Barangkali ini adalah pertanyaan klasik, hanya saja jawabannya seringkali mengambarkan dangkalnya pemahaman kita tentang perselingkuhan. Seorang wanita mengatakan bahwa suaminya selingkuh karena ia memang “bajingan”, sehingga wajar ia memutuskan untuk bercerai. Atau, seorang suami selingkuh karena ia jatuh cinta dengan wanita lain yang berarti ia tidak setia.
Namun jika kita melihat lebih dalam maka kita akan mendapatkan jawaban yang lebih kompleks. Apakah pria yang selingkuh adalah seorang bajingan. Belum tentu. Apakah ia tidak setia. Bisa ya bisa tidak. Jika menilik kesetiaan seorang pria diukur bagaimana ia menempatkan istri dan anak-anaknya menjadi fokusnya, barangkali ada banyak pria yang selingkuh sesungguhnya sangat mencintai keluarganya.
Lalu mengapa perselingkuhan itu terjadi?
Mari kita lihat beberapa kasus yang pernah terjadi. Seorang pria bisa menjalin hubungan terlarang dengan banyak wanita, khususnya para pekerja seksual. Namun tidak jarang pria menjalin ikatan emosional dengan seorang wanita yang bisa saja adalah mantan kekasihnya.
Lalu mana yang paling kronis?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita melirik ke dunia pria. Seperti apakah wanita di mata para pria saat mereka bergabung dalam komunitasnya? Maka mereka membedakan wanita sebagai subjek dengan wanita sebagai objek. Istri, putri, saudara perempuan dalam dunia pembicaraan lelaki adalah subjek. Mereka dihargai sebagai pribadi dengan segala kompleksitas. Mereka akan bicara wanita itu sebagai sosok yang baik, perhatian, dewasa, penyayang, judes tapi care.
Namun di lain waktu mereka membahas wanita sebagai sebuah objek. Ini terjadi ketika pria membicarakan seorang gadis ABG cantik yang sering berkeliaran di kawasan Kota dan kabarnya bisa diajak tidur. Atau saat membahas seorang karyawati baru yang punya wajah cantik dan tubuh yang sintal. Maka hal yang dibicarakan seputar hal-hal terkait fisik. Cantik, montok, menggoda, seksi dsb.
Nah, dalam dunia pria membahas wanita sebagai objek bukan hal terlarang. Ini kesenangan. Memberikan kegembiraan, menampilkan sisi iseng seorang pria. Namun wanita tersebut seringkali diperbincangkan layaknya barang yang tak berjiwa. Kalaupun akhirnya berujung pada upaya untuk meraihnya maka tujuannya jelas, hanya sekedar untuk kesenangan. Atau, layaknya barang mewah, ini juga sebagai prestise. Seorang pria akan dengan bangga menceritakan bahwa ia telah tidur dengan seorang model. Para pria ini tidak akan membahas sang wanita dalam kedalaman perasaannya, apakah ia pernah merasa sedih, apakah ia baik hati, apakah ia bisa memberikan cinta.
Dalam banyak situasi, membahas wanita objek hanya sebagai lelucon pria namun hanya sekedar menjadi perbincangan semata. Namun tidak jarang komunitas ini bergerak lebih jauh dan berakhir pada aksi. Ajang persaingan. Ajang uji coba. Ajang gagah-gagahan. Ajang senang-senang. Sehingga pada akhirnya seorang pria yang sangat menyayangi istri dan keluarganya, tanpa sadar, oleh sebuah tuntuntan komunitas, melakukan perselingkuhan bukan karena kurang setia. Toh, bagi mereka, wanita yang menjadi target bukanlah subjek tapi objek. Tidak ada anggota komunitas pria ini yang menganggap lucu ketika salah satu anggota mengambil istri anggota lain. Namun tidak ada yang mempermasalah ketika rekannya merangkul seorang pemandu karoke yang seksi lalu pada akhirnya membawanya ke kamar hotel.
Hanya saja perselingkuhan yang paling kronis terjadi adalah ketika seorang wanita yang tadinya hanya menjadi objek seketika menjadi subjek. Ini terjadi saat seorang pria menganggap sang wanita lain sebagai sosok yang baik, perhatian, mampu mengisi kekosongan. Ketika seorang pria melakukan perselingkungan model ini maka komunitas pria tidak lagi menganggap ini sebagai sebuah lelucon. Ini adalah sesuatu yang dicibir. Sesuatu yang tidak layak.
Lalu mengapa ini terjadi? Mengapa seorang pria bisa melakukan sebuah kebodohan tanpa adanya dukungan dari komunitas para lelakinya?