruhi, membujuk, atau mengontrol orang lain, atau sebagai sarana untuk mengekspresikan, menegosiasikan, atau menantang identitas, ideologi, atau kepentingan.

Wacana simbolik politik tidak netral, tetapi sarat dengan kepentingan dan kekuatan. Wacana simbolik politik dapat menjadi alat hegemoni, yaitu dominasi ideologis dari kelompok dominan atas kelompok subordinat. Hegemoni dapat terjadi melalui proses konsensus, yaitu ketika kelompok subordinat menerima dan menginternalisasi ideologi kelompok dominan sebagai alamiah, universal, dan bermanfaat. Hegemoni juga dapat terjadi melalui proses koersi, yaitu ketika kelompok dominan menggunakan kekerasan, ancaman, atau sanksi untuk memaksakan ideologinya kepada kelompok subordinat.

Namun, wacana simbolik politik juga dapat menjadi alat resistensi, yaitu perlawanan terhadap hegemoni. Resistensi dapat terjadi melalui proses kontra-hegemoni, yaitu ketika kelompok subordinat menolak, mengkritik, atau mengubah ideologi kelompok dominan dengan mengembangkan ideologi alternatif yang sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya. Resistensi juga dapat terjadi melalui proses subversi, yaitu ketika kelompok subordinat menggunakan simbol-simbol politik yang ada untuk menciptakan makna baru yang bertentangan dengan makna yang dikehendaki oleh kelompok dominan.

Contoh-contoh wacana simbolik politik yang menjadi alat hegemoni atau resistensi dapat ditemukan dalam berbagai konteks dan situasi. Misalnya, dalam konteks nasional, wacana simbolik politik dapat berupa lambang negara, lagu kebangsaan, bendera, pakaian adat, atau monumen yang merepresentasikan identitas, sejarah, dan cita-cita bangsa. Wacana simbolik politik ini dapat menjadi alat hegemoni jika digunakan untuk menjustifikasi atau mempertahankan status quo, atau menjadi alat resistensi jika digunakan untuk menuntut atau mengadvokasi perubahan.

Dalam konteks global, wacana simbolik politik dapat berupa logo, slogan, warna, atau simbol yang merepresentasikan organisasi, gerakan, atau isu internasional. Wacana simbolik politik ini dapat menjadi alat hegemoni jika digunakan untuk mempromosikan atau mengimposisikan agenda, nilai, atau kepentingan global, atau menjadi alat resistensi jika digunakan untuk mengkritik atau menolak dominasi, eksploitasi, atau intervensi global.

Dalam lingkup media, wacana simbolik politik dapat berupa judul, gambar, kutipan, atau narasi yang merepresentasikan peristiwa, tokoh, atau isu politik. Wacana simbolik politik ini dapat menjadi alat hegemoni jika digunakan untuk membingkai atau memanipulasi realitas, opini, atau sikap politik, atau menjadi alat resistensi jika digunakan untuk mengungkap atau menantang distorsi, bias, atau propaganda politik.

Dalam lingkup budaya, wacana simbolik politik dapat berupa film, musik, meme, atau graffiti yang merepresentasikan pandangan, perasaan, atau harapan politik. Wacana simbolik politik ini dapat menjadi alat hegemoni jika digunakan untuk menghibur atau mengalihkan perhatian dari masalah, konflik, atau ketidakadilan politik, atau menjadi alat resistensi jika digunakan untuk menyindir, menghina, atau menggugat otoritas, korupsi, atau kezaliman politik.

Studi Kasus Menjelang Pilpres 2024

Sumber Gambar: perludem.org
Sumber Gambar: perludem.org

Kita akan mencoba mengambil studi kasus menjelang pilpres 2024 sebagai contoh wacana simbolik politik yang menjadi alat hegemoni atau resistensi. Pilpres 2024 merupakan pemilihan umum kelima di Indonesia yang bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Pilpres 2024 akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024, dan kemungkinan akan diikuti oleh dua putaran jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh lebih dari 50 persen suara di putaran pertama.

Saat ini, terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada periode 19 hingga 24 Oktober 2023. Mereka adalah Anies Baswedan-Iskandar Muhaimin, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ketiga pasangan ini memiliki latar belakang, visi, misi, dan strategi yang berbeda-beda dalam menghadapi pilpres 2024. Mereka juga menggunakan berbagai simbol politik untuk menarik perhatian, dukungan, dan suara dari pemilih.

Anies Baswedan-Iskandar Muhaimin merupakan pasangan calon yang diusung oleh partai independen, yaitu partai yang tidak memiliki kursi di parlemen. Mereka mengusung tema "Perubahan" sebagai wacana simbolik politik mereka. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah pasangan calon yang mewakili aspirasi rakyat, terutama dari kalangan bawah, yang menginginkan perubahan dari sistem politik yang lama. Mereka juga menekankan bahwa mereka adalah pasangan calon yang bersih dari korupsi, nepotisme, dan kolusi. Mereka menggunakan simbol-simbol politik seperti warna biru, logo bintang, dan slogan "Perubahan untuk Indonesia" untuk merepresentasikan visi dan misi mereka.

Ganjar Pranowo-Mahfud MD merupakan pasangan calon yang diusung oleh koalisi partai-partai pendukung pemerintahan Joko Widodo, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Perindo. Mereka mengusung tema "Indonesia Maju" sebagai wacana simbolik politik mereka. 

Mereka mengklaim bahwa mereka adalah pasangan calon yang meneruskan dan memperbaiki kinerja pemerintahan sebelumnya, terutama dalam bidang pembangunan, ekonomi, dan kesejahteraan. Mereka juga menekankan bahwa mereka adalah pasangan calon yang berpengalaman, profesional, dan kompeten. Mereka menggunakan simbol-simbol politik seperti warna merah, logo banteng, dan slogan "Indonesia Maju Bersama Ganjar-Mahfud" untuk merepresentasikan visi dan misi mereka.

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merupakan pasangan calon yang diusung oleh koalisi partai-partai oposisi, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Berkarya, dan Partai Garuda. Mereka mengusung tema "Perubahan" sebagai wacana simbolik politik mereka. 

Mereka mengklaim bahwa mereka adalah pasangan calon yang menawarkan solusi dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Indonesia, terutama dalam bidang pertahanan, keamanan, dan kedaulatan. Mereka juga menekankan bahwa mereka adalah pasangan calon yang berani, tegas, dan patriotik. Mereka menggunakan simbol-simbol politik seperti warna putih, logo garuda, dan slogan "Perubahan untuk Indonesia Bersatu" untuk merepresentasikan visi dan misi mereka. 

Dari ketiga pasangan calon tersebut, dapat dilihat bahwa wacana simbolik politik yang mereka gunakan memiliki fungsi dan dampak yang berbeda-beda. Wacana simbolik politik yang digunakan oleh Anies-Iskandar dan Prabowo-Gibran dapat dianggap sebagai alat resistensi terhadap hegemoni pemerintahan sebelumnya, yang diwakili oleh Ganjar-Mahfud. Wacana simbolik politik yang digunakan oleh Anies-Iskandar dan Prabowo-Gibran bertujuan untuk mengkritik, menantang, atau mengubah status quo yang dianggap tidak adil, tidak efektif, atau tidak demokratis. Wacana simbolik politik yang digunakan oleh Ganjar-Mahfud dapat dianggap sebagai alat hegemoni untuk mempertahankan atau memperkuat dominasi ideologis, politis, dan ekonomis dari pemerintahan sebelumnya. Wacana simbolik politik yang digunakan oleh Ganjar-Mahfud bertujuan untuk membingkai, membujuk, atau mengontrol opini, sikap, atau perilaku politik dari pemilih.

Namun, wacana simbolik politik yang digunakan oleh ketiga pasangan calon tersebut juga memiliki potensi dan tantangan yang berbeda-beda. Wacana simbolik politik yang digunakan oleh Anies-Iskandar dan Prabowo-Gibran memiliki potensi untuk menarik simpati, dukungan, atau suara dari pemilih yang merasa tidak puas, tidak percaya, atau tidak setuju dengan pemerintahan sebelumnya. Namun, wacana simbolik politik yang digunakan oleh Anies-Iskandar dan Prabowo-Gibran juga memiliki tantangan untuk membuktikan, menjelaskan, atau mengimplementasikan solusi yang mereka tawarkan, serta untuk mengatasi stigma, fitnah, atau serangan dari lawan politik. Wacana simbolik politik yang digunakan oleh Ganjar-Mahfud memiliki potensi untuk menarik simpati, dukungan, atau suara dari pemilih yang merasa puas, percaya, atau setuju dengan pemerintahan sebelumnya. Namun, wacana simbolik politik yang digunakan oleh Ganjar-Mahfud juga memiliki tantangan untuk mempertanggungjawabkan, memperbaiki, atau mempertahankan kinerja pemerintahan sebelumnya, serta untuk menghadapi kritik, tantangan, atau perubahan dari lawan politik.

Dari analisis di atas, dapat dilihat bahwa politik sebagai wacana simbolik adalah fenomena yang kompleks, dinamis, dan kontekstual. Politik sebagai wacana simbolik tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga membentuk dan dipengaruhi oleh realitas sosial. Politik sebagai wacana simbolik tidak hanya mengekspresikan kepentingan dan kekuatan, tetapi juga memperjuangkan dan ditantang oleh kepentingan dan kekuatan. Politik sebagai wacana simbolik tidak hanya menjadi alat hegemoni, tetapi juga menjadi alat resistensi.

Oleh karena itu, sebagai warga negara yang kritis dan aktif, kita perlu memahami dan mengapresiasi politik sebagai wacana simbolik. Kita perlu mampu membaca, menganalisis, dan mengevaluasi wacana simbolik politik yang ada di sekitar kita. Kita perlu mampu menghasilkan, menyebarkan, dan mendukung wacana simbolik politik yang sesuai dengan nilai, ideologi, dan aspirasi kita. Kita perlu mampu berpartisipasi, berdialog, dan berkolaborasi dalam wacana simbolik politik yang demokratis, inklusif, dan progresif.

Politik sebagai wacana simbolik adalah tantangan dan peluang bagi kita semua. Manfaatkalah wacana simbolik politik sebagai sarana untuk memperkaya, memperbaiki, dan memperindah kehidupan politik kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun